Masalahkesehatan dipelajari pula oleh antropologi medis, suatu bidang ilmu sosial yang erat kaitannya dengan sosiologi medis. Menurut Foster, kedekatan kedua bidang tersebut bersumber pada dua hal. Namun, beberapa hal khusus membedakan keduanya; ada tiga hal yang membedakan antropologi medis dengan sosiologi medis.
Main Article Content Abstract Tujuan penelitian ini berfokus pada konseling agama dengan menggunakan pendekatan budaya dalam membentuk resiliensi remaja. Konseling dapat dicirikan sebagai cara yang paling umum untuk memberikan bantuan kepada klien oleh seorang konselor dengan hubungan yang bersifat individu ke individu, meskipun mempengaruhi lebih dari satu individu. Penelitian ini menggunakan jenis/metode penelitian berupa studi kepustakaan Library Research yang memiliki relavansi mengenai konseling agama pendekatan budaya dalam membentuk resiliensi remaja. Tujuan konseling budaya memiliki beberapa tindakan dalam konseling yaitu pertama, konseling dapat membuat konselor peka terhadap masalah lingkungan yang mempengaruhi perkembangan manusia. Kedua, profesi konseling mengharuskan konselor memiliki pengetehuan dan keterampilan. Konseling agama merupakan bantuan dari konselor untuk membantu klien membangkitkan ajaran agamanya untuk menyelesaikan segala permasalahan hidup yang dihadapi dengan cara-cara yang dibenarkan menurut agama dan keyakinannya. Keywords Konseling Agama Budaya Resiliensi Ramaja Article Details License Authors who publish in this journal agree with the following termsAuthors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike CC BY-SA that allows others to share the work with an acknowledgement of the work's authorship and initial publication in this are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal's published version of the work post it to an institutional repository or publish it in a book, with an acknowledgement of its initial publication in this are permitted and encouraged to post their work online in institutional repositories or on their website prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work See The Effect of Open Access.This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike International License. How to Cite NELISMA, Y., Fitriani, W., & Silvianetri, S. 2022. Konseling Agama Dengan Pendekatan Budaya Dalam Membentuk Resiliensi Remaja. Consilia Jurnal Ilmiah Bimbingan Dan Konseling, 51, 66–76. References Awad, F. B. 2015. KonselingIslam dalamMasyarakat Multikultural. Zawiyah Jurnal Pemikiran Islam. Desmita, D. 2009. MENGEMBANGKAN RESILIENSI REMAJA DALAM UPAYA MENGATASI STRES SEKOLAH. Ta’dib. Farikhatul ’Ubudiyah. 2020. Konseling Melalui Meditasi Lintas Agama di Vihara Karangdjati Yogyakarta. Al-Irsyad Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Firman. 2017. Peran Antropologi dalam Konseling Lintas Budaya di Era Masyarakat Ekonomi Asean MEA. Prosiding Seminar Konseling 2017 Profesi Konseling Menuju Masyarakat Ekonomi Asean. Ganesan. 2016. Akhbar Tamil Nesan dan peranannya dalam perkembangan pendidikan Tamil di Tanah Melayu. Jurnal Penyelidikan Dedikasi. Hermansyah, M. T., & Hadjam, M. R. 2020. RESILIENSI PADA REMAJA YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA STUDI LITERATUR. MOTIVA JURNAL PSIKOLOGI. Irman, I., Murisal, M., Syafwar, F., Silvianetri, S., Zubaidah, Z., & Yeni, P. 2020. Membangun Kesadaran Spritual melalui Konseling Berbasis Surau dalam Pengembangan Pariwisata. Islamic Counseling Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Mahfuz, A. G. 2019. Hubungan Agama dan Budaya. Sosial Keagamaan Dan Pendidikan Islam. Mirnawati 2016. Simbol Mitologi Dalam Karya Sastra Teks Al-Barzanji; Analisis Semiotika Roland Barthes Pada Pasal 4. Jurnal Diskursus Islam UIN Alauddin Makasar. Nashihin, H. 2017. Pengertian Budaya. Konstruksi Budaya Sekolah Sebagai Wadah Internalisasi Nilai Karakter. Resiliensi pada Remaja Jawa. 2015. Jurnal Psikologi UGM. Rofiqi, M. A. 2019. RELEVANSI AGAMA DAN SPIRITUAL DALAM KONSELING. JCOSE Jurnal Bimbingan Dan Konseling. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2017. Pengaruh Faktor Ekologi Terhadap Resiliensi Remaja. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2018. Resiliensi Remaja Perbedaan Berdasarkan Wilayah, Kemiskinan, Jenis Kelamin, dan Jenis Sekolah. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Supriatna, E. 2019. Islam dan Kebudayaan. Jurnal Soshum Insentif. Thabroni, G. 2020. Pengertian Budaya, Unsur, Wujud & Fungsi Menurut Para k. Wati, W., & Silvianetri, S. 2018. PENGARUH KONSELING ISLAM DALAM MENINGKATKAN KESADARAN SHOLAT BERJAMAAH SISWA. Alfuad Jurnal Sosial Keagamaan. Awad, F. B. 2015. KonselingIslam dalamMasyarakat Multikultural. Zawiyah Jurnal Pemikiran Islam. Desmita, D. 2009. MENGEMBANGKAN RESILIENSI REMAJA DALAM UPAYA MENGATASI STRES SEKOLAH. Ta’dib. Farikhatul ’Ubudiyah. 2020. Konseling Melalui Meditasi Lintas Agama di Vihara Karangdjati Yogyakarta. Al-Irsyad Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Firman. 2017. Peran Antropologi dalam Konseling Lintas Budaya di Era Masyarakat Ekonomi Asean MEA. Prosiding Seminar Konseling 2017 Profesi Konseling Menuju Masyarakat Ekonomi Asean. Ganesan. 2016. Akhbar Tamil Nesan dan peranannya dalam perkembangan pendidikan Tamil di Tanah Melayu. Jurnal Penyelidikan Dedikasi. Hermansyah, M. T., & Hadjam, M. R. 2020. RESILIENSI PADA REMAJA YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA STUDI LITERATUR. MOTIVA JURNAL PSIKOLOGI. Irman, I., Murisal, M., Syafwar, F., Silvianetri, S., Zubaidah, Z., & Yeni, P. 2020. Membangun Kesadaran Spritual melalui Konseling Berbasis Surau dalam Pengembangan Pariwisata. Islamic Counseling Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Mahfuz, A. G. 2019. Hubungan Agama dan Budaya. Sosial Keagamaan Dan Pendidikan Islam. Mirnawati 2016. Simbol Mitologi Dalam Karya Sastra Teks Al-Barzanji; Analisis Semiotika Roland Barthes Pada Pasal 4. Jurnal Diskursus Islam UIN Alauddin Makasar. Nashihin, H. 2017. Pengertian Budaya. Konstruksi Budaya Sekolah Sebagai Wadah Internalisasi Nilai Karakter. Resiliensi pada Remaja Jawa. 2015. Jurnal Psikologi UGM. Rofiqi, M. A. 2019. RELEVANSI AGAMA DAN SPIRITUAL DALAM KONSELING. JCOSE Jurnal Bimbingan Dan Konseling. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2017. Pengaruh Faktor Ekologi Terhadap Resiliensi Remaja. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2018. Resiliensi Remaja Perbedaan Berdasarkan Wilayah, Kemiskinan, Jenis Kelamin, dan Jenis Sekolah. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Supriatna, E. 2019. Islam dan Kebudayaan. Jurnal Soshum Insentif. Thabroni, G. 2020. Pengertian Budaya, Unsur, Wujud & Fungsi Menurut Para k. Wati, W., & Silvianetri, S. 2018. PENGARUH KONSELING ISLAM DALAM MENINGKATKAN KESADARAN SHOLAT BERJAMAAH SISWA. Alfuad Jurnal Sosial Keagamaan. References Awad, F. B. 2015. KonselingIslam dalamMasyarakat Multikultural. Zawiyah Jurnal Pemikiran Islam. Desmita, D. 2009. MENGEMBANGKAN RESILIENSI REMAJA DALAM UPAYA MENGATASI STRES SEKOLAH. Ta’dib. Farikhatul ’Ubudiyah. 2020. Konseling Melalui Meditasi Lintas Agama di Vihara Karangdjati Yogyakarta. Al-Irsyad Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Firman. 2017. Peran Antropologi dalam Konseling Lintas Budaya di Era Masyarakat Ekonomi Asean MEA. Prosiding Seminar Konseling 2017 Profesi Konseling Menuju Masyarakat Ekonomi Asean. Ganesan. 2016. Akhbar Tamil Nesan dan peranannya dalam perkembangan pendidikan Tamil di Tanah Melayu. Jurnal Penyelidikan Dedikasi. Hermansyah, M. T., & Hadjam, M. R. 2020. RESILIENSI PADA REMAJA YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA STUDI LITERATUR. MOTIVA JURNAL PSIKOLOGI. Irman, I., Murisal, M., Syafwar, F., Silvianetri, S., Zubaidah, Z., & Yeni, P. 2020. Membangun Kesadaran Spritual melalui Konseling Berbasis Surau dalam Pengembangan Pariwisata. Islamic Counseling Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Mahfuz, A. G. 2019. Hubungan Agama dan Budaya. Sosial Keagamaan Dan Pendidikan Islam. Mirnawati 2016. Simbol Mitologi Dalam Karya Sastra Teks Al-Barzanji; Analisis Semiotika Roland Barthes Pada Pasal 4. Jurnal Diskursus Islam UIN Alauddin Makasar. Nashihin, H. 2017. Pengertian Budaya. Konstruksi Budaya Sekolah Sebagai Wadah Internalisasi Nilai Karakter. Resiliensi pada Remaja Jawa. 2015. Jurnal Psikologi UGM. Rofiqi, M. A. 2019. RELEVANSI AGAMA DAN SPIRITUAL DALAM KONSELING. JCOSE Jurnal Bimbingan Dan Konseling. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2017. Pengaruh Faktor Ekologi Terhadap Resiliensi Remaja. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2018. Resiliensi Remaja Perbedaan Berdasarkan Wilayah, Kemiskinan, Jenis Kelamin, dan Jenis Sekolah. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Supriatna, E. 2019. Islam dan Kebudayaan. Jurnal Soshum Insentif. Thabroni, G. 2020. Pengertian Budaya, Unsur, Wujud & Fungsi Menurut Para k. Wati, W., & Silvianetri, S. 2018. PENGARUH KONSELING ISLAM DALAM MENINGKATKAN KESADARAN SHOLAT BERJAMAAH SISWA. Alfuad Jurnal Sosial Keagamaan. Awad, F. B. 2015. KonselingIslam dalamMasyarakat Multikultural. Zawiyah Jurnal Pemikiran Islam. Desmita, D. 2009. MENGEMBANGKAN RESILIENSI REMAJA DALAM UPAYA MENGATASI STRES SEKOLAH. Ta’dib. Farikhatul ’Ubudiyah. 2020. Konseling Melalui Meditasi Lintas Agama di Vihara Karangdjati Yogyakarta. Al-Irsyad Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Firman. 2017. Peran Antropologi dalam Konseling Lintas Budaya di Era Masyarakat Ekonomi Asean MEA. Prosiding Seminar Konseling 2017 Profesi Konseling Menuju Masyarakat Ekonomi Asean. Ganesan. 2016. Akhbar Tamil Nesan dan peranannya dalam perkembangan pendidikan Tamil di Tanah Melayu. Jurnal Penyelidikan Dedikasi. Hermansyah, M. T., & Hadjam, M. R. 2020. RESILIENSI PADA REMAJA YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA STUDI LITERATUR. MOTIVA JURNAL PSIKOLOGI. Irman, I., Murisal, M., Syafwar, F., Silvianetri, S., Zubaidah, Z., & Yeni, P. 2020. Membangun Kesadaran Spritual melalui Konseling Berbasis Surau dalam Pengembangan Pariwisata. Islamic Counseling Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Mahfuz, A. G. 2019. Hubungan Agama dan Budaya. Sosial Keagamaan Dan Pendidikan Islam. Mirnawati 2016. Simbol Mitologi Dalam Karya Sastra Teks Al-Barzanji; Analisis Semiotika Roland Barthes Pada Pasal 4. Jurnal Diskursus Islam UIN Alauddin Makasar. Nashihin, H. 2017. Pengertian Budaya. Konstruksi Budaya Sekolah Sebagai Wadah Internalisasi Nilai Karakter. Resiliensi pada Remaja Jawa. 2015. Jurnal Psikologi UGM. Rofiqi, M. A. 2019. RELEVANSI AGAMA DAN SPIRITUAL DALAM KONSELING. JCOSE Jurnal Bimbingan Dan Konseling. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2017. Pengaruh Faktor Ekologi Terhadap Resiliensi Remaja. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2018. Resiliensi Remaja Perbedaan Berdasarkan Wilayah, Kemiskinan, Jenis Kelamin, dan Jenis Sekolah. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Supriatna, E. 2019. Islam dan Kebudayaan. Jurnal Soshum Insentif. Thabroni, G. 2020. Pengertian Budaya, Unsur, Wujud & Fungsi Menurut Para k. Wati, W., & Silvianetri, S. 2018. PENGARUH KONSELING ISLAM DALAM MENINGKATKAN KESADARAN SHOLAT BERJAMAAH SISWA. Alfuad Jurnal Sosial Keagamaan.
\n \npendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya
Koordinasiharus menggunakan pendekatan multi instansional, dengan wujud saling memberikan informasi yan relevan untuk menghindarkan saling tumpang tindih tugas yang satu dengan tugas yang lain. Kalau perencanaan sasaran sudah ada maka perlu di ingat adalah harus memegang etika dan mengenali lingkungan sosial budaya, latar belakang, adat
This study explains the position of Pancasila Education and Islamic Religious Education in the context of religious life. There are several forms of the dynamics of religious life such as conflicts that usually occur in students, especially in various Indonesian educational institutions. Conflicts that often occur in schools are disputes between students, power struggles, small problems that are often brought up and teenage love problems. This phase students have begun to recognize feelings of love between the opposite sex. The results show that the position of Pancasila education and Islamic Religious Education is very strategic and occupies. The forefront because they are the mainstream in counteracting negative things for religious life. So, they play an active role in overcoming various violence and conflicts that occur in educational institutions. Thus, Pancasila education and Islamic Education make efforts to guide future generations of future candidates so that they can have a good personality and are certainly. In accordance with the norms of set by Islam itself through a strong religious understanding so that there are no conflicts between them. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jayapangus Press ISSN 2615-0913 E Vol. 4 No. 3 2021 Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam Dalam Konteks Kehidupan Beragama Firman Mansir1, Lia Kian2 1Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2Perbanas Institute Jakarta 1firmanmansir Islamic Education, Pancasila, Religious Life This study explains the position of Pancasila Education and Islamic Religious Education in the context of religious life. There are several forms of the dynamics of religious life such as conflicts that usually occur in students, especially in various Indonesian educational institutions. Conflicts that often occur in schools are disputes between students, power struggles, small problems that are often brought up and teenage love problems. This phase students have begun to recognize feelings of love between the opposite sex. The results show that the position of Pancasila education and Islamic Religious Education is very strategic and occupies. The forefront because they are the mainstream in counteracting negative things for religious life. So, they play an active role in overcoming various violence and conflicts that occur in educational institutions. Thus, Pancasila education and Islamic Education make efforts to guide future generations of future candidates so that they can have a good personality and are certainly. In accordance with the norms of set by Islam itself through a strong religious understanding so that there are no conflicts between them. Pendidikan Agama Islam, Pancasila, Kehidupan Beragama Penelitian ini menjelaskan mengenai posisi Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam dalam konteks kehidupan beragama. Terdapat beberapa bentuk dari dinamika kehidupan beragama seperti konflik yang biasa terjadi pada siswa terutama terjadi diberbagai lembaga pendidikan Indonesia. Konflik yang sering terjadi di sekolah yaitu perselisihan antar siswa, pertentangan adu kekuatan, masalah kecil yang sering kali dibesarkan dan masalah percintaan remaja yang dimana pada fase ini para siswa sudah mulai mengenal perasaan suka antar lawan jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam sangat strategis dan menempati garda terdepan karena keduanya sebagai arus utama dalam menangkal hal-hal negatif bagi kehidupan beragama, sehingga ia berperan aktif untuk menanggulangi berbagai kekerasan dan konflik yang terjadi di lembaga pendidikan. Dengan demikian, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam melalukan upaya untuk membimbing calon generasi penerus di masa depan agar dapat memiliki kepribadian baik dan pastinya sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan oleh agama Islam itu sendiri melalui pemahaman agama yang kuat agar tidak terjadi berbagai konflik diantara mereka. Pendahuluan Pendidikan berasal dari kata didik yang berarti memelihara atau juga melatih, Abuddin Nata, 2010. Diartikan dari melatih dan memilihara berarti memerlukan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai perantara dalam melakukan kegiatan ini, Mansir, 2020. Seperti misalnya dalam ruang lingkup lembaga pendidikan, dalam mendidik seseorang siswa diharuskan memiliki tujuan yang pasti dan terarah dalam upaya pencapaiannya. Dalam pendidikan tentu saja dibutuhkan seseorang guru yang dapat mengarahkan siswa untuk menjadi lebih baik dari pada sebelumnya, Walidaik, 2017. Hal ini dikarenakan ada beberapa guru yang dalam memberikan pendidikan kepada siswa kurang baik, sehingga menyebabkan siswa kurang mendapatkan pendidikan yang cukup. Sebagai bentuk upaya, diharapkan untuk guru di masa ini bisa memberikan pendidikan yang berkualitas kepada para siswa, Mansir, 2019. Selain untuk melahirkan generasi yang lebih baik, dari adanya pendidikan seeorang akan lebih banyak memahami bagaimana ilmu itu akan diimplementasikan pada kehidupan luar ataupun kehidupan bermasyarakat. Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam Fathani & Purnomo, 2020 memiliki arti upaya dalam mencapai tujuan keberhasilan siswa yang dimana dalam upaya tersebut seorang guru mempunyai keharusan untuk mempersiapkan para siswa untuk mengenal, memahami, mendalami hingga mengimani ajaran Islam serta menjalankan kewajiban yang memang sudah seharusnya dilakukan dalam ajaran Islam itu sendiri. Namun pengertian tersebut hanya sebatas pengertian singkat dari Pendidikan Agama Islam Mansir, 2021. Kehadiran Pendidikan Agama Islam sebenarnya untuk menuntun dan membimbing para siswa supaya tetap berada pada jalan atau jalur yang benar, Sanusi, 2013. Hal ini dikarenakan semakin lama zaman akan semakin berubah, semakin banyak pula tingkah laku atau perilaku yang kurang sesuai dengan aturan yang ada pada Pendidikan Agama Islam itu sendiri. Khususnya untuk kondisi sekarang ini, dunia sudah semakin tua dan teknologi yang berkembang sudah semakin pesat. Tentu saja ini menjadi 252 kekhawatiran para sarjana muslim dan semua sebagai calon penerus generasi muslim yang tentunya akan menjadi tanggungjawab bersama ke depannya. Dalam ajaran agama Islam, terdapat hukum tersendiri untuk menjalankan kegiatan atau mengatur norma-norma kehidupan yang sudah berlaku, Mansir, 2020. Hukum Islam yang dapat dipahami dan dipelajari yaitu berasal dari al-Qur’an dan al-Hadis. Di dalam al-Qur’an telah tertulis lengkap mengenai cerita terdahulu, perintah dan larangan, bagaimana kebiasaan orang-orang terdahulu, atau juga kebiasaan nabi dan rasul yang sudah seharusnya dijadikan sebagai contoh suri tauladan dalam menjalankan kehidupan. Terdapat banyak pesan dan moral yang telah terkandung dalam al-Qur’an. Oleh karena itu sudah menjadi hal yang seharusnya kita lakukan untuk mengimani serta melaksanakan sesuai dengan yang telah tercantum pada pedoman umat Islam hingga akhir zaman nanti. Pada dasarnya tidak ada yang sulit dalam melaksanakan berbagai macam perintah dan menjauhi berbagai larangannya, yang membuat kita sebagai umat muslim sering meniggalkan perintah dan melaksanakan larangan yang telah tertulis. Hal ini dikarenakan sebagai umat Islam sering melalaikan pedoman agamanya sendiri. Terutama saat ini kita berada dan berhadapan dengan generasi millenial atau generasi kekinian yang dimana semua informasi bisa didapatkan dengan mudah dari smartphone saja. Dalam mengaksesnya juga sangat mudah, hanya dibekali dengan kuota data ataupun smartphone yang sudah tersambung dengan wi-fi maka smartphone yang digunakan dapat disambungkan dengan akses internet tanpa batas. Berkenaan dengan hal itu, tidak sedikit informasi yang tersaji dalam internet merupakan hal yang layak dikonsumsi. Ada berbagai situs yang memberikan hal kurang senonoh untuk disajikan kepada khalayak umum. Terutama apabila anak dibawah umur juga tidak luput menikmati salura tersebut. Ini yang menjadi kekhawatiran umat Islam saat ini, orang tua memberikan anak fasilitas smartphone untuk dipergunakan dengan baik dan dapat dipergunakaan untuk belajar atau juga mengakses yang sekiranya bisa menambah ilmu pengetahuan si anak akan tetapi justru itu seakan menjadi boomerang orang tua itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan sedikit seorang anak dan masing- masing dari kita menggunakan smartphone dan internet tersebut untuk mengorek sesuatu yang seharusnya perlu dijauhi. Dari banyaknya pedoman Islam yang berlaku, seharusnya ini membuat masyarakat sebagai umat muslim semakin mudah dalam menjalankan kesehariannya. Namun kembali lagi, yang seringkali menjadi penghalang untuk taat dalam beribadah 253 yaitu terdapat pada diri sendiri. Oleh karenanya, fungsi Pendidikan Agama Islam disini untuk membenahi kekeliruan dan melengkapi kekurangan yang masih menjadi persoalan umat Islam dalam menjalankan kehidupannya Mansir, 2020. Ini menjadi kewajiban bagi pendidik saat ini terutama untuk calon pendidik yang di masa depan besok sudah harus siap untuk mendidik dan membimbing para murid atau peserta didik untuk menjadi generasi Islam yang berilmu Mansir, 2019. Tentu dalam upaya tersebut terdapat banyak ujian dan tantangan supaya target yang diinginkan dapat tercapai. Sehingga diperlukan kesiapan ilmu dan juga pendirian agar berhasil mencapai tujuan pendidikan yag maksimal. Seberapakah pentingnya Pendidikan Agama Islam dalam kehidupan? Seperti yang diketahui bahwasanya Pendidikan Agama Islam sangatlah memiliki pengaruh yang besar di dalam kehidupan seorang muslim. Hal ini dikarenakan pada dasarnya setiap manusia memerlukan pedoman untuk melanjutkan kehidupan dan mengarungi luasnya arus perjalanan hidup ini. Maka dari itu, Pendidikan Agama Islam memiliki posisi teratas dalam mengambil peran untuk menyiapkan kehidupan seorang muslim. Akan tetapi permasalahan yang sedang terjadi yakni Pendidikan Agama Islam mengalami “persaingan dengan pendidikan Barat. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi minat dalam mempelajari Pendidikan Agama Islam, bagi umat Islam Indonesia. Faktor ini beberapa diantaranya berasal dari dalam sekolah namun juga dari luar sekolah. Salah satu faktor yang berasal dari dalam sekolah yaitu dimana ketika pada sekolah negeri jam pembelajaran pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam tidak memiliki porsi yang banyak. Sehingga hal ini membuat minat peserta didik dalam mempelajari pendidikan agama Islam tidak terlalu mendalam. Apalagi asupan yang diberikan sekolah negeri yakni ilmu-ilmu umum yang menyebabkan ilmu agama Islam pada sekolah negeri tidak lagi dibutuhkan banyak. Dalam pendidikan agama Islam terdapat banyak petunjuk guna menangani setiap permasalahan yang ada. Seperti yang diketahui, terdapat berbagai macam konflik yang sudah pasti kita mengenalnya dan konflik tersebut sudah biasa terjadi pada bangku sekolah atau di lembaga pendidikan. Apakah konflik tersebut selalu mengenai kekerasan ataukah hanya sebatas konflik salah paham yang terjadi pada masing-masing siswa yang terlibat. 254 Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, Creswell et al., 2007. Karena itu kemudian, penelitian ini fokus dengan melihat berbagai konflik yang terjadi di lembaga pendidikan. Adapun data yang digunakan ada dua. Yaitu dara primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh dari jurnal nasional yang memperbincangkan tentang konflik siswa. Data ini kemudian dikumpulkan dan dianalis dengan metode deskripti-analitik. Selanjutnya data sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku referensi yang berkaitan dengan konflik siswa. Data sekunder ini untuk memperkuat hasil penelitian dan melengkapi data yang masih kurang. Dengan demikian, data-data yang sudah terkumpul kemudian diberikan kode untuk untuk melihat perbedaan dan persamaan dengan apa yang peneliti telusuri, tentu dalam hal ini adalah mengenai konflik siswa di lembaga pendidikan. Hasil dari pengkodean data-data itu selanjutnya dianalisis sesuai dengan metodologi yang kemudian melahirkan data yang akurat. Hasil dan Pembahasan Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu ilmu pendidikan yang terdapat pada setiap sekolah umum di Indonesia, Mansir, Lain halnya yang terdapat pada sekolah Islam swasta Fauziyah, 2021. Pendidikan Agama Islam terbagi secara spesifik dalam mata pelajaran seperti Fiqh, Aqidah Akhlaq, Qur’an Hadis, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Ilmu-ilmu yang diberikan tetaplah sama yang membedakan yaitu jika pada sekolah negeri hanya diberikan nama PAI dengan penjelasan secara umum, Mansir, 2021. Pada pembelajaran PAI di sekolah Islam maka PAI akan terpecah dengan penjelasan secara detail. Terutama pembelajaran PAI pada sekolah negeri hanya diberikan waktu singkat yang dimana rata-rata waktu yang diberikan hanyalah 2 jam per satu jam pelajarannya selama seminggu. Sehingga dari alokasi waktu yang tersedia tersebut tidak memungkinan jika siswa akan mendapatkan banyaknya pengetahuan agama Islam yang memadai dan mendalam. Mungkin ini adalah salah satu faktor penyebab munculnya konflik-konflik antara siswa dengan siswa lainnya dikarenakan masing-masing dari mereka kurang memahami arti pentingnya Pendidikan Agama Islam. Karena jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, semua yang ada pada dunia ini akan saling berkesinambungan satu sama lain. Kemudian pelaksanaan dari mata pelajaran Pendidikan Agama Islam ini sendiri merupakan program dalam mengimplementasikan pendidikan mental-spiritual dan juga 255 moral kepada para peserta didik, Sanusi, 2013. Bagaimanapun juga peran pendidik atau guru mata pelajaran Agama Islam ini juga harus tetap memantau dan juga mengupayakan untuk melakukan perbaikan konsep materi pelajarannya, Mumtahanah, 2018. Akan lebih baik lagi jika dalam menyajikan materi agama Islam ini diberikan konsep. pembelajaran yang menyenangkan supaya peserta didik tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai Pendidikan Agama Islam. Hal ini juga yang dapat peserta didik menyerap lebih mudah mengenai materi tersebut. Tujuannya adalah supaya peserta didik memahami dan mengenal lebih jauh tentang ilmu-ilmu agama Islam. Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan untuk mengenal, mengetahui, memahami dan mengikuti aturan dan ruang lingkup agama Islam, Mansir, 2020. Pendidikan berasal dari kata “didik” yang berarti memelihara atau pun melatih. Bila diartikan dari segi etimologi atau bahasa, Pendidikan Agama Islam yaitu proses dalam memberikan pengajaran atau bentuk kontribusi seorang pedidik baik dalam akhlak maupun kecerdasan berpikir. Kemudian jika diambil dari segi terminologi atau istilah, Pendidikan Agama Islam merupakan upaya sadar guna mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran supaya siswa dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya untuk lebih memperdalam spiritual keagamaan, self esteem, kepribadian yang baik, kecerdasan dalam akhlak, dan juga keterampilan yang nantinya akan ia implementasikan padaa lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara. Pendidikan Islam Tarbiyah diartikan dari melatih dan memilihara berarti memerlukan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai perantara dalam melakukan kegiatan ini Mansir, 2017. Seperti halnya dalam ruang lingkup sekolah, dalam mendidik seseorang peserta didik diharuskan memiliki tujuan yang pasti dan terarah dalam upaya pencapaiannya. Dalam proses pengenalan ini terdapat banyak faktor-faktor yang masih menjadi kendala dalam melakukan proses belajar mengajar Pendidikan Agama Islam. Entah dari dalam faktor eksternal guru maupun dari media ajar yang berguna untuk membantu guru dalam memperlancar kegiatan belajar mengajar ini. Sudah bukan rahasia lagi jika minat dalam belajar Pendidikan Agama Islam di sekolah Indonesia tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan jam belajar yang diberikan juga hanya terbatas, yaitu hanya sekitar dua jam setiap mata pelajaran. Sedangkan banyaknya materi yang seharusnya diberikan tidak cukup jika hanya diberikan melalui waktu dua jam tersebut. Terutama kendala pada siswa juga seharusnya menjadi pertimbangan pendidik itu sendiri 256 dikarenakan tidak semua siswa yang ada dapat langsung memahami isi dari materi ajar itu sendiri. Belum lagi jika terdapat beberapa anak yang tidak dapat menangkap materi pembelajaran tersebut, ini menyebabkan pendidik atau guru agama Islam tersebut mengalami kebingungan sendiri. Selain tujuan tercapainya materi ajar tidak tersampaikan secara maksimal kepada siswa, ia juga menjadikan hal ini sebagai evaluasi agar kedepannya mengenai materi atau pun segala bahan ajar yang telah ia berikan kepada peserta didik dapat diterima dengan baik. Pendidikan Agama Islami memiliki istilah atau makna tersendiri dari beberapa pengertian diantaranya 1. Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan yang dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam sumber dasar ajaran Islam. 2. Pendidikan Agama Islam merupakan upaya untuk mengajarkan kepada kaum muslimin untuk menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman hidup seseorang. 3. Pendidikan agama Islam merupakan ajaran yang sudah ada sejak zaman Rasulullah hingga saat ini masih berkembang berkaitan dengan agama Islam dan sejarah umat Islam. Dari beberapa istilah yang telah disebutkan di atas tersebut dapat ditarik benang merahnya jika Pendidikan Agama Islam merupakan upaya untuk membimbing calon generasi penerus di masa depan nanti agar dapat memiliki kepribadian baik dan pastinya sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan oleh agama Islam itu sendiri Sinaga, 2017. Dari sinilah nantinya akan lahir generasi penerus yang berkepribadian baik. Jika seseorang telah memiliki kepribadian muslim pastinya nanti ia menjadikan ajaran Islam sebagai pandangan atau pedoman hidupnya Mansir, 2020. Tentunya juga dari cara berpikir dan menyikapi suatu tindakan sesuai dengan ajaran dan pandangan Islam. Dengan begitu tujuan dari Pendidikan Agama Islam merupakan sebuah upaya yang berupa bimbingan baik secara jasmani atau rohani kepada peserta didik secara Islami. Semua ini dilakukan untuk mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Seperti yang telah disebutkan dalam penjelasan sebelumnya, posisi Pendidikan Pancasila, Dewantara, 2015 dan Pendidikan Agama Islam sangatlah penting Kuswanto, 2014, yakni berkaitan dengan ilmu-ilmu Islam yang menjadi fondasi dalam kehidupan perlu dikenal dan difahami betul. Hal ini juga dikarenakan Pendidikan Agama Islam bersifat urgent penting untuk dipelajari dari mulai zaman lahirnya Islam hingga akhir zaman nanti. Di dalam Al-Qur’an sudah diperjelas pada QS. Al–Baqarah ayat 159 257 Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab Al-Qur’an 1. Ruang Lingkup Pendidikan Pancasila dan PAI di Indonesia Pada kajian Pendidikan Pancasila Nurgiansah, 2021, sejatinya lingkup dan fungsi pancasila secara spesifik yaitu yang pertama, pancasila sebagai pedoman hidup bangsa Rindjin, 2013. Indonesia bisa menjadikan pancasila sebagai pedoman dalam menyatukan hubungan dengan bangsa lain. Nilai-nilai pendidikan pancasila tidak boleh keluar atau melepaskan dari berbagai bentuk hubungan diplomatik yang terkoneksi dengan negara Indonesia terhadap negara lainnya Suharyanto, 2013. Segala sesuatu yang terkait dengan hasil dalam konteks hubungan diplomatik perlu dipertimbangkan dengan menggunakan nilai pendidikan pancasila beserta makna yang terkandung dalamnya. Kedua, yaitu pancasila sebagai jiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Seluruh lembaga pendidikan maupun lembaga sosial di Indonesia baik yang besar maupun yang paling kecil seharusnya menjadikan pancasila sebagai nafas dan pedoman ideologinya. Ketiga, yaitu pancasila sebagaai kepribadian bangsa. Pancasila merupakan profile dan wajah bangsa. Sebagai profile, pancasila merupakan jawaban dari pertanyaan mengenai berbagai kepribadian Indonesia yang nyata. Dengan demikian, pendidikan pancasila selanjutnya merupakan pancasila sebagai pedoman hukum Fauzi et al., 2013. Maknanya adalah ia berfungsi sebagai sumber hukum dalam berbagai kasus di Indonesia. Hukum yang dibentuk, dimodel dan dibuat oleh seluruh pihak tidak seharusnya melupakan nilai-nilai pendidikan pancasila. Fungsi pendidikan pancasila juga sebagai cita-cita negara ini. Dasar negara Indonesia yang sudah dirancang sejak dulu oleh para pendiri bangsa memiliki pernyataan menarik yang menjadi harapan bangsa untuk diwujudkan oleh seluruh masyarakat bangsa Indonesia. Selanjutnya pendidikan pancasila berfungsi sebagai cita-cita bangsa maksudnya pancasila menjadi deskripsi serta penjelasan peta akan kemana bangsa Indonesia akan berjalan ke depannya. Dari berbagai fungsi pancasila diatas, dan tafsiran mengenai nilai pada pendidikan pancasila serta yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara hendaknya tidak melenceng dari nilai-nilai pancasila itu sendiri Amir, 2013. Sebab hal ini searah dengan nilai-nilai Pendidikan Agama Islam. Bisa dilihat secara gamblang tentang nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menurut Widjajda 2004 yaitu 258 a. Nilai Ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan. b. Nilai ideal, nilau material, nilai spiritual, nilai pragmatis, dan nilai positif. c. Nilai etis, nilai estetis, nilai logis, nilai sosisal dan nilai religius. Melihat dan mengamati penjelasan di atas, sepertinya nilai-nilai itu sudah terpancar dan terkandung dalam Pendidikan Agama Islam. Pancasila yang tidak luput dari nilai ketuhanan, spiritual, maupun religius dapat menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia untuk tidak melupakan segi spiritual, hal tersebut juga tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Hal tersebut dengan tegas menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menggunakan landasan kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa. Hal serupa juga sesuai dengan perinsip yang terkandung dalam pedoman nilai-nilai karakter. Sementara itu, ruang lingkup pendidikan Agama Islam mencakup keharmonisan, Tolchah, 2020 keselarasan dan kesepadan antara hubungan manusia dengan Rabb-nya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan kemudian hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Tak luput juga hubungan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Aspek-aspek yang terkandung pada Pendidikan Agama Islam juga menjadi penting. Ini akan menjadi perpaduan yang sama-sama saling melengkapi satu sama lain. Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam yang biasanya dilaksanakan di sekolah umum maupun sekolah swasta Islam yakni ada Aqidah Ilmu tentang keimanan, Ilmu Fiqh Ilmu yang berkaitan dengan ibadah, Al Qur’an dan Hadits, Akidah Akhlak, dan juga Tarikh Islam, Fauziyah, 2021. Dari semua cabang ilmu pendidikan, baik itu Pendidikan Pancasila Nishimura, 1995, dan khususnya Pendidikan Agama Islam yang ada di atas dapat ditarik benang merahnya bahwa secara mandiri atau tanpa harus mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah. Ini dikarenakan cabang-cabang ilmu Islam tersebut merupakan ilmu umum yang artinya semua orang dapat mempelajarinya tanpa harus memiliki syarat tertentu untuk belajar ilmu tersebut. Terutama Islam mengharuskan umatnya untuk menuntut ilmu setinggi mungkin, terlebih untuk mempelajari agama hal ini memiliki poin lebih dan memang diwajibkan. Berbeda halnya dengan mempelajari ilmu-ilmu umum yang sifatnya tidak wajib meskipun ketika kita memasuki dunia sekolah pasti kita juga diwajibkan untuk mengikuti pelajaran tersebut. Akan tetapi, dilain waktu jika memiliki waktu lebih luang alangkah baiknya jika dimanfaatkan untuk menimba ilmu agama. 259 2. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pendidikan Agama Islam Seperti yang telah diketahui bahwasanya tujuan dari pendidikan yakni sebagai proses atau upaya untuk menyiapkan masa depan anak didik untuk mencapai tujuan hidup yang tepat, Walidaik, 2017. Berbagai upaya telah dilaksanakan hanya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Terutama saat ini sudah memasuki zaman dimana semuanya hanya mengandalkan internet sebagai rutinitas kesehariannya. Sehingga ini membuat seseorang untuk lebih mawas diri dalam menggunakan dan memanfaatkan internet agar tidak tersesat dalam menggunakannya. Maka peranan pendidikan agama Islam disini supaya anak didik mampu mengendalikan perilakunya agar tidak seenaknya dalam mengambil sikap. Ini dikarenakan anak dan juga remaja rentan mengikuti atau meniru bagaimana orang sekitar dalam berperilaku. Oleh karenanya dalam Islam diberikanlah pedoman untuk hidup lebih baik supaya dapat memanfaatkan hidup yang singat in dengan sebaik-baiknya. Berkaitan dengan nilai yang dapat diimplementasikan oleh siswa, maka pembelajaran yang dapat diterima oleh siswa seperti akhlak yang baik, yang dapat diimplementasikan dengan bagaimana cara bersikap yang baik atau menanggapi perilaku seseorang dengan baik juga tanpa harus berlaku kasar atau menyakiti, Mumtahanah, 2018. Ini merupakan salah satu bentuk mengimplementasikan materi pembelajaran pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam. Kemudian untuk bentuk implementasi materi pembelajaran al-Qur’an dan hadist dapat dilakukan dengan mengamalkan perilaku yang baik sesuai dengan yang telah diperintahkan dalam firman Allah SWT yang telah tertuliskan dalam al-Qur’an, dan kemudian bentuk pengamalan dari hadis sendiri dapat dilakukan dengan melakukan perilaku-perilaku terpuji dan menjalankan sunnah nabi seperti yang telah tercantum dalam hadis-hadis nabi yang hingga saat ini masih dipakai sebagai bentuk petunjuk selain al-Qur’an. Dalam menyampaikan kebenaran juga menggunakan adab dan tutur kata yang baik, ini untuk menghindari diri sendiri dari menyakiti orang lain. Pendidikan Pancasila sangat konsen pada persoalan ini, sebab hal ini dapat mencerminkan sikap dan kepribadian seseorang sebagai anak bangsa. Dalam konteks Pendidikan Agama Islam Hidayat, 2015, apabila orang lain merasa sakit hati karena perkataan yang keluar dari lisan seseorang, maka itu akan membuat individu mendapatkan dosa karena telah membuat orang lain terluka. Maka dari itu, di dalam Pendidikan Agama Islam, adab merupakan sesuatu hal yang penting. Selain ini merupakan bentuk impelementasi dari 260 pembelajaran Akhlak juga bagian dari nilai-nilai Pendidikan Pancasila. Sebuah pepatah yang mengatakan bahwa percuma jika berilmu namun tidak memiliki adab yang baik. Maka dari itu adab sangat penting untuk diajarkan sejak dini. Hal ini selaras dengan semangat yang dimiliki Pendidikan Pancasila dalam mengajarkan kepada siswa tentang sikap hidup toleransi bermasyarakat. Selanjutnya cara mengimplementasikan nilai Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dilakukan dengan cara mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah kehidupan beragama dan berbangsa. Melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan syari’atnya masing-masing. Dalam ilmu fiqh umat muslim diharuskan benar-benar sejalur dengan apa yang sudah diperintahkan. Karena jika keluar dari jalur dan tidak sesuai tuntunan maka itu sama saja menentang ajaran Islam yang sudah ada sejak Islam lahir. Ini juga merupakan antisipasi untuk tidak melakukan hal yang terlarang dalam melaksanakan ibadah. Pendidikan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa way of life memiliki makna Pancasila bagian pedoman dan pegangan dalam kehidupan serta memberikan tuntunan perilaku masyarakat bagsa Indonesia dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Karena itu kemudian, sebagai sumber nilai dan etika, seperti halnya Pendidikan Agama Islam, maka nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila sebaiknya diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan terciptanya kehidupan masyarakat harmonis, dinamis, aman, tertib dan religius. Contoh dalam konteks di sekolah adalah konflik pada siswa sering terjadi mulai pada saat masih berada di Taman Kanak-kanak hingga masa peserta didik sudah memasuki ke jenjang sekolah menengah atas. Tidak hanya sedikit permasalahan, tetapi bisa melahirkan segunung masalah. Mulai dari permasalahan kecil antar sesama teman, kesalah pahaman dengan teman kelas, atau mungkin dengan angkatan yang lebih tua atau muda dari peserta didik tersebut. Bahkan peserta didik juga melakukan kesalahan dengan guru mereka masing-masing yang tidak sengaja atau hanya sebatas salah paham. Tidak dapat dipungkiri jika datangnya permasalahan ini juga awalnya juga sebatas candaan atau masalah kecil, namun akhirnya malah berlanjut hingga memperpanjang masalah. Pada masa sekolah, siswa biasanya mulai usil atau mulai bertingkah yang kurang baik pada saat remaja, Ibda, 2012. Hal ini secara psikologis dikarenakan pada saat remaja hormon seseorang dapat dikatakan sedang tingi-tingginya. Sehingga ketika mereka mengambil keputusan dalam suatu masalah, terkadang belum berpikir secara 261 tepat, atau dalam mengambil keputusan mereka masih belum bisa bertanggungjawab dengan pilihannya. Hal ini yang menjadikan ketika di usia tersebut remaja masihlah dikatakan labil, meskipun terdapat beberapa remaja yang juga sudah bisa menempatkan tanggungjawabnya. Dari uraian di atas, mengungkap bahwa pendidikan pancasila dan pendidikan agama islam pada dasarnya memiliki muara dan misi yang sama, sehingga keduanya diperlukan dalam merespon berbagai persoalan peserta didik di lembaga pendidikan Indonesia, Mansir, 2018. Oleh karena itu, dalam Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam, keduanya menyelesaikan suatu masalah dapat dilakukan dengan cara yang baik, bijaksana, adil, dan tidak saling menyalahkan satu sama lain. Sebagai bangsa Indonesia dan umat Islam harus bisa menerima dan memahami jika terdapat perbedaan yang ada. Karena perbedaan tersebut di dalam Islam lazimnya disebut sebagai rahmat. Maka dengan adanya perbedaan itu, akan menimbulkan adanya sikap saling menghormati, menghargai pendapat atau perbedaan orang lain. Tentu dalam konteks ini yang diharapkan adalah jiwa pancasila dan motivasi keagamaan yang diperlukan. Kesimpulan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan agama islam merupakan salah satu ilmu pendidikan yang terdapat pada setiap sekolah umum di indonesia. Pendidikan Pancasila bagian dari nilai-nilai kebangsaan yang perlu ditularkan kepada peserta didik. Sementara Pendidikan agama Islam bagian dari proses untuk mengenal, mengetahui, memahami dan mengikuti aturan dan ruang lingkup agama Islam. Dari sini titik awal nantinya akan lahir generasi penerus yang berkepribadian baik, berwawasan global, cinta tanah air dan memiliki jiwa pancasila. Jika seseorang telah memiliki kepribadian muslim pastinya nanti ia menjadikan ajaran Islam sebagai pandangan atau pedoman hidupnya. Tidak hanya itu, ia juga menjadikan pancasila sebagai falsafah kehidupan bagsa. Dengan ini akan menjadikan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam juga sebagai pedoman hidup manusia dan warga bangsa Indonesia. Daftar Pustaka Abuddin Nata, A. N. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Kencana Prenada Media Group. Amir, S. 2013. Pancasila as integration philosophy of education and national character. International Journal of Scientific & Technology Research, 21, 54–57. 262 Creswell, J. W., Hanson, W. E., Clark Plano, V. L., & Morales, A. 2007. Qualitative research designs Selection and implementation. The Counseling Psychologist, 352, 236–264. Dewantara, A. W. 2015. Pancasila Sebagai Pondasi Pendidikan Agama Di Indonesia. CIVIS, 51. Fathani, A. T., & Purnomo, E. P. 2020. Implementasi Nilai Pancasila dalam Menekan Radikalisme Agama. Mimbar Keadilan, 132, 240–251. Fauzi, F. Y., Arianto, I., & Solihatin, E. 2013. Peran guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam upaya pembentukan karakter peserta didik. Jurnal PPKn UNJ Online, 12, 1–15. Fauziyah, N. 2021. Pengelolaan Kelas Dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak Di Era Pandemi Covid-19 Pada Siswa Kelas V Di MI Darul Ulum Desa Benem Kecamatan Duduksampeyan Kabupaten Gresik. Universitas Muhammadiyah Gresik. Hidayat, N. 2015. Peran dan Tantangan Pendidikan Agama Islam di Era Global. Jurnal Pendidikan Agama Islam, 121, 61–74. Ibda, F. 2012. Pendidikan moral anak melalui pengajaran bidang studi PPKn dan pendidikan agama. JURNAL ILMIAH DIDAKTIKA Media Ilmiah Pendidikan Dan Pengajaran, 122. Kuswanto, E. 2014. Peranan Guru PAI dalam Pendidikan Akhlak di Sekolah. MUDARRISA Jurnal Kajian Pendidikan Islam, 62, 194–220. Mansir, F. The Response Of Islamic Education To The Advancement Of Science In The Covid-19 Pandemic Era In The Islamic Boarding Schools. AULADUNA Jurnal Pendidikan Dasar Islam, 81, 20–27. Mansir, F. 2017. Model Pendidikan Karakter Di Perguruan Tinggi Islam Studi Pada Umi Dan Uin Alauddin Makassar. Mansir, F. 2018. Diskursus Pendidikan Karakter di Peguruan Tinggi Keagamaan Islam pada Era Milenial. Tadrib, 42, 280–300. Mansir, F. 2019. Implications of Teacher Certification on Professionalism and Welfare of 21th Century PAI Teachers. Tadrib, 52, 138–152. Mansir, F. 2020. Diskursus Sains dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah dan Madrasah Era Digital. Kamaya Jurnal Ilmu Agama, 32, 144–157. 263 Mansir, F. 2020. Identitas Guru PAI Abad 21 Yang Ideal pada Pembelajaran Fiqh di Sekolah dan Madrasah. Muslim Heritage, 52, 435. Mansir, F. 2020. The Leadership of Personnel Management in Islamic Education Emerging Insights from an Indonesian University. Edukasia Islamika, 1–16. Mansir, F. 2020. The Urgency of Fiqh Siyasah In Islamic Education Learning At Madrasas And Schools. POTENSIA Jurnal Kependidikan Islam, 62, 142–154. Mansir, F. 2021. Aktualisasi Pendidikan Agama dan Sains dalam Character Building Peserta Didik di Sekolah dan Madrasah. J-PAI Jurnal Pendidikan Agama Islam, 72. Mansir, F. 2021. The Urgency of Fiqh Education and Family Role in The Middle of Covid-19 Pandemic For Students In School and Madrasah. Kamaya Jurnal Ilmu Agama, 41, 1–10. Mumtahanah, M. 2018. Peranan Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Mengatasi Perilaku Menyimpang Siswa. TARBAWI Jurnal Pendidikan Agama Islam, 301, 19–36. Nishimura, S. 1995. The development of Pancasila moral education in Indonesia. Japanese Journal of Southeast Asian Studies, 333, 303–316. Nurgiansah, T. H. 2021. Pendidikan Pancasila sebagai upaya membentuk karakter jujur. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 91, 33–41. Rindjin, K. 2013. Pendidikan pancasila untuk perguruan tinggi. Gramedia Pustaka Utama. Sanusi, H. P. 2013. Peran Guru PAI Dalam pengembangan Nuansa religius di sekolah. Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, 112, 143–153. Sinaga, S. 2017. Problematika pendidikan agama islam di sekolah dan solusinya. WARAQAT Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 21, 14. Suharyanto, A. 2013. Peranan pendidikan kewarganegaraan dalam membina sikap toleransi antar siswa. JPPUMA Jurnal Ilmu Pemerintahan Dan Sosial Politik Universitas Medan Area, 12, 12. Tolchah, M. 2020. Problematika Pendidikan Agama Islam dan solusianya. Kanzun Books. Walidaik, A. 2017. Peran Guru PAI Dalam Mengatasi Masalah Kenakalan Remaja Studi Kasus Pada MA Darussalam Kemiri Kecamatan Subah Kabupaten Batang. IAIN SALATIGA. ... The development of the nations personality is one of the imperatives of a multicultural nation So for the application of the methods above, it is necessary to have professional educators in teaching and guide the community in achieving the creation of a character that suits the personality of the nation. This nation has a strong foundation in terms of life values, not only that, there are still many people who still have life norms that are by the foundation of this nation, namely Pancasila Mansir & Kian, 2021. But it cannot be discarded the fact that the norms that have been maintained have begun to be eroded by the development of the times and the most affected are the next generations of the nation, this fact proves that the lack of maintenance in Indonesia for the culture attached to the community. ...Firman MansirReligious and socio-cultural education is inseparable in peoples lives. Educational cultural proximity to religion and socio-cultural development become two interrelated and mutually needy sides in solving social problems of society. This research shows that there is a relationship between religious and cultural education that is interrelated, giving birth to changes and responding to the rapid development of the times, thus ushering in a reality of religious life that is full of educational values without losing the local culture. The success of a nation can be seen and measured by the younger generation of its nation in the present and the future. Regarding religious education with culture, it is hoped that there will be the best results from a new generation and have potential with good quality, who can develop the knowledge they have and apply it well in the fabric of education, society, and culture. Thus, religious and socio-cultural education provides answers to various problems in the social development of budaya to religion in the context of educational institutions, be it in schools or madrasas. Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya menjadi dua sisi yang saling terkait dan saling membutuhkan dalam memecahkan persoalan sosial masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan Agama Islam dan budaya yang saling berkaitan, dengan melahirkan perubahan serta merespon berkembangnya zaman yang semakin pesat, sehingga mengantarkan pada sebuah kenyataan kehidupan beragama yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan tanpa menghilangkan budaya setempat. Berhasilnya suatu bangsa dapat dilihat serta diukur dari generasi muda bangsanya pada masa kini serta pada masa yang akan datang. Dalam hubungannya Pendidikan Agama Islam dengan budaya, sangat diharapkan adanya hasil terbaik dari generasi yang baru dan memiliki potensi dengan kualitas yang baik, yang mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mengaplikasikannya dengan baik dalam jalinan pendidikan, sosial dan budaya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya memberi jawaban dari berbagai permasalahan dalam perkembangan sosial budaya terhadap agama dalam konteks lembaga pendidikan, baik itu di sekolah maupun MansirThis study discussed that Islamic boarding schools as educational institutions responded to Covid 19 pandemic era through their educational system. This study aimed to examine how Islamic educational institutions responded to the advancement of science in the current Covid-19 era. The method used was the library research method with a qualitative approach by excavating, discovering, reading, explaining, and conveying implicitly or explicitly to literature from the data. The source data came from articles, journals, and books related to Islamic education, Islamic boarding schools, and the response of Islamic education to the Covid-19 pandemic. In analyzing the data, the researcher used data descriptive and content analyses. The findings indicated that Islamic boarding schools applied online learning during the Covid-19 Pandemic era. Therefore, Islamic boarding schools responded by using science technology in the learning process by developing lesson plans based on the current ini membahas pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang merespon pandemi Covid-19 melalui sistem pendidikannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana lembaga pendidikan Islam menyikapi kemajuan ilmu pengetahuan di era Covid-19 saat ini. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif dengan menggali, menemukan, membaca, menjelaskan, dan menyampaikan secara implisit atau eksplisit ke literatur dari data. Sumber data berasal dari artikel, jurnal, dan buku terkait pendidikan Islam, pesantren, dan respon pendidikan Islam terhadap pandemi Covid-19. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan deskriptif data dan analisis isi. Temuan menunjukkan bahwa pesantren menerapkan pembelajaran online selama era Pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pondok pesantren meresponnya dengan menggunakan iptek dalam proses pembelajarannya dengan mengembangkan RPP berdasarkan situasi saat Heru NurgiansahPerubahan jaman semakin mengikis perilaku peserta didik menjadi arogan, amoral, dan intoleran. Perilaku mereka semakin menjauh dari nilai-nilai agama. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, seperti pengaruh lingkungan dan penggunaan teknologi. Tujuan penelitian ini adalah untuk membentuk karakter religius melalui Pendidikan Pancasila di kalangan peserta didik SMA PGRI 1 Kasihan Bantul. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dokumentasi, dan literasi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Pendidikan Pancasila berhasil membentuk karakter religius peserta didik. Pendidikan Pancasila memiliki peranan penting dalam menyelesaikan segala persoalan khususnya dalam pendidikan karakter. Peneliti berharap agar penelitian berikutnya bisa mendeskripsikan karakter religius sebagai formula untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang MansirThis research explains that in 21st century, education is faces by some quite complex challenges. In this 21st century, advances in science and technology in all fields are increasingly narrowing the world. Compared to the previous century, in this century, professional teachers must have a wider range of competences. Teacher in 21st century must be able to improve personal skills, technical skills, social skills and pedagogical skills. Islamic Education teachers in 21st century are also expected to develop positive relationships with students and the school community using technology as a tool to raise teaching standards. Especially in learning Islamic religious education, in fiqh, an ideal or professional teacher is needed to form the skills of a teacher in building the enthusiasm of students in science, religion and technology. The ideal PAI teacher has the ability to develop and combine various learning strategies and methods to spur students' enthusiasm for learning because students nowadays know information very easily. AbstrakPenelitian ini menjelaskan bahwa pada abad 21 ini pendidikan dihadapkan dengan berbagai tantangan yang cukup kompleks. Pada abad 21 ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang semakin mempersempit dunia. Dibandingkan dengan abad yang sebelumnya, pada abad ini guru yang profesional harus mempunyai kompetensi yang lebih luas. Guru abad 21 ini harus mampu meningkatkan keterampilan pribadi, keterampilan teknis, keterampilan sosial dan keterampilan pedagogik. Guru PAI abad 21 juga diharapkan dapat mengembangkan hubungan positif dengan peserta didik dan komunitas sekolah, menggunakan teknologi sebagai alat untuk meningkatkan standar pengajaran. Terutama dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, dalam fiqih guru yang ideal atau profesional sangat dibutuhkan untuk membentuk kecakapan seorang guru dalam membangun semangat peserta didik dalam hal sains, ilmu agama dan teknologi. Guru PAI yang ideal memiliki kemampuan untuk mengembangakan dan memadukan berbagai strategi dan metode belajar untuk memacu semangat belajar peserta didik, karena pada zaman saat ini peserta didik mengetahui infomasi-informasi dengan sangat MansirThis research was conducted to analyse what methods are effective in analysing the Role of Religion and Science Education in Forming Student Character Building. Basically, learning is influenced by the determination of the selection of the method used. Islamic religious education and science are different lessons so that as educators need to channel their creativity in delivering material. In this research, the writer used literature review method. So that the results of the study refer to methods that are effectively used. In the analysis of the role of religion and science education in shaping the character building of students. The result of this research is an effective method that can be used by educators in the role of religious education and science. In the formation of character building is the mix method, namely the problem-solving method, the inquiry method and the Discovery MansirLeadership is one of crucial things in an education management. It also happens in Islamic higher education institutions, especially in the case of its personnel management. This study aims to describe the leadership style in a personnel management of an Islamic higher education institution in Yogyakarta, Indonesia. This study belongs to qualitative research by using interview and observation in collecting the data. The obtained data then validated by triangulation and descriptively analyzed to produce relevant interpretation of the data. This research comes into a conclusion that the education success is not only measured from the class management, curriculum, students and so on, but also its personnel management. This study promotes that leadership in personnel management of Islamic higher Education needs good leadership style which based on the principle of siddiq, amanah, tabligh, and fathonah. It can be applied through recruitment, development, promotion and transfer, dismissal, compensation, as well as evaluation of employee MansirThis research studies about the policy of Islamic teacher education PAI about the extent of teacher certification towards the professional attitude they have towards the development of students, especially in the context of the digital age. Teacher certification especially PAI teacher can give professionalism attitude towards students in various learning activities. Meanwhile, the welfare of PAI teachers in Indonesia has increased with the emergence of the certification policy. Furthermore, it has implications for PAI teachers to be able to improve their professionalism in conducting learning obligations. Thus, the process that occurring in the interaction between educators and students can run well. In the end, the goal of Islamic education is to form a muttaqien person realized to the maximum. This research was a library library research that is research sourced from library materials using a qualitative approach. Therefore, it was an exploration of a number of data both primary and secondary data with concrete steps as follows reading and examining in depth primary data such as books which are the results of research, theses or dissertations related to this topic. Therefore, Teacher education policies in the industrial revolution era related to teacher certification especially PAI teachers need to be adjusted to the current context. Thus, teachers in Indonesia are not trapped between policy and reality on the ground faced by students. Our expectation is that there will be no more teachers in Indonesia complaining about their income, no more teachers being victimized by schools or foundations for those who have already been certified. Therefore, the teacher certification policy can make PAI teachers further increase their professionalism and SinagaPendidikan Agama Islam merupakan upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Adapun yang menjadi dasar dari Pendidikan Agama Islam adalah Al-Qur’an dan Pendidikan Agama Islam yaitu membina manusia beragama yang berarti manusia yang mampu melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dengan baik dan sempurna, sehingga tercermin pada sikap dan tindakan dalam seluruh kehidupannya. Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah, banyak sekali muncul problematika-problematika. Berbagai problematika yang muncul, bisa berkenaan dengan masalah yang bersifat internal, maupun eksternal. Di antara solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problematika pendidikan agama Islam di sekolah adalah melalui pendekatan parsial, mengoptimalkan peranan ranah afektif dan menciptakan iklim religius di lingkungan pendidikanFirman MansirThis study aims to explain some material descriptions of fiqh siyasah covering four things, namely an explanation of the theory of fiqh siyasah in madrasas and schools, factors of fiqh siyasah, the urgency of fiqh siyasah in madrasas and schools and implementation of fiqh siyasah in madras and schools. Therefore, this study explores the theory of fiqh siyasah in madras and schools. The author describes the concept of fiqh siyasah in science, which discusses matters for the affairs of the State. The people of various forms of regulations, laws, and policies. That have been made by leaders who agree with or are in line with the basic teachings of the Sharia in order to realize the benefit of the people. In its implementation, the concept of fiqh can be seen in madrasas so that a comprehensive level of inculcating these fiqh values can be achieved. Therefore, this is very important to be taught to average students. If at the previous school level, students were only required to be able to understand the existing doctrines in fiqh. According to one or more schools, then in this madrasas an understanding of a difference of opinion or view in the prediction of fiqh learning is given. In addition, students must also be able to implement the science of fiqh. In everyday life so that, this becomes a form so that the goals of Islamic education are MansirThe changes in curriculum and everything in between such as development of Islamic education, science, development innovation, change and others are inevitability which generate new challenges in the field. Facing this reality, all element of society expects that the role of Islamic religious education which indeed has taught moral and spiritual value. Therefore the urgency of Islamic religious education in providing teachings or guidelines for social activities becomes a very urgent need. In line with the statement, we need an educators who have creativity and innovation to be able to develop learning well and professionally. No matter how good the curriculum design is, if the delivery is not good, an effective learning will certainly not work. Scientific based learning implementation in Islamic education must be conducted to face dynamic things in educational world including the digital industry development c Landasan Sosial Budaya Pidarta (1997) mengemukakan bahwa sosial budaya merupakan bagian hidup yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari. Setiap kegiatan manusia hampir tidak pernah lepas dari unsur sosial budaya. Sebab sebagian terbesar dari kegiatan manusia dilakukan secara kelompok. Pendidikan dianggap sebagai sistem persekolahan. Sistem ini hanya melihat hubungan struktural antar bagian seperti guru, siswa, kurikulum dan sarana prasarana. Namun ternyata lembaga pendidikan dapat dilihat lebih dari itu yaitu sebagai sebuah tempat dalam melakukan transformasi budaya. Lembaga pendidikan dan transformasi budaya tidak dapat dipisahkan karena keduanya terkait dengan nilai. Lembaga pendidikan dapat disamakan dengan sistem sosial karena didalamnya terjadi proses sosialisasi. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan kontribusi berupa konsep dalam melakukan transfer nilai sehingga membentuk karakter melalui lembaga pendidikan. Penelitian ini menemukan bahwa menurut teori perkembangan budaya Van Peursen maka diharapkan lembaga pendidikan dapat memposisikan diri sebagai tahap fungsional. Pada tahap ini lembaga pendidikan sebagai agen transformasi nilai harus berfungsi dalam memberikan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Dalam melakukan proses pembudayaan nilai agar terbentuk menjadi karakter dapat menggunakan pendapat dari Pierre Bourdieu mengenai Habitus. Lembaga pendidikan dapat melakukan pembiasaan melalui beberapa kegiatan. Pembiasaan dapat dilakukan melalui interaksi sosial antar warga sekolah lembaga pendidikan. Pembiasaan yang telah mengakar menjadi pembudayaan harus dijaga dengan kontrol yang dilakukan oleh lembaga pendidikan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta 105 TRANSFORMASI BUDAYA MELALUI LEMBAGA PENDIDIKAN Pembudayaan Dalam Pembentukan Karakter Ashif Az Zafi Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama STAINU Purworejo Abstrak Pendidikan dianggap sebagai sistem persekolahan. Sistem ini hanya melihat hubungan struktural antar bagian seperti guru, siswa, kurikulum dan sarana prasarana. Namun ternyata lembaga pendidikan dapat dilihat lebih dari itu yaitu sebagai sebuah tempat dalam melakukan transformasi budaya. Lembaga pendidikan dan transformasi budaya tidak dapat dipisahkan karena keduanya terkait dengan nilai. Lembaga pendidikan dapat disamakan dengan sistem sosial karena didalamnya terjadi proses sosialisasi. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan kontribusi berupa konsep dalam melakukan transfer nilai sehingga membentuk karakter melalui lembaga pendidikan. Penelitian ini menemukan bahwa menurut teori perkembangan budaya Van Peursen maka diharapkan lembaga pendidikan dapat memposisikan diri sebagai tahap fungsional. Pada tahap ini lembaga pendidikan sebagai agen transformasi nilai harus berfungsi dalam memberikan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Dalam melakukan proses pembudayaan nilai agar terbentuk menjadi karakter dapat menggunakan pendapat dari Pierre Bourdieu mengenai Habitus. Lembaga pendidikan dapat melakukan pembiasaan melalui beberapa kegiatan. Pembiasaan dapat dilakukan melalui interaksi sosial antar warga sekolah lembaga pendidikan. Pembiasaan yang telah mengakar menjadi pembudayaan harus dijaga dengan kontrol yang dilakukan oleh lembaga pendidikan. Kata Kunci Transformasi budaya, transfer nilai, sekolah, karakter A. PENDAHULUAN Para pakar pendidikan mendefinisikan pendidikan sebagai suatu sistem. Pendidikan sebagai sistem dapat ditinjau dari dua hal yaitu Pendidikan secara mikro lebih menekankan pada unsur pendidik dan peserta didik, sebagai upaya mencerdaskan peserta didik melalui proses interaksi dan komunikasi. Oleh karena itu, fungsi pendidik adalah sebagai pengyampai materi melalui kegiatan pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Sistem pendidikan menyangkut berbagai hal atau komponen yang lebih luas yaitu 1 Input , berupa sistem nilai dan pengetahuan, sumber daya manusia, masukan instrumental berupa kurikulum, silabus. Sedangkan masukan sarana termasuk di dalam fasilitas dan sarana pendidikan yang harus disiapkan. Unsur masukan input, contohnya peserta didik. 2 Proses, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan proses belajar atau proses pembelajaran di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam komponen proses ini termasuk di dalamnya telaah kegiatan belajar dengan segala dinamika dan unsur yang mempengaruhinya, serta telaah kegiatan pembelajaran yang dilakukan pendidik untuk memberi kemudahan kepada peserta didik dalam terjadinya proses pembelajaran. Unsur proses contohnya metode atau cara yang digunakan dalam proses pembelajaran. 3 Output, yaitu hasil yang diperoleh pendidikan bukan hanya terbentuknya pribadi yang memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan sesuai yang diharapkan. Namun juga keluaran pendidikan mencakup segala hal yang dihasilkan berupa kemampuan peserta didik human behavior, produk jasa services dalam pendidikan seperti hasil penelitian, produk barang berupa karya intelektual ataupun karya yang sifatnya fisik Namun banyak pakar juga yang memandang pendidikan sebagai sebuah 1 Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan, Jakarta Rineka Cipta, 1991, 102. 106 SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta transformasi budaya yang dapat menginternalisasikan nilai-nilai luhur. Para pakar tersebut menyatakan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah seperangkat sarana yang diperoleh untuk membudayakan nilai-nilai budaya masyarakat yang dapat mengalami perubahan-perubahan bentuk dan model sesuai dengan tuntutan kebutuhan hidup masyarakat dalam rangka mengejar cita-cita hidup yang sejahtera lahir maupun batin. Berdasarkan pendapat tersebut maka pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan budaya karena antara pendidikan dan budaya terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yaitu Dengan demikian tidak ada suatu proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tidak ada suatu pendidikan tanpa kebudayaan dan masyarakat. Pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan adalah kebudayaan. Pendidikan bertujuan membentuk manusia agar dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahahankan kelangsungan hidup. Pendidikan berbasis budaya menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengatasi segala tantangan kehidupan yang berubah-ubah dan semakin berat. Selain itu pendidikan memberikan jawaban dan solusi atas penciptaan budaya yang didasari oleh kebutuhan masyarakat sesuai dengan tata nilai dan sistem yang berlaku di dalamnya. Pendidikan sebagai transformasi budaya dapat dikatakan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke 2 Ralph Linton yang dikutip Joko Tri Prasetya dalam Ilmu Budaya Dasar, Jakarta Rineka Cipta, 2004, 29. generasi yang lainnya. Seperti bayi lahir sudah berada di dalam suatu lingkungan budaya Di dalam lingkungan masyarakat dimana seorang bayi dilahirkan telah terdapat kebiasaa-kebiasaan tertentu. Larangan-larangan, anjuran dan ajakan tertentu seperti yang dikehendaki oleh masyarakat. Hal-hal tersebut mengenai bnyak hal seperti bahasa, cara menerima tamu, makan, bercocok tanam dan lain-lain. Nilai-nilai kebudayaan mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya, nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab dan lain-lain, nilai yang kurang cocok diperbaiki misalnya, tata cara perkawinan, dan nilai yang tidak cocok diganti misalnya, pendidikan seks yang dulu diasingkan diganti dengan pendidikan seks melalui pendidikan formal. Disini tampak bahwa proses pewarisan budaya tidak semata-semata mengenalkan budaya secara estafet. Pendidikan justru mempunyai tugas menyiapkan peserta didik untuk hari esok. Berdasarkan penjelasakan diatas maka dapat ditelusuri cara mentransformasikan nilai-nilai budaya sehingga dapat membentuk karakter. B. PEMBAHASAN Proses Transformasi Budaya Kebudayaan sebagai nilai-nilai yang dihayati ataupun ide yang di yakini tersebut bukanlah ciptaan sendiri dari setiap individu yang menghayati dan meyakini, semuanya itu di peroleh melalui proses belajar. Proses belajar merupakan cara untuk mewariskan nilai-nilai tersebut dari generasike generasi. Pewarisan tersebut di kenal dengan proses sosialisasi atau enkulturasi proses pembudayaan.4 3 Tilaar, Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Berdasarkan Pancasila, Jakarta LIPI, 1991, 21. 4 Aloliliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2011, 215. SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta 107 Sosialisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses seumur hidup yang berkenaan dengan bagaimana individu mempelajari cara-cara hidup, norma dan nilai sosial yang terdapat dalam kelompoknya agar dapat berkembang menjadi pribadi yang dapat di terima oleh kelompoknya. Sosialisasi berfungsi untuk 1 Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada individu; 2 Menambah kemampuan berkomunikasi, mengembnagkan kemampuan menulis, membaca dan bercerita; 3 Membantu pengendalian fungsi-fungsi organik melalui latihan-latihan mawas diri; 4 Membiasakan individu dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam Agen atau pelaku sosialisasi meliputi keluarga, teman bermain, sekolah, media massa cetak dan elektronik, Lingkungan Proses sosialisasi terjadi melalaui conditioning oleh lingkungan yang menyebabkan individu mempelajari pola kebudayaan yang fundamental seperti berbahasa, cara berjalan, duduk, makan apa yang di makan, berperilaku sopan, mengembangkan sikap yang dianut dalam masyarakat seperti sikap terhadap agama, seks, orang yang lebih tua, pekerjaan, dan segala sesuatu yang perlu bagi warga masyarakat yang baik. Belajar norma-norma kebudayaan pada mulanya banyak terjadi di rumah dan sekitar, kemudian di sekolah, bioskop, televisi dan lingkungan lain. Sosialisasi tercapai melalui komunikasi dengan anggota masyarakat lainnya pola kelakuan yang diharapkan dari anak terus-menerus disampaikan dalam segala sesuatu dimana terlibat. Kelakuan yang tak sesuai dikesampingkan karena menimbulkan konflik dengan lingkungan. Sedangkan kelakuan yang 5 Ibid., 216. 6 M. Idianto, Sosiologi, Jakarta, Erlangga, 20014, 115-122. sesuai dengan norma yang diharapkan Proses enkulturasi berkaitan dengan proses belajar. Proses belajar menyesuaikan alam pikiran serta sikap terhadap adat, sistem norma, serta semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan seseorang. Proses ini telah dimulai sejak awal kehidupan kemudian dalam lingkungan yang makin lama makin meluas. Proses enkulturasi selalu berlangsung secara dinamis. Wahana terbaik dan paling efektif untuk mengembangkan ketiga proses sosial budaya tersebut adalah pendidikan yang terlembaga melalui sistem persekolahan. Sekolah merupakan wahana strategis yang memungkinkan setiap anak didik, dengan latar belakang sosial budaya yang beragam, untuk saling berinteraksi di antara sesama, saling menyerap nilai-nilai budaya yang berlainan, dan beradaptasi sosial. Dapat dikatakan, sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang menjadi tiang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat, untuk mewujudkan cita-cita kolektif. Maka, pendidikan yang diselenggarakan melalui sistem persekolahan semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan. Proses transformasi budaya dapat di lakukan dengan cara mengenalkan budaya, memasukan aspek budaya dalam proses pembelajaran. Kebudayaan merupakan dasar dari praksis pendidikan maka tidak hanya seluruh proses pendidikan berjiwakan kebudayaan nasional saja, tetapi juga seluruh unsur kebudayaan harus di perkenalkan dalam proses pendidikan. Untuk membangun manusia melalui budaya maka nilai-nilai budaya itu harus menjadi satu dengan dirinya, untuk itu di perlukan waktu panjang untuk transformasi budaya. Selanjutnya Van Peursen menjelaskan bahwa perkembangan budaya manusia dibagi menjadi tiga tahap, yaitu 7 Nasution. S, Sosiologi Pendidikan, Jakarta Bumi Aksara, 2011, 126-129. 108 SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta mitis, ontologis, dan fungsionalis. Pertama tahap Mitis. Manusia menganggap bahwa dirinya adalah bagian dari alam. Manusia merasa bahwa dirinya berada di dalam dan dipengaruhi oleh alam. Hal ini dapat dilihat budaya Indian. Mereka sering menganggap bahwa diri mereka adalah penjelmaan dari hewan di sekitarnya. Pada tahap ini, manusia kerap memberikan kurban atau sesaji sebagai bentuk penghormatannya kepada alam. Manusia juga membuat norma-norma perlakuan terhadap alam. Sehingga hidupnya selalu selaras dengan alam dan dilindungi oleh alam itu sendiri. Kedua tahap Ontologis. Manusia mulai mengenal agama. Manusia tidak lagi memberikan kurban dan memandang bahwa alam merupakan sama-sama makhluk Tuhan yang harus dijaga kelestariannya. Meskipun begitu, manusia sudah mulai menjadikan alam sebagai objek yang bisa dipergunakan untuk mempertahankan hidupnya. Ketiga tahap fungsional. Manusia sudah jauh dari alam. Bahkan, alam tidak hanya sekedar dijadikan objek, tetapi telah menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidupnya nyaman. Tahap ini ditandai dengan revolusi industri di dunia dan manusia memperlakukan alam dengan mengeksplorasinya secara Berdasarkan teori perkembangan budaya Van Peursen tersebut sebaiknya Pendidikan Islam dapat menempatkan diri pada tahap yang ketiga yaitu tahap fungsional. Peran Pendidikan Islam seharusnya dapat memberi kontribusi nyata dalam pembentukan karakter atau internalisasi nilai-nilai budaya. Mungkin ini memang bersifat pragmatis namun ini akan menjaga eksistensi Pendidikan Islam. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Sangkot Sirait bahwa Islam inklusif yang bersifat ontologis belum cukup karena harus ada Islam yang 8 van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta Yayasan Kanisius, 1976, 18-19. 9 Sangkot Sirait, Dari Islam Inklusif ke Islam Fungsional Telaah Atas Pemikiran Al-Faruqi, Yogyakarta Datamedia, 2008, 2. Pendidikan Sebagai Transformasi Nilai Hubungan anatar pendidikan dan transformasi budaya dalam pembentukan karakter adalaha adanya proses internalisasi. Internalisasi merupakan suatu proses penenaman nilai tentang budaya. Dalam penanaman dan penumbuhkembangan nilai tersebut dilakukan melalui berbagai didaktik-metodik pendidikan dan pengajaran, seperti pendidikan, pengarahan indoktrinasi, brain-washing, dan lain sebagainya. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat. Misalnya melalui sebuah materi pembentuka karakter sebuah bangsa yang dimana di dalamnya membahas tentang sebuah nilai-nila budaya yang dapat diintegrasikan sebagai pembelajaran. Pendidikan sebagai transformasi budaya di artikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan disini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah keseluruhan dari keadaan diri, totalitas yang dilakukan manusia yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap orang. Menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai mahluk bio-sosial. Oleh karena itu, pendidikan harus hadir dan di maknai sebagai pembentukan karakter character SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta 109 building manusia10, aktualisasi kedirian yang penuh insan dan pengorbanan atas nama kehidupan manusia. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok di teruskan misalnya, nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab dan lain-lain. Yang kurang cocok di perbaiki, dan yang tidak cocok di Contohnya budaya korup dan menyimpang adalah sasaran bidik dari prndidikan transformatif. Pendidikan merupakan proses membudayakan manusia sehingga pendidikan dan budaya tidak bisa dipisahkan. Pendidikan bertujuan membangun totalitas kemampuan manusia baik sebagai individu maupun anggota kelompok masyarakat sebagai unsur vital dalam kehidupan manusia yang beradab, kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentukannya dari segala ilmu pengetahuan yang di anggap vital dan sangat di perlukan dalam menginterprestasi semua yang ada dalam kehidupannya. Peranan Lembaga Pendidikan Dalam Proses Pembudayaan Perananan lembaga pendidikan adalah menjadi salah satu saluran atau media dari proses pembudayaan. Media lainnya adalah keluarga dan institusi lainnya yang ada di dalam masyarakat. Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk “memanusiakan manusia”. Sejalan dengan itu, kalangan antropolog dan ilmu sosial lainnya melihat bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan mensosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal sebagai proses enkulturasi pembudayaan dan sosialisasi proses pembentukan kepribadian dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak tersebut diakui oleh masyarakat yang 10 Muh. Wasith Achadi, “Interaksi Pendidikan dan Kebudayaan”, dalam Jurnal Dinamika Vol. 2, Jawa Tengah LP3M STAINU Purworejo, 2016, 2. 11 Ralph Linton, The Culture Background of Personality, New York Appleton-Century Crofts, 1985, 21. bersangkutan. Dalam pengertian ini pendidikan bertujuan membentuk agar manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara pribadi, kelompok maupun masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan adalah upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan peran sosial masing-masing dalam masyarakat. Secara tidak langsung, pola ini menjadi proses melestarikan suatu kebudayaan. Sejalan dengan ini bertrand russel mengatakan pendidikan sebagai tatanan kehidupan bermasyarakat yang berbudaya. Melalui pendidikan kita bisa membentuk suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang maju, modern, tentram dan damai berdasarkan nilai-nilai dan norma Untuk mewujudkan hal tersebut, para penyelenggara pendidikan harus yakin bahwa program dan proses pembelajaran dapat menggiring siswa agar mampu menggunakan segala apa yang telah dimilikinya yang diperoleh selama proses belajar sehingga bermanfaat dalam kehidupan selanjutnya, baik kehidupan secara akademis maupun kehidupan sehari-hari. Jika kita ingin memisahkan pendidikan dari kebudayaan merupakan suatu kebijakan yang merusak kebudayaan sendiri, malahan menghianati keberadaan proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Nilai-nilai pendidikan ditransmisikan dengan proses-proses acquiring melalui inquiring. Jadi proses pendidikan bukan terjadi secara pasif atau untuk determined tetapi melalui proses interaktif antara pendidikan dan peserta didik. Proses tersebut memungkinkan 12 Ace Suryadi dan Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung Rosdakarya, 1994 195. 110 SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta terjadinya perkembangan budaya melalui kemampuan-kemampuan kreatif yang memungkinkan terjadinya inovasi dan penemuan-penemuan budaya lainnya, serta asimilasi, akulturasi dan seterusnya. Ada pakar yang menganggap bahwa antara kebudayaan dan pendidikan saling berpengaruh artinya yaitu bahwa manusia yang berpendidikan adalah sama dengan orang yang berbudaya. Dengan budaya proses pendidikan juga akan lebih mudah karena mempelajari budaya dapat menumbuhkan kesadaran etik, kesusialaan, dan norma hokum. Jadi peserta didik akan lebih mudah menerima karena mereka mempunyai kesadaran untuk mengikuti proses pendidikan dengan tulus tanpa perlu dipaksaan. Contoh konkret yang diambil yaitu transformasi budaya bertanggung jawab. Dalam pendidikan formal , apalagi pendidikan dasar, guru mempunyai wewenang penuh dalam kelas. Guru berperan penting dalam proses transformasi budaya dan dalam penyampaian ilmu yang dapat dilakukan pendidik dalam pendidikan formal adalah memberikan pekerjaan rumah pada siswa. Dengan pemberian tugas atau pekerjaan rumah, siswa mempunyai tanggung jawab dan kewajiban untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Jika siswa tidak menyelesaikan baik sengaja ataupun tidak, guru dapat memberi sanksi yang mendidik bagi mereka. Apabila hal ini dibiasakan, maka akan terbentuk rasa tanggung jawab dalam diri siswa. Dalam contoh ini, telah terjadi proses transformasi kebudayaan bertanggung jawab dalam lingkungan pendidikan formal. Pendidikan merupakan bentuk strategi kebudayaan yang paling efektif untuk membangun suatu budaya dengan mewujudkan masyarakat yang baik, serta membangun peradaban umat manusia yang selaras dengan cita-cita kemanusiaan. Manusia yang tidak mengenal budaya sama saja tidak mengenal bangsanya sendiri. Oleh karena, kita harus melestarikan dan menjaga budaya dengan cara dalam proses pendidikan dimasukkan unsur-unsur budaya agar keluarannya dari pendidikan tidak hanya pengetahuan saja tapi siap untuk hidup dalam masyarakat. Proses Pembudayaan Melalui Lembaga Pendidikan Proses pembudayaan dalam menginternalisasikan nilai agar terbentuk karakter tidak akan lepas dari teori Habituasi yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu. Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang dalam bentuk disposisi abadi, atau kapasitas terlatih dan kecenderungan terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan cara determinan, yang kemudian membimbing mereka. Jadi Habitus tumbuh dalam masyarakat secara alami melalui proses sosial yang sangat panjang, terinternalisasi dan terakulturasi dalam diri masyarakat menjadi kebiasaan yang terstruktur secara sendirinya. Habitus dibuat melalui proses sosial, bukan individu yang mengarah ke pola yang abadi dan ditransfer dari satu konteks ke konteks lainnya, tetapi yang juga bergeser dalam kaitannya dengan konteks tertentu dan dari waktu ke waktu. Habitus tidak tetap atau permanen, dan dapat berubah di bawah situasi yang tak terduga atau selama periode sejarah panjang. Bourdieu dalam bukunya juga mengatakan bahwa Habitus bukanlah hasil dari kehendak bebas, atau ditentukan oleh struktur, tapi diciptakan oleh semacam interaksi antar waktu disposisi yang keduanya dibentuk oleh peristiwa masa lalu dan struktur, dan bentuk praktik dan struktur saat ini dan juga, penting, bahwa kondisi yang sangat persepsi kita ini. Dalam pengertian ini habitus dibuat dan direproduksi secara tidak The habitus is not only a structuring structure, which organizes practices and the perception of practices, but also a structured structure the 13 Pierre, Bourdieu, Distinction a social critique of the judgement of taste, Cetakan ke-8, translated by Richard Nice, Cambridge Harvard University Press, 1996, 170. SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta 111 principle of division into logical classes which organizes the perception of the social world is itself the products of internalization of the division into social Berdasarkan teori Habitus tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa apabila lembaga ingin membentuk karakter maka perlu pembiasaan. Lembaga pendidikan dapat diartikan sebagai masyarakat karena mereka merupakan sekelompok orang yang Habitus dapat diciptakan di lembaga pendidikan dengan by design. Dan apabila habitus ini dilaksanakan akan menjadi proses pembudayaan yang akan menginternalisasikan nilai sehingga terbentuklah karakter. Habitus yang telah terbentuk dan menciptakan karakter baik harus dikontrol dengan baik. Habitus akan menjadi proses pembudayaan dalam upaya membentuk perilaku dan sikap seseorang yang didasari oleh ilmu pengetahuan, keterampilan sehingga setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing. Dengan demikian, ukuran keberhasilan pembelajaran dalam konsep enkulturasi adalah perubahan perilaku siswa. Hal ini sejalan dengan 4 empat pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco yaitu 1 Learning to know adalah upaya memahami instrumen-instrumen pengetahuan baik sebagai alat maupun sebagai tujuan. Sebagai alat pengetahuan tersebut di harapkan akan memberikan kemampuan setiap orang untuk memahami berbagai aspek lingkungan agar mereka dapat hidup dengan harkat dan martabatnya dalam rangka mengembangkan keterampilan kerja dan berkomunikasi dengan berbagai pihak yang di perlukan. Sebagai tujuan, maka pengetahuan tersebut akan bermanfaat dalam rangka peningkatan pemahaman, pengetahuan serta penemuan di dalam kehidupannya. 2 Learning to do lebih di 14 Ibid., 170. tekankan pada bagaimana mengajarkan anak-anak untuk memperaktikan segala sesuatu yang telah di pelajarinya dan dapat mengadaptasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah di perolehnya tersebut dengan pekerjaan-pekerjaan di masa depan. 3 Learning to live together pada dasarnya adalah mengajarkan, melatih dan membimbing peserta didik agar mereka dapat menciptakan hubungan melalui komunikasi yang baik, menjauh perasangka-perasangka buruk terhadap orang lain serta menjauhi dan menghindari terjadinya perselidihan dan konflik. 4 Learning to be sebagaimana di ungkapkan secara tegas oleh komisi pendidikan, bahwa prinsip fundamental pendidikan hendaklah mampu memberikan konstribusi untuk perkembangan seutuhnya setiap orang, jiwa dan raga, intelegensi, kepekaan, rasa etika, tanggung jawab pribadi dan nilai-nilai Dari keempat pilar pendidikan yang direkomendasikan oleh Unesco tersebut, terbentuknya karakter menjadi prioritas utama. Hal ini dapat dilihat dari posisi hierarki learning to be. Pendidikan digunakan sebagai pengkayaan pengalaman berilmu, pengendalian diri dan menjadi diri sendiri. Peserta didik mengembangkan daya kreasi dan kediriannya di masa depan yang berebda dari situasi saat belajar C. SIMPULAN Pendidikan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai komponen pendidikan juga dapat diartikan sebagai sebuah sistem sosial. Sistem sosial ini berarrti lembaga pendidikan merupakan perkumpulan beberapa orang yang saling berinteraksi yang ingin mencapai suatu tujuan bersama. Pemahaman lembaga pendidikan sebagai suatu sistem sosial 15 Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, Bandung Alfabeta, 2011, 6-8. 16 Abdul Munir Mulkhan, “Spiritualisasi IPTEK dalam Perkembangan Pendidikan Islam”, dalam Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta IISEP, 2008, 185. 112 SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta lebih dapat melihat pendidikan sebagai cara untuk menanamkan nilai-nilai luhur yang berada di masyarakat. Dalam menanamkan nilai-nilai ini maka dapat membentuk karakter siswa. Lembaga pendidikan sebagai agen dalam penanaman nilai dapat memberikan nilai berupa pengetahun, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. Selanjutnya jika dilihat dari teori perkembangan budaya Van Peursen maka diharapkan lembaga pendidikan dapat memposisikan diri sebagai tahap fungsional. Pada tahap ini lembaga pendidikan sebagai agen transformasi nilai harus berfungsi dalam memberikan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Dalam melakukan proses pembudayaan nilai agar terbentuk menjadi karakter dapat menggunakan pendapat dari Pierre Bourdieu mengenai Habitus. Lembaga pendidikan dapat melakukan pembiasaan melalui beberapa kegiatan. Pembiasaan dapat dilakukan melalui interaksi sosial antar warga sekolah lembaga pendidikan. Pembiasaan yang telah mengakar menjadi pembudayaan harus dijaga dengan kontrol yang dilakukan oleh lembaga pendidikan. D. DAFTAR PUSTAKA Achadi, Muh. Wasith, “Interaksi Pendidikan dan Kebudayaan”, dalam Jurnal Dinamika Vol. 2, Jawa Tengah LP3M STAINU Purworejo, 2016. Ahmadi, Abu, Ilmu Pendidikan, Rineka Cipta Jakarta 1991. Aloliliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2011. Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, Bandung Alfabeta, 2011. Bourdieu, Pierre, Distinction a social critique of the judgement of taste, Cetakan ke-8, translated by Richard Nice, Cambridge Harvard University Press, 1996. Idianto, M, Sosiologi, Jakarta Erlangga, 20014. Linton, Ralph, The Culture Background of Personality, New York Appleton-Century Crofts, 1985. Mulkhan, Abdul Munir, “Spiritualisasi IPTEK dalam Perkembangan Pendidikan Islam”, dalam Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta IISEP, 2008. Nasution. S, Sosiologi Pendidikan, Jakarta Bumi Aksara, 2011. Prasetya, Joko Tri, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta Rineka Cipta, 2004. Peursen, van, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta Yayasan Kanisius, 1976. Sirait, Sangkot, Dari Islam Inklusif ke Islam Fungsional Telaah Atas Pemikiran Al-Faruqi, Yogyakarta Datamedia, 2008. Suryadi, Ace dan Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung Rosdakarya, 1994. Tilaar, Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Berdasarkan Pancasila, Jakarta LIPI, 1991. ... In order to improve the quality and potential of education in Indonesia, families, communities, and the government must share responsibility for education, bearing in mind the importance of education Sujana, 2019;Santika, 2021. Through education, a person's attitude and behavior will experience a process of transformation or formation Putra, 2017;Zafi, 2018;Susiana et al., 2019. Students must be able to think critically, systematically, logically, and creatively and be willing to work together effectively Marliani, 2015;Rachmantika & Wardono, 2019. ...Ichdar DomuStudents' information gathering is heavily reliant on their learning styles. Mathematical education calls for a deeper examination of methodological variations. This study examines the correlation between students' learning styles and their ability to solve math word problems involving a system of two-variable linear equations. The method employed is a qualitative, descriptive research method. The instruments utilized are student aptitude and learning style assessments. Data analysis methods include data collection, data reduction, and data interpretation. The findings included that the visual and auditory subjects completed only three of the five questions they deemed simple. Comparatively, kinesthetic subjects were able to answer four questions. When reexamining the visual, auditory, and kinesthetic subjects, the obtained answers are not rechecked. By concluding the solution process, visual and kinesthetic subjects exhibit similarities. In the final phase, the auditory subject neither concludes nor responds to the initial questions.... Sehingga dapat dikatakan bahwa Covid-19 memfungsikan peran yang sebenarnya. Dalam hal ini anak dengan keluarga bersosialisasi bagaimana membangun hubungan sosial keluarga yang harmonis seperti munculnya rasa komitmen bersama dan hubungan timbal balik antar anak dan orang tua, pemberian perhatian, keteladanan, serta membangun suasana belajar yang nyaman dan komunikasi yang baik Zafi, 2018. ...Risdoyok RisdoyokPembelajaran adalah instrumen yang sangat penting dalam mencerdaskan kehidupan Bangsa. Guna untuk mengembangkan potensi kognitif, psikomotor, dan afektif peserta didik. Untuk mengembangkan potensi-potensi ini tentu didukung dengan suasana belajar dengan nyaman dan penuh dengan bimbingan yang maksimal pula. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan data bersumber dari observasi, wawancara dan dokumentasi sedangkan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini penelitain kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran mengalami perubahan, secara tidak langsung menunjukkan dinamika Pendidikan di Indonesia terganggu. Seperti proses pembelajaran dialihkan di rumah masing-masing daring, Kedua; transformasi media pembelajaran berbasis Media Digital, yakni WhatsApp groups, Google class, Googleomes’, Office 365, Ketiga; system, metode, evaluasi pembelajaran yang disesuaikan dan, Keempat; kerjasama guru dan orang tua yang menentukan keberhasilan pendidikan saat ini. Kalau kerjasama antara guru dan orang tua dijalani dengan baik maka keberhasilan dari belajar mereka akan tercapai. Karena melihat dari segi pengaruh mereka belajar saat ini cukup banyak, sehingga tingkat pemfokusan mereka menurut. Untuk itu perlunya peran lebih dari orang tua selama belajar dari rumah. Sedikitnya ini yang perlu diperhatikan oleh semua pihak lembaga Pendidikan untuk menciptakan kecerdasan kehidupan bangsa dalam situasi apapun.... Lahirnya generasi milenial pada era digitalisasi teknologi, harus diimbangi oleh kemajuan dunia pendidikan Siswati, 2019. Transformasi budaya yang semakin cepat juga dapat mengakibatkan perubahan tatanan sosial Zafi, 2018. Meskipun perubahan tersebut pada satu sisi menguntungkan, tetapi di sisi yang lain dapat merugikan. ...Karyanto KaryantoEndang SulistiyoriniWarsiman WarsimanThe research aims to identify the pattern of supervision used by SMAN 1 Sidoarjo in implementing the excellent school program based on soft skills. This study uses a qualitative descriptive approach. Principals, teachers, students, staff and everyone else involved in SMAN 1 Sidoarjo's excellent school program focused on soft skills were the study's subjects. The research's primary data collection methods are interviews, observation, and documentation. The results showed that SMAN 1 Sidoarjo's excellent school supervision program based on soft skills involved internal elements such as the school itself, the administrator as the primary element who manages the academic community, and teachers who supervise students. The purpose of internal supervision is to ensure that the soft skills program is implemented effectively and efficiently. The education department, supervisors, school committees, parents/guardians, and the community all participate in external supervision. External supervision is necessary for the program's development and maintenance. The result shows that supervision in the implementation of a program is essential to do to maintain the sustainability of the program.... Where this has all given an idea that the relationship between man and the world is not always shown with a passive attitude, resigned, also equating to conform to the rules of the surrounding environment. Education is intended as preparing the nations children to face the future and make this nation dignified among the other nations of the world Zafi, 2018. But it must be given a manifestation through a playful attitude, also always using the environment for the benefit of living in that time or even in the future, so that from these active relationships a culture is born. ...Firman MansirReligious and socio-cultural education is inseparable in peoples lives. Educational cultural proximity to religion and socio-cultural development become two interrelated and mutually needy sides in solving social problems of society. This research shows that there is a relationship between religious and cultural education that is interrelated, giving birth to changes and responding to the rapid development of the times, thus ushering in a reality of religious life that is full of educational values without losing the local culture. The success of a nation can be seen and measured by the younger generation of its nation in the present and the future. Regarding religious education with culture, it is hoped that there will be the best results from a new generation and have potential with good quality, who can develop the knowledge they have and apply it well in the fabric of education, society, and culture. Thus, religious and socio-cultural education provides answers to various problems in the social development of budaya to religion in the context of educational institutions, be it in schools or madrasas. Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya menjadi dua sisi yang saling terkait dan saling membutuhkan dalam memecahkan persoalan sosial masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan Agama Islam dan budaya yang saling berkaitan, dengan melahirkan perubahan serta merespon berkembangnya zaman yang semakin pesat, sehingga mengantarkan pada sebuah kenyataan kehidupan beragama yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan tanpa menghilangkan budaya setempat. Berhasilnya suatu bangsa dapat dilihat serta diukur dari generasi muda bangsanya pada masa kini serta pada masa yang akan datang. Dalam hubungannya Pendidikan Agama Islam dengan budaya, sangat diharapkan adanya hasil terbaik dari generasi yang baru dan memiliki potensi dengan kualitas yang baik, yang mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mengaplikasikannya dengan baik dalam jalinan pendidikan, sosial dan budaya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya memberi jawaban dari berbagai permasalahan dalam perkembangan sosial budaya terhadap agama dalam konteks lembaga pendidikan, baik itu di sekolah maupun madrasah.... Education is one of the most important things for human life, education itself has the meaning of knowledge, skills, to a group of people that are passed on from generation to generation through teaching, or research, education is important for generational transfer, because the future is determined by a new generation, current work many are replaced by the new generation [1]. Universities in Indonesia, can take the form of institute, polytechnic, Academy,University and high School. ...Christian Pangestu KuncoroEducation is one of the most important things in human life, and in the world of education. However, there are still many students who graduate not on time. The purpose of this study is to find out an overview of what factors influence, then data analysis, and visualization so that students can graduate on time or not on time for UMN student graduates in 2018-2020. The method or approach used to solve the problem is data collection, independent variable, dependent variable, CRISP-DM, with SQLYog tools, to store data, rapid miner for data cleaning, then calculate prediction accuracy with rapid miner using nave Bayes algorithm, and regression logistics, using the included 10-fold validation method, and visualizing the data with Tableau.... Pendidikan adalah salah satu sarana yang digunakan untuk menerapkan dan membudayakan nilai-nilai budaya. Pendidikan berbasis budaya menjadi sebuah gerakan untuk menyadarkan masyarakat agar terus belajar mengatasi segala tantangan kehidupan yang semakin berat Zafi, 2018. ...Ummi Nur RokhmahMisbahul MunirThe purpose of this study is describe implementation of environmental school culture for shaping character environmental care students at SDN Temas 01 Batu. This study used a qualitative approach with descriptive research. The study is conducted in SDN Temas 01 Batu with the subject of his research is the principal, 3 teachers, 4 students, 1 janitor, 1 cafeteria guard and 2 parents of students. Data is collected through interview, observation, and documentation. Data analysis is carried out through 3 stages, datareduction, data display and verification. The validity of the information is tested by triangulation of techniques and triangulation of sources. The research results show that environmental school culture is implemented through 3 steps, planning, implementation and evaluation. Planning activities are forming school environmental management team, making environmental studies and planning environmental actions. Activities carried out during implementation are make environmental policies, implement environmental based curricula, conduct participatory based environmental activities, and manage environmental supporting facilities. The success of the implementation is evaluated by monitoring the state of biodiversity in schools, electricity bills and spending on purchasing office stationery, weighing the amount of waste and monitoring students' ability to manage the environment in terms of cognitive, affective and psychomotor aspects. The supporting factor that influences the implementation of an environmental school culture is the location of the school which is in a location that is still beautiful and gets a lot of support from outside parties. While the inhibiting factor is limitation of budget, there are still students who lack awareness in sorting waste and there is still a lot of plastic waste in schools.... Abdullah, 2016;Salik, 2020;Zafi, 2017.Peran budaya seseorang hanya dapat diukur dari sejauh mana ia dapat memberikan manfaat bagi kepentingan manusia. Agama tentu tidak bisa diabaikan dalam kaitannya dengan realitas social Hadi & Bayu, 2021. ...Yunus BayuPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai budaya Bugis dalam pendidikan Islam di perguruan tinggi Tana Luwu tepatnya di Kota Palopo yaitu Universitas Andi Djemma, IAIN Palopo. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnopedagogi. Membangun kerukunan umat beragama dalam pendidikan nilai kearifan lokal masih sangat relevan untuk diterapkan oleh seluruh mahasiswa. Hal ini, tercermin dari sikap mahasiswa melalui disiplin dan tanggung jawab. Kedisiplinan dan tanggung jawab mahasiswa untuk menjaga harga diri, martabat. Cerminan dari Pluralitas yang berfungsi sebagai ruh mahasiswa dalam proses pendidikan nilai-nilai. Konsep pembelajaran budaya dalam pendidikan agama Islam memberikan nilai-nilai penghormatan seperti Sipakatau saling memberi informasi, Sipakalebbi Saling Menghormati, Sipakaingge Saling Mengingatkan, Sipakatou Saling Berbagi. Menghargai perdamaian, senang membantu sesama, apalagi jika mereka sesama manusia. Sehingga pendidikan budaya Bugis sejalan dengan nilai-nilai Pluralitas yang tumbuh dan berkembang di IndonesiaTiara NazmillahIstinganatul NgulwiyahZerri Rahman HakimThis study aims to describe the implementation of religious values in character education at SDIT Al-Izzah Kota Serang. This research is qualitative descriptive study. The research subjects are teachers and students of grades III,VI,V at SDIT Kota Serang. This research was conducted in January - February 2022. Data was collected through observation, interviews and documentation techniques. The results of the study show that the implementation of religious values can be carried out through religious habituation activities in students, namely 1 Implementation of religious values through self-development which consists of routine activities in schools, spontaneous activities carried out by teachers to students, the example given by the teacher, and the conditioning of the school which was created in such a way. 2 Implementation of religious values through subjects by inserting them in subject matter or moral messages, 3 Implementation of religious character values through school culture which consists of culture in the classroom, school, outside of school. The teacher's perception of the importance of religious values in character education is one of the sources that underlies character education and is very important to in still in students from an early age because strong religious provision from an early age will strengthen the moral foundations of students in the future. The role of the school in supporting the implementation of religious values in character education is providing the necessary facilities, supporting activities in schools, and setting a good example for HayatiTommy ChristomyBatik has long been well-known in Java. Its reputation increased significantly during President Susilo Bambang Yudhoyono’s SBY administration who declared national batik day. This encouraged provinces with no batik tradition before to create batik with its unique local identity. This article aims to map the roles of different agencies from educational institutions in the emergence of the local identity symbol of Nusa Tenggara Barat NTB province represented by Sasambo batik. This research shows that cultural policies in Indonesia must consider locality. Local cultural expressions in Indonesia, especially in Eastern Indonesia, are often ‘forced’ to follow what is suggested and brought by actor from different traditions. The situation became more complex when the cultural expression introduced was packaged through the ideology of nationalism, Batik, which was originally part of Javanese culture, has been elevated to become a National culture. Adopting batik as part of national identity is an important cultural strategy considering that the use of batik has spread throughout Indonesia whether we like it or not. The problem is, the presence of batik technology has had an effect on local cloth crafts that use a different concept from batik, such as NTB Ikat weaving. Ikat woven crafts are made through a long process and are more expensive than making batik, where the preparation and materials are easier to obtain and cheaper. In this case, the woven craftsmen cannot compete economically with those who make batik. Batik is faster and more can be produced. Batik was introduced systematically through the education system, while woven cloth was left as it was. This research is part of an ethnographic research and the data were collected through observation and in-depth interviews. It was found that teachers play important roles in establishing a good reputation and even competing with the local woven cloth of NTB province. At the same time, there was a struggle over meanings between national and local batik. The ideology of nationalism used by the teachers in the end benefits not only individuals, but also groups, even Pina SufaAmril AmirErizal GaniBuku Pendidikan Budaya Melayu Riau ini memang telah menyertakan karakter yang dikembangkan pada awal bab, yaitu nilai religius, rasa ingin tahu, dan tanggung jawab. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui nilai pendidikan budaya dan karakter yang terdapat dalam buku Budaya Melayu Riau yang ditulis oleh Taufik Ikram Jamil, Derichard H. Putra, dan Syaiful Anuar. Buku tersebut meryupakan buku yang menjadi bahan ajar mata pelajaran Budaya Melayu Riau untuk kelas VII Sekolah Menengah Pertama SMP yang ada di Riau. Mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran muatan lokal. Penelitan ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Metode yang dapat digunakan dalam pengumpulan data menurut Sudaryanto dalam Saleh, 2014 terbagi menjadi 2 dua, yaitu metode simak dan metode cakap. Dalam melakukan penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode simak, karena objek yang diteliti dalam bentuk tulisan, yaitu buku Pendidikan Budaya Melayu Riau. Peneliti mengambil garis besar dari penjelasan tiap bab pada buku pelajaran, kemudian menyertakan nilai karakter yang terdapat dalam buku Culture Background of PersonalityRalph LintonLinton, Ralph, The Culture Background of Personality, New York Appleton-Century Crofts, IPTEK dalam Perkembangan Pendidikan IslamAbdul MulkhanMunirMulkhan, Abdul Munir, "Spiritualisasi IPTEK dalam Perkembangan Pendidikan Islam", dalam Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta IISEP, PrasetyaTriPrasetya, Joko Tri, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta Rineka Cipta, Dan SuryadiH A TilaarSuryadi, Ace dan Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung Rosdakarya, Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Berdasarkan PancasilaH A TilaarTilaar, Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Berdasarkan Pancasila, Jakarta LIPI, Pendidikan dan KebudayaanD Daftar Pustaka AchadiMuh WasithD. DAFTAR PUSTAKA Achadi, Muh. Wasith, "Interaksi Pendidikan dan Kebudayaan", dalam Jurnal Dinamika Vol. 2, Jawa Tengah LP3M STAINU Purworejo, 2016. Setidaknyaada tiga pendekatan filosofis terhadap fikih budaya dan sosial. Pertama, pendekatan historis, yaitu hukum Islam yang sudah dipraktekkan umat Islam dalam sejarah, bukan semata-mata sebagai aturan hukum syariat.
Corps de l’article Si l’école nourrit […] l’élève de culture, c’est pour lui permettre de s’adapter et de s’insérer plus rapidement dans ce monde,monde d’une extrême complexité où il lui faut vivre. Mais c’est aussi pour qu’il assimile cette culture, pour qu’il construise par elle une identité intellectuelle et personnelle afin qu’à partir de cette base il soit à son tour innovateur et même créateur. Rapport Corbo, 1994, p. 15 L’éducation est une voie privilégiée de transmission et d’épanouissement de la culture d’un peuple comme d’un individu, et l’école demeure la première institution sociale dont la mission est l’éducation. L’éducation, en favorisant notamment le dialogue entre quête de sens et construction des savoirs, se doit de procurer à l’élève des outils et des langages pour comprendre le monde et se comprendre dans le monde Simard, 2002a, p. 72. C’est cette perspective culturelle qui anime l’actuelle réforme en éducation au Québec. Réaffirmer l’école dans sa finalité culturelle en plus de ses finalités utilitaire et cognitive, comme l’affirmait le Rapport Inchauspé 1997, à la suite des États généraux sur l’éducation de 1996, est devenu une priorité en cette époque où déferlent sur notre monde la pensée unique et la généralisation de la culture MacDo ou MacWorld à la vitesse de la mondialisation du système de marché Aktouf, 1999. S’appuyant sur ce rapport, le ministère de l’Éducation du Québec, dans son document L’école tout un programme énoncé de politique éducative ministère de l’Éducation du Québec – MÉQ, 1997, statuait sur l’extrême urgence de rehausser la dimension culturelle des programmes de formation, principalement dans les disciplines, et de favoriser une approche culturelle pour enseigner ces disciplines. Les orientations du Programme de formation de l’école québécoise, tant à l’ordre du primaire que du secondaire MÉQ, 2001a et 2003, préconisent l’ancrage culturel dans les apprentissages réalisés par l’élève afin d’élargir sa vision du monde, de structurer son identité et de développer son pouvoir d’action. La volonté ministérielle de renforcer les liens entre éducation et culture, de réhabiliter le rôle des savoirs, voire des diverses disciplines dans une perspective culturelle, est tout à fait pertinente. L’élève, dans son parcours de formation, sera convié aux grands univers de la connaissance et de la culture ; ces savoirs essentiels que sont les langues, le champ de la technologie, de la science et des mathématiques, l’univers social, les arts et le développement personnel, constituent un ensemble de connaissances et de pratiques, formant le noyau de la culture. Rappelons-le, la perspective culturelle conçoit la formation d’abord, comme l’appropriation, par les nouvelles générations, des savoirs de la culture, qui constituent le propre de l’être humain et qui sont l’essence du monde où il faut vivre, monde qui n’est plus naturel mais culturel Rapport Inchauspé, 1997, p. 25. Cela semble primordial dans une société où la jeunesse, privée de son passé et en mal d’avenir a tendance, comme dans la plupart des sociétés occidentales, à vivre au présent. À la lumière de plusieurs auteurs Bruner, 1991, 1996 ; Dumont, 1968 ; Simard, 2002a, avoir une approche culturelle de l’enseignement signifierait se préoccuper d’une appropriation personnelle et significative des savoirs par l’élève, situer les savoirs dans le contexte historique, social et culturel de leur élaboration tout en instaurant des liens avec la culture première de l’élève – avec la diversité, voire la disparité qu’on connaît, tant du point de vue du profil culturel des jeunes que de la profusion des lieux de savoir et de la puissance des technologies de communication –, provoquer chez l’élève une prise de conscience de sa propre culture tout en prenant du recul pour mieux la comprendre et s’ouvrir à soi, aux autres et au monde. Il en résultera une évolution de ses propres représentations et de ses savoirs, ferments d’une culture en devenir. Un des mandats de l’éducation se dessine donc ainsi mettre en oeuvre des conditions qui permettent aux élèves de s’approprier, d’intégrer et d’organiser les connaissances en un tout cohérent, original et personnel, de se situer au sein des problèmes et des réalités complexes de son temps, dans son identité humaine et dans l’histoire Simard, 2002a, p. 77. L’approche culturelle de l’enseignement touche certes les élèves, mais aussi, de manière complexe et profonde, les enseignants, qui doivent s’inscrire dans un rapport vivant à la culture et un réinvestissement historique, social et culturel des savoirs scolaires. Par le fait même, la formation initiale et continue des enseignants s’en trouve influencée dans ses programmes et ses activités Sorin et Lafortune, 2006. C’est pourquoi le Gouvernement du Québec a publié tour à tour son document La formation à l’enseignement. Les orientations. Les compétences professionnelles MÉQ, 2001b, en vigueur depuis dans les universités québécoises, et celui à l’intention du personnel enseignant, signé conjointement avec le ministère de la Culture et des Communications, L’intégration de la dimension culturelle à l’école MÉQ et MCC, 2003. Dans cette perspective, l’enseignante ou l’enseignant devient un passeur culturel, selon l’expression maintenant consacrée de Zakhartchouk 1999, p. 20, passeur dans le sens où il va accompagner l’élève dans ce voyage de sa culture première vers une culture » qui vaut la peine », une culture dans laquelle il se doit d’être plongé, bien que le voyage soit une occasion d’aller plus loin. Passeur cultivé » s’il veut être culturel », et cultivé » en particulier dans son domaine spécifique, celui de la pédagogie, sans laquelle il ne peut y avoir de passage » pour tous. Pour que ce passage culturel à l’école ait véritablement lieu, les conditions à réunir pour une formation adéquate relèveraient de trois grands axes Zakhartchouk, 1999, p. 112 un travail sur le rapport personnel à la culture de chaque enseignant ou futur enseignant, point d’appui et passage obligé pour une formation culturelle des élèves ; une intégration de la réflexion sur la culture dans toute formation, notamment disciplinaire ; la mise en place d’une articulation entre apprentissage de techniques pédagogiques et formation culturelle. Dans ce contexte de réforme et de discours officiel sur l’enrichissement culturel prôné à l’école, cette question de la culture, que ce soit au sujet de sa définition, de son acquisition par les élèves, des approches pédagogiques, de la formation à l’enseignement, etc., alimente la réflexion des chercheurs Simard, 2001, 2002b. On en veut également pour preuve l’ouvrage collectif dirigé par Simard et Mellouki 2005 ou un numéro thématique de la Revue des sciences de l’éducation Enseignement et cultures », dirigé par Tardif et Mujawamariya 2002 où Gohier, notamment, appréhende l’enseignant à la fois comme passeur, médiateur et lieu, et où Saint-Jacques, Chené, Lessard et Riopel ont investigué les représentations qu’ont les enseignants du primaire de la dimension culturelle du curriculum. En 2001, dans le n° 118, la revue Vie pédagogique présentait un dossier sur la question Enseigner et apprendre selon une perspective culturelle » et des chercheurs, tel Simard 2005, se sont penchés sur le rôle de l’école envers la formation culturelle des élèves. Toutefois, si chaque discipline est porteuse de culture autant par son histoire que par les questionnements qu’elle suscite, c’est le français, qui attire notre attention ici, à la fois comme culture de la langue Chartrand, 2005 et comme culture littéraire, sans exclure bien sûr le fait que la classe de français est également un lieu de convergence d’autres disciplines, les arts, l’histoire et la géographie, pour ne nommer que celles-ci. Par ailleurs, depuis quelques années, l’approche culturelle en enseignement du français est devenue elle-même objet d’études Simard, 2004 ; Simard et Côté, 2005 et on commence à publier des ouvrages au service de la pratique enseignante tel ce Guide du passeur culturel dirigé par Boucher et Pilote 2006. Si la dimension culturelle est au coeur de la réforme scolaire actuelle au Québec, avec cette idée porteuse que la culture n’est pas le seul fief de la littérature et des arts, mais qu’elle est aussi scientifique, mathématique, informatique et autres, elle représente également une préoccupation majeure en France, comme le prouve le récent Décret relatif au socle commun de compétences et de connaissances ministère de l’Éducation nationale, de l’Enseignement supérieur et de la Recherche, 2006. Ce décret fixe les repères culturels et civiques qui constituent le contenu de l’enseignement obligatoire, ce socle commun devenant la référence obligée pour la rédaction des programmes d’enseignement de l’école et du collège ordres du primaire et du secondaire. Outre les compétences liées à la culture scientifique et technologique, à la culture numérique, etc., une des sept compétences y cible expressément le développement d’une culture humaniste fondée notamment sur la fréquentation des oeuvres littéraires, les apports de l’éducation artistique et culturelle, et l’acquisition de repères géographiques et historiques communs. Déjà, au plan institutionnel, l’inscription explicite de la littérature au programme dès l’école élémentaire, en 2002, et l’encouragement à la même époque des projets artistiques et culturels sous le ministère de Jack Lang, manifestaient la volonté d’un partage généralisé des biens culturels disponibles et de leurs bénéfices tant individuels que collectifs tout au long du cursus scolaire. Par ailleurs, du point de vue de la recherche, tant au Québec qu’en France et plus largement en Europe francophone, l’évolution des références théoriques dominantes, autrement dit le déplacement de l’attention portée au texte vers le sujet lecteur l’approche formaliste versus l’esthétique de la réception sur les traces d’Iser, Jauss, Eco a ouvert tout un nouvel horizon de recherches en didactique du français qui se focalise principalement sur la lecture littéraire Dufays, Gemenne et Ledur, 2005 ; Falardeau, 2003 ; Lebrun, 2006 ; Poslaniec, 2002 ; Sorin, 2003, 2004 ; Tauveron, 2001, 2004 ; Tauveron et Reuter, 1996. La lecture littéraire désigne aujourd’hui un mode de lecture particulier engendré par un va-et-vient dialectique entre une lecture participative privilégiant la construction référentielle et l’implication psychoaffective et émotionnelle du lecteur, et une posture plus distanciée par rapport au texte, ouvrant au symbolisme, aux liens intertextuels, aux jeux des implicites et favorisant la pluralité des lectures. La transposition de la lecture littéraire dans le cadre de l’enseignement devrait notamment aboutir à la prise en compte de la culture privée de l’élève quand il s’agit de la lecture des textes littéraires proposés par l’école, et plus précisément à la prise en compte des manières individuelles de lire, parfois éloignées de celles visées par l’école. Un ouvrage comme celui qu’ont coordonné Demougin et Massol 1999 fait apparaître à la fois la nécessité et l’application limitée de cette prise en compte dans l’ordinaire des classes. L’ouvrage dirigé par Rouxel et Langlade 2004, axé sur le sujet lecteur, est significatif du désir des chercheurs/formateurs de promouvoir ce basculement de perspective au sein de l’école, pour servir l’intérêt des élèves. Du côté de la sociologie, les travaux de Lahire 2004, qui répondent à ceux de Pierre Bourdieu, et la notion qu’il développe de dissonance, montre la diversité des pratiques culturelles de tout individu tant en ce qui concerne les objets retenus que les usages qu’il en fait et questionnent un clivage parfois convenu et un peu forcé entre les pratiques des nantis, d’un côté, et celles des classes dominées, de l’autre. Cette perspective autorise en tout cas à relativiser l’opposition entre la réception qu’ont les uns et les autres des objets culturels disponibles il n’y a pas, de façon tranchée, les avertis d’un côté et les naïfs de l’autre en matière de consommation/appropriation culturelles, même si la distinction entre production culturelle de masse et production culturelle savante ou légitime perdure. L’école est donc bien le lieu où mettre au jour ces conflits culturels qui se jouent chez tout individu, et auxquels elle contribue largement. Dans le domaine spécifique de la lecture littéraire, elle doit amener les élèves à la conscientisation de la diversité des postures, et expliciter clairement celles qu’elle préconise et valorise, tout en continuant de s’interroger sur le bien fondé de ces attentes institutionnelles. Ce numéro thématique explore diverses perspectives didactiques, tant au Québec qu’en France, prenant en compte une approche culturelle en enseignement du français. On a affaire à une diversité d’approches certaines problématisent clairement la question de l’altérité culturelle à laquelle l’école confronte les élèves ; d’autres s’appuient davantage sur des observations précises qui permettent de soulever divers problèmes liés à la mise en oeuvre d’un véritable dialogue, d’une véritable intercompréhension entre pairs mais aussi entre l’enseignant et les élèves, chacun parlant à partir d’entours qui lui sont propres ; d’autres enfin avancent des propositions concrètes éprouvées dans des classes. Si les programmes scolaires et les orientations didactiques et pédagogiques fixés par les gouvernements diffèrent d’un pays à l’autre, si l’importance accordée à la culture se distingue pour des raisons à la fois historiques, politiques et économiques, on ne peut que tirer profit d’une approche comparée en matière d’enseignement du français, langue nationale, de modèles pédagogiques et de contenus de formation. Ce numéro thématique tente de créer un espace transactionnel entre les diverses problématiques en didactique du français touchant la mise en oeuvre de l’approche culturelle de l’enseignement, dix ans après la tenue des États généraux sur l’éducation de 1996, non pas pour en faire un bilan, mais bien pour en dégager de nouvelles perspectives. Ce numéro explore deux grandes problématiques constituant les deux grandes parties de l’ouvrage. Dans la première partie, ont été regroupées les problématiques liées à l’approche culturelle en formation à l’enseignement signification d’une approche culturelle de l’enseignement ; conscience de l’enseignant et de son rôle dans l’appropriation de la culture par ses élèves ; conceptualisation de la culture ; significations d’une approche culturelle appliquée à la discipline français, etc. Denis Simard, Érick Falardeau, Judith Émery-Bruneau et Héloïse Côté ont tenté de saisir le rapport que les enseignants entretiennent avec le savoir et la culture, rapport qu’ils considèrent préalable à une approche culturelle de l’enseignement. S’inspirant des travaux de Charlot 1997 sur le rapport au savoir et des résultats d’une recherche menée auprès de 35 étudiants de deuxième année en formation à l’enseignement du français, ils ont mis à jour quatre profils de ce rapport à la culture susceptibles d’inspirer de nouvelles avenues en formation des enseignants à l’égard de l’approche culturelle de l’enseignement. Dans le cadre d’un projet d’innovation pédagogique, Sylvain Manseau et Olivier Dezutter justifient l’instauration d’une nouvelle activité, Enseigner dans une perspec-tive culturelle, désormais inscrite au programme de baccalauréat en enseignement au secondaire de l’Université de Sherbrooke. Cette nouvelle activité vise notamment l’intégration des savoirs et la concrétisation de ce que pourrait être une approche culturelle de l’enseignement. Si Saint-Jacques, Chené, Lessard et Riopel 2002 se sont attardés aux représentations que se font les enseignants du primaire de la dimension culturelle du curriculum, Liliane Portelance rend plutôt compte des savoirs partagés par l’enseignante associée et la stagiaire au sujet de la culture et de l’approche culturelle. Si les significations diffèrent, il y a toutefois consensus sur l’évidence de la dimension culturelle de l’école et sur l’importance de privilégier une approche culturelle dans les apprentissages comme soutien essentiel à la construction des savoirs et au développement des compétences, notamment disciplinaires. Sans être située en formation à l’enseignement, la recherche de R’Kia Laroui sur les représentations que se font les enseignants de l’approche culturelle ainsi que sur l’impact de ces représentations sur leurs pratiques conduit à des constats riches d’enseignements qui pourraient alimenter la réflexion sur la formation tant initiale que continue des enseignants afin qu’ils deviennent véritablement des passeurs culturels. Partant du principe que les enseignants seront pour les élèves à la fois des modèles linguistiques et des médiateurs culturels, Martine Mottet et Flore Gervais interrogent les représentations et les réactions affectives de futurs enseignants du baccalauréat en éducation préscolaire et enseignement primaire à l’égard du français québécois oral standard, de la culture et de la didactique de l’oral. De la comparaison des résultats avec le profil de l’enseignant cultivé en français oral qu’elles ont tracé, les deux chercheures ont tiré quelques conclusions pertinentes à la formation à l’enseignement, notamment en regard de la langue parlée, ses particularités par rapport à l’écrit, ses registres, son histoire, sa didactique. Elles souscrivent en cela à la culture de la langue. La deuxième partie de ce numéro thématique traite plutôt de la prise en compte de l’approche culturelle en classe de français ou de littérature. Les problématiques abordées sont soit liées à l’élève culture privée, culture scolaire ; culture de la langue ; contexte d’immigration et multiculturalisme ; le lecteur comme être de culture ; soit liées à l’intervention éducative, l’enseignant devant mettre en contexte cette approche culturelle en interpellant son implication comme passeur culturel et en entrevoyant la classe comme une communauté de lecteurs et d’auteurs ou comme communauté interprétative. Danielle Dubois Marcoin se préoccupe de la fonction d’acculturation de l’école et de la nécessaire prise en considération, dans le cadre d’une éducation à la littérature, des habitus et des référents culturels des élèves. C’est par des propositions dialogiques entre la culture privée et la culture scolaire par l’entremise d’activités créatives personnelles et impliquées que les élèves s’approprieront cette culture nouvelle que leur propose l’école. Marlène Lebrun s’intéresse à l’élaboration d’une approche culturelle de la littérature en classe de français au primaire en tablant particulièrement sur le dialogue qui s’installe dans la communauté de lecteurs et d’auteurs que constitue une classe. Elle a notamment investigué les représentations que se font les élèves de l’activité d’écriture, de son apprentissage et des pratiques littéraires qui lui sont associées, telle la lecture littéraire. Dans son contexte de recherche, elle établit que l’évolution d’un rapport positif à l’écriture littéraire d’élèves de 10 ans va de pair avec la construction d’une posture auctoriale et une certaine ouverture à la culture. Patrick Demougin montre comment l’enseignement de la littérature a basculé d’une perspective linguistique centrée sur le texte vers une perspective anthropologique davantage centrée sur le lecteur comme être de culture. Il assimile la rencontre des élèves avec la littérature à la crise fondatrice liée à l’expérience de l’altérité en matière de langue et de culture qu’ont vécue et décrite Derrida et Khatibi Derrida, 1996. À partir de deux expériences, l’auteur fait apparaître deux risques en enseignement de la littérature l’instrumentalisation et le désengagement du lecteur. Amener les élèves à avoir prise sur l’altérité culturelle à laquelle on les confronte, en maintenant la tension entre sensible et conceptuel, exige l’implication individuelle de l’enseignant en matière de choix des textes et engage son inventivité professionnelle. L’analyse du travail d’enseignants en français, langue de scolarisation, auprès d’élèves nouveaux arrivants en France, du CP 1re année du primaire au CM2 fin du primaire, permet à Sylvie Courally de mettre en évidence qu’en l’absence de prescriptions ministérielles, face à l’hétérogénéité de leur public et privés de matériel adapté à ces élèves dans le domaine de l’acquisition de la langue et de la culture de l’écrit, les enseignants trouvent des compromis. Contraints par l’urgence d’amener chacun à une maîtrise première de la langue, ils s’appuient essentiellement sur des textes fonctionnels et communicationnels ou sur la transcription d’un oral surnormé, ce qui les conduit à délaisser largement la dimension culturelle de la langue, voire la littérature. Après avoir rappelé l’évolution historique du concept d’interprétation et faisant appel à la notion d’entour telle que définie par François 1998, Évelyne Bedoin analyse et compare deux situations de débats interprétatifs dans une même classe de CM2 appliquées respectivement à une question relevant à la fois des sciences de la nature et de la littérature. L’hétérogénéité des entours au sein de la communauté interprétative que constitue la classe amène à des quiproquos qui ne sont pas forcément mis au jour par le maître qui, dans sa reformulation, a tendance à imposer un sentiment de consensus alors que l’intercompréhension ne s’est pas vraiment développée du fait que les cadres de références des différents interlocuteurs n’ont pas eu l’occasion d’être explicitement identifiés. Pour conclure, les perspectives didactiques présentées contribuent, à leur façon, à faire avancer la réflexion sur l’enseignement du français dans sa dimension culturelle, ouvrant ainsi de nouveaux chantiers de annexes
DalamPeraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Tentang Bimbingan Dan Konseling Pada Pendidikan Dasar Dan Pendidikan Menengah Nomor 111 tahun 2014 Pasal 1 Butir 1 ”Bimbingan dan Konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkelanjutan serta terprogram yang dilakukan oleh konselor atau guru Bimbingan dan Konseling untuk

Islamic Education and Socio-Cultural Development in Educational Institutions Abstract Religious and socio-cultural education is inseparable in peoples lives. Educational cultural proximity to religion and socio-cultural development become two interrelated and mutually needy sides in solving social problems of society. This research shows that there is a relationship between religious and cultural education that is interrelated, giving birth to changes and responding to the rapid development of the times, thus ushering in a reality of religious life that is full of educational values without losing the local culture. The success of a nation can be seen and measured by the younger generation of its nation in the present and the future. Regarding religious education with culture, it is hoped that there will be the best results from a new generation and have potential with good quality, who can develop the knowledge they have and apply it well in the fabric of education, society, and culture. Thus, religious and socio-cultural education provides answers to various problems in the social development of budaya to religion in the context of educational institutions, be it in schools or madrasas. Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya menjadi dua sisi yang saling terkait dan saling membutuhkan dalam memecahkan persoalan sosial masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan Agama Islam dan budaya yang saling berkaitan, dengan melahirkan perubahan serta merespon berkembangnya zaman yang semakin pesat, sehingga mengantarkan pada sebuah kenyataan kehidupan beragama yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan tanpa menghilangkan budaya setempat. Berhasilnya suatu bangsa dapat dilihat serta diukur dari generasi muda bangsanya pada masa kini serta pada masa yang akan datang. Dalam hubungannya Pendidikan Agama Islam dengan budaya, sangat diharapkan adanya hasil terbaik dari generasi yang baru dan memiliki potensi dengan kualitas yang baik, yang mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mengaplikasikannya dengan baik dalam jalinan pendidikan, sosial dan budaya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya memberi jawaban dari berbagai permasalahan dalam perkembangan sosial budaya terhadap agama dalam konteks lembaga pendidikan, baik itu di sekolah maupun madrasah. Keywords Educational Institutions / perkembangan sosial / terhadap agama / dan sosial / Islam dan / Agama Islam / socio cultural / sosial budaya / Pendidikan Agama Scifeed alert for new publications Never miss any articles matching your research from any publisher Get alerts for new papers matching your research Find out the new papers from selected authors Updated daily for 49'000+ journals and 6000+ publishers Define your Scifeed now Share this article

Sepertiyang kita lihat di Tabel I., perkembangan dibagi ke dalam 8 tahapan kehidupan. Tahap pertama perkembangan psikososial yaitu Kepercayaan versus Ketidakpercayaan. Tahap kedua yaitu Otonomi versus Malu dan ragu-ragu. Tahap ketiga yaitu Prakarsa versus Rasa Bersalah. Tahap keempat yaitu Tekun versus Rendah diri.
Résumé Au Québec, l’importance que les réformateurs accordent à l’approche culturelle de l’enseignement suscite plusieurs recherches. Peu de travaux, cependant, ont cherché à comprendre ce qui se trouve en amont de celle-ci, c’est-à-dire le rapport à la culture des enseignants. Ce texte présente le cadre théorique d’une définition du rapport à la culture que nous avons construit en nous inspirant des travaux de Charlot 1997 et des résultats d’une recherche menée auprès de 35 étudiants de deuxième année en enseignement du français. L’analyse de quatre idéaltypes du rapport à la culture nous amène à penser que le cadre théorique présenté ici constitue une avancée théorique et pratique pour penser la formation des enseignants au regard de l’approche culturelle de l’ - uploaded by Judith Emery-BruneauAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Judith Emery-BruneauContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Érudit est un consortium interuniversitaire sans but lucratif composé de l'Université de Montréal, l'Université Laval et l'Université du Québec àMontréal. Il a pour mission la promotion et la valorisation de la recherche. Érudit offre des services d'édition numérique de documentsscientifiques depuis communiquer avec les responsables d'Érudit erudit ArticleDenis Simard, Érick Falardeau, Judith Émery-Bruneau et Héloïse CôtéRevue des sciences de l'éducation, vol. 33, n° 2, 2007, p. citer cet article, utiliser l'information suivante URI les règles d'écriture des références bibliographiques peuvent varier selon les différents domaines du document est protégé par la loi sur le droit d'auteur. L'utilisation des services d'Érudit y compris la reproduction est assujettie à sa politiqued'utilisation que vous pouvez consulter à l'URI téléchargé le 2 June 2013 0245En amont d’une approche culturelle de l’enseignement le rapport à la culture» En amont d’une approche culturelle de l’enseignement le rapport à la cultureDenis Simard, professeurUniversité LavalÉrick Falardeau, professeurUniversité LavalrJudith Émery-Bruneau, doctoranteUniversité LavalHéloïse Côté, doctoranteUniversité Lavalrésumé • Au Québec, l’importance que les réformateurs accordent à l’approche culturelle de l’enseignement suscite plusieurs recherches. Peu de travaux, cepen-dant, ont cherché à comprendre ce qui se trouve en amont de celle-ci, c’est-à-dire le rapport à la culture des enseignants. Ce texte présente le cadre théorique d’une définition du rapport à la culture que nous avons construit en nous inspirant des travaux de Charlot 1997 et des résultats d’une recherche menée auprès de 35 étudiants de deuxième année en enseignement du français. L’analyse de quatre idéaltypes du rapport à la culture nous amène à penser que le cadre théorique présenté ici constitue une avancée théorique et pratique pour penser la formation des enseignants au regard de l’approche culturelle de l’enseignement. mots clés rapport à la culture, enseignement, formation à l’enseignement, français, approche le début des années 1990, on a vu, au Québec comme ailleurs dans le monde Sharp et Le Métais, 20001, les réformateurs2 se préoccuper explicitement de la place et du rôle de la culture à l’école, dans les programmes d’études et la formation des enseignants CSÉ, 1994 ; MÉQ, 1997, 2001. À ce titre, plusieurs travaux de recherche ont tenté de préciser les jalons de ce rapprochement souhaité entre l’école et la culture3. Ces travaux peuvent être regroupés en trois grandes catégories4 1 ceux portant sur les actions concertées entre les acteurs scolaires et culturels, et par lesquelles se concrétise l’une des voies qu’emprunte le rehausse-ment de la formation culturelle des élèves Lemerise, 2001 ; Matias, Lemerise, Lussier-Desrocher, 2001 ; Mellouki et Gauthier, 2003 ; Quintin, 1993 ; 2 les travaux à caractère pratique qui prennent la forme de pistes pédagogiques pour intégrer la culture dans la classe et dans l’enseignement des disciplines Béchard, 2001 ; Volume 33, no 2, 2007 287 - 304 288 Revue des sciences de l’éducationMCC et MÉQ, 2004 ; Saint-Jacques, 2001 ; Simard, 2002b ; Simard et Côté, 2005 ; 3 enfin, les travaux théoriques qui s’efforcent de définir, d’analyser et de com-prendre le sens de la recomposition culturelle dans laquelle l’éducation scolaire et la formation des enseignants sont engagées Boutin, 2001 ; Chartrand, 2005 ; Chené et Saint-Jacques, 2005 ; Côté, 2004 ; Gauthier, 2001 ; Gohier, 2002 ; Inchauspé, 1997 ; Julien, 2001 ; Mellouki et Gauthier, 2005 ; Saint-Jacques et Chené, 2002 ; Simard, 2001, 2002a, 2004, 2005 ; Simard et Mellouki, 20055. L’abondance et la diversité de ces travaux témoignent de l’intérêt théorique et pratique de ce champ de recherche. En revanche, peu de travaux, à notre connaissance, à l’exception de la recherche de Saint-Jacques, Chené, Lessard et Riopel 2002 portant sur les repré-sentations de la culture des enseignants du primaire, se sont intéressés à ce qui se trouve en amont d’une approche culturelle de l’enseignement, c’est-à-dire le rap-port à la culture des enseignants6. Or, les travaux antérieurs que nous avons menés Falardeau, 2005 ; Simard et Falardeau, 2005 et l’analyse des données de recherche que nous avons recueillies à l’automne 2003, et que nous présenterons dans ce texte, nous incitent à penser que le rapport à la culture de l’enseignant joue un rôle important dans la mise en œuvre d’une approche culturelle de l’enseignement. En d’autres termes, nous pensons que le concept de rapport à la culture nous permet d’analyser et de comprendre l’approche culturelle sous l’angle du rapport à la culture des enseignants et des dispositifs pédagogiques où celui-ci s’incarne. Ce texte se veut donc un premier effort pour comprendre la relation entre le rapport à la culture et l’approche culturelle de l’enseignement. De façon plus précise, il vise à présenter les résultats d’une recherche exploratoire sur le rapport à la culture menée auprès d’étudiants en formation initiale en enseignement du français au secondaire à l’Université Laval7. Notre propos se divisera en quatre parties nous présenterons dans la première le cadre théorique d’une défi nition du rapport à la culture, en nous inspirant des travaux menés par Charlot 1997 sur le rapport au savoir ; dans un deuxième temps, nous exposerons les outils méthodologiques qui nous ont guidés dans l’analyse des données empiriques ; nous décrirons ensuite les quatre types de rapport à la culture que nous avons esquissés ; enfi n, dans la quatrième partie, nous présenterons une synthèse et des pistes d’analyse des résultats observés. Le rapport à la culture une définitionAvant de définir le rapport à la culture, nous préciserons d’emblée que nous con-cevons la culture à la fois comme objet et comme rapport. La culture comme objet s’appuie sur la distinction que trace Dumont 1968 entre culture première et culture seconde. La culture première est un milieu, un donné, un déjà-là grâce auquel nous interprétons spontanément le monde. La culture seconde est de nature réfléchie et s’incarne dans des œuvres, des pratiques et des systèmes symboliques. La réflexivité, comprise à la fois comme prise de distance à l’égard de la culture première puis élaboration d’une culture seconde, est au cœur de cette distinc-tion. La culture peut être ainsi vue comme un mouvement réflexif qui amène l’individu à s’ouvrir à des cercles de culture seconde et à adopter un point de vue plus distancié à l’égard des objets et des pratiques qui constituent sa culture pre-mière. En ce sens, la culture peut être comprise comme rapport au monde, à soi-même et à conception de la culture comme rapport se rapproche de la théorie microsociologique du rapport au savoir de Charlot 1997 et de l’équipe ESCOL8. Le rapport au savoir est vu comme un processus impliquant un individu dans toutes les relations qu’il tisse avec l’apprendre Si le savoir est rapport, c’est le pro-cessus qui conduit à adopter un rapport de savoir au monde qui doit être l’objet d’une éducation intellectuelle – et non l’accumulation de contenus intellectuels. Charlot, 1997, p. 74. Le savoir visé est avant tout appréhendé comme un processus de développement du sujet, mouvement dynamique qui recoupe le caractère réfl exif de la culture Le rapport au savoir est rapport d’un sujet au monde, à soi-même et aux autres. Il est rapport au monde comme ensemble de signifi cations mais aussi comme espace d’activités Charlot, 1997, p. 90. Comme le savoir – ou l’apprendre –, la culture doit être envisagée non pas uniquement comme un ensemble d’objets constitués, mais aussi et surtout comme un processus dynamique à travers lequel l’individu entre en relation avec lui-même et les peut dès lors défi nir le rapport à la culture comme un ensemble organisé de relations dynamiques d’un sujet situé avec des acteurs, des savoirs, des pratiques et des objets culturels. Le rapport à la culture implique un sujet réel, en relation plus ou moins soutenue, de façon plus ou moins réfl exive, avec la culture. Tout individu entretient donc forcément un rapport à la culture, parce qu’il est en relation avec des êtres humains rassemblés en une société organisée par la culture. Ce rapport peut néanmoins varier en fonction des contextes, des pratiques, des relations, des valeurs et des savoirs mis en jeu. C’est ce rapport complexe qu’il s’agit de comprendre, en analysant le rôle et l’importance de ses différentes dimensions que nous tenterons maintenant de défi dimensions constitutives de tout rapport à la cultureEn nous référant à Charlot 1997 et Bautier 2002, nous distinguons trois dimen-sions constitutives du rapport à la culture épistémique, subjective et dimension épistémiqueLa dimension épistémique désigne principalement le statut, la place et le rôle des savoirs dans les relations que le sujet tisse avec le monde, les autres et lui-même. Elle amène le sujet à mobiliser les savoirs – institués ou d’expérience – comme des médiateurs qui influenceront à des degrés variables ses pratiques culturelles et sa compréhension du monde. C’est dire que les savoirs peuvent jouer un rôle actif dans les pratiques culturelles quelles qu’elles soient, des plus esthétiques, intellec-tuelles et complexes aux plus populaires et spontanées. La dimension épistémique du rapport à la culture pourrait intervenir aussi bien dans la pratique et la com-préhension d’une activité sportive que dans l’analyse d’une situation politique En amont d’une approche culturelle de l’enseignement le rapport à la culture 289 290 Revue des sciences de l’éducationcomplexe, dans la mesure où les savoirs permettent au sujet de densifier et de complexifier son rapport au outre, la dimension épistémique permet au sujet de considérer les savoirs sous différents angles d’abord historique, dans la mesure où tout savoir s’inscrit dans l’histoire des hommes, marquée par des controverses, des intérêts et des débats ; épistémologique aussi, parce que tout savoir implique des positions scien-tifi ques, qui engagent des conceptions de la connaissance et de la réalité ; social, tout savoir s’inscrivant dans un champ de relations symboliques qui lui confèrent une légitimité plus ou moins grande ; critique, enfi n, les savoirs – institués ou d’expérience – favorisant une prise de distance critique à l’égard des phénomènes culturels et des savoirs dimension subjectiveLa dimension subjective désigne le sujet, son implication dans des projets culturels, son histoire comme sujet de culture Jellab, 2001, son activité réflexive à l’égard des objets qu’il s’approprie et des pratiques auxquelles il se livre, ainsi que ses représentations de la culture. La dimension subjective recoupe aussi les projets qui mobilisent le sujet et l’amènent à s’engager dans des pratiques culturelles, à se développer comme un sujet de culture. Elle se distingue de la dimension épisté-mique dans la mesure où elle met l’accent sur l’effort d’appropriation par un sujet de pratiques ou de savoirs aspects axiologiques jouent un rôle de premier plan dans la dimension subjective. Ils désignent la valeur ou le sens Charlot, Bautier et Rochex, 1992 que l’individu attribue à la culture. Cette question du sens est à la source de la mobi-lisation du sujet dans des projets culturels fait sens pour un individu quelque chose qui lui arrive et qui a des rapports avec d’autres choses de sa vie, des choses qu’il a déjà pensées, des questions qu’il s’est posées Charlot, 1997, p. 64. La dimension subjective comprend également les aspects psychoaffectifs, soit les sentiments et les désirs qui animent le sujet Beillerot, 2000 dans sa relation avec des pratiques ou des objets culturels le sentiment d’adhésion ou de rejet ; le plaisir ou le déplaisir que l’on retire en se livrant à des pratiques culturelles ; le sentiment d’accomplis-sement ou la perte de sens qui en dimension socialeLa dimension sociale, enfin, place le sujet et son objet au cœur des relations qu’ils tissent avec les hommes, les objets et les interprétations qui les dessinent – ce que Charlot 1997 distingue sous les appellations de rapport à l’autre et de rapport au monde. Les relations qu’entretient un individu avec ses camarades, ses pairs, sa famille, ses professeurs, ses élèves jouent un rôle prédominant dans la mesure où elles influencent la structuration du rapport du sujet à la culture. De la même façon, les différentes interprétations du monde auxquelles est confronté un indi-vidu dans ses relations sociales participent à la définition de son rapport à la culture. Le développement du sujet ne peut se faire que dans l’interaction avec l’autre, qui sera nécessairement porteur d’une culture que l’individu intégrera ou non à ses projets personnels et à sa compréhension du monde. Deux plans d’un même rapportLa culture médiatise toujours les relations entre les hommes. Chaque individu entretient en effet un rapport à la culture, réflexif ou non, en adoptant une distance plus ou moins critique à l’égard de ses pratiques et des acteurs culturels, peu importe sa profession, son éducation, son origine sociale, ses idéologies, etc. Il en est de même pour celui ou celle qui enseigne. À ce titre, l’analyse des textes des étudiants nous a conduits à prendre conscience de l’impact de leur rapport à la culture sur leurs pratiques pédagogiques et sur leur prise en compte du rapport à la culture des élèves. En d’autres termes, le rapport à la culture de l’enseignant semble jouer un rôle déterminant dans le développement de la culture des élèves. Cette analyse du rapport à la culture dans l’enseignement nous a amenés à distin-guer deux plans de ce même rapport, soit le plan individuel et le plan pédagogique, lequel désigne le rapport qu’entretient l’enseignant avec la culture de l’élève, dans la mesure où il doit jouer le rôle du passeur culturel Zakhartchouk, 1999. Cette distinction n’apparaît pas dans les autres recherches ayant étudié la notion de rapport à ; elle s’est construite au fil de l’analyse, dans la réalité complexe qu’est celle de notre méthodologiquesCette étude constitue une recherche de type exploratoire9 et descriptif réalisée auprès d’un échantillon de convenance, soit l’ensemble de la cohorte n = 35 inscrite en deuxième année d’un programme de formation initiale à l’enseignement du français au secondaire. Ces étudiants ont été sélectionnés parce qu’au moment de répondre à notre questionnaire, en septembre 2003, ils n’avaient suivi aucun cours abordant la notion de culture ou l’approche culturelle de l’enseignement. Leurs représentations de la culture et de son enseignement ne s’appuyaient donc pas sur des contenus fraîchement appris à l’université, mais bien sur les pratiques et les connaissances qui sont les leurs depuis plus de vingt ans. En outre, n’ayant réalisé qu’un seul stage d’observation en milieu scolaire – huit journées réparties sur une session de 15 semaines l’hiver précédent –, il est permis de penser que leurs conceptions relatives à la culture n’ont pas été significativement modifiées par les discours et les pratiques des enseignants. Ils nous semblaient donc les mieux à même de nous aider à décrire et à explorer les relations possibles entre rapport à la culture et intégration de la dimension culturelle dans l’enseignement. Les étudiants ont été invités à répondre par écrit, de façon libre, sans aucune indication conceptuelle, à deux seules questions Que signifi e pour vous le terme de culture » ? Quel est, selon vous, le rôle de l’enseignant dans le développement culturel des élèves ? Cette méthode de cueillette de données s’inspire des bilans de savoir utilisés par l’équipe ESCOL auprès d’élèves pour mieux comprendre leur rapport au savoir sans leur fournir d’indications quant aux réponses attendues Charlot, En amont d’une approche culturelle de l’enseignement le rapport à la culture 291 292 Revue des sciences de l’éducationBautier et Rochex, 1992. De plus, ces deux questions ouvertes nous permettaient de recueillir des données concernant les deux plans du rapport à la culture indi-viduel et de contenu L’Écuyer, 1990 a été menée à l’aide d’une grille d’analyse à catégories mixtes, c’est-à-dire que certaines catégories avaient été préalablement déterminées à partir de notre cadre théorique – dimensions, plans et types de rapport à la culture – ; d’autres ont émergé au cours du traitement des données Miles et Huberman, 2003. Il nous est par exemple apparu nécessaire de créer un ensemble scolaire, puisque cette posture s’est avérée déterminante dans le rapport à la culture qu’entretenaient plusieurs étudiants et dans le rôle qu’ils s’attribuaient dans le développement culturel de leurs futurs mieux comprendre le type désimpliqué, le plus diffi cile à circonscrire en raison de l’imprécision des réponses, nous avons mené une analyse de discours. En analysant l’écriture des textes, nous nous sommes notamment interrogés sur l’importance accordée au je dans l’énonciation des idées. Participe-t-il à un projet subjectif, personnel ? Quels sont les verbes soutenus par ce je ? L’étudiant obéit-il à la consigne prescrite par les questions ? Recopie-t-il ces dernières en commençant son texte ou se les approprie-t-il de façon plus fi ne en les intégrant à son propos ? Le langage choisi est-il uniquement référentiel ? Y a-t-il abstraction, développement réfl exif ? L’idée est-elle seulement mentionnée ou développée, soutenue, argu-mentée, exemplifi ée ? Y a-t-il un effort personnel de hiérarchisation, de catégori-sation ? L’étudiant intègre-t-il les dimensions du sujet, de l’autre, du monde ? Quelles sont les métaphores qu’il utilise pour défi nir la culture, la personne, l’en-seignant ?L’analyse des énoncés s’est faite non pas par représentativité statistique mais en fonction de leur caractère typique Charlot, Bautier et Rochex, 1992. C’est-à-dire que les énoncés retenus traduisaient des constellations de caractéristiques domi-nantes dans la population étudiée, pour les quatre types de rapport à la culture – désimpliqué, scolaire, instrumentaliste et intégratif-évolutif. Ces derniers se sont précisés au fi l de l’analyse, se cristallisant autour des formes qui apparaissaient les plus dominantes dans les textes des étudiants. Quatre types de rapport à la cultureConsidérant certaines des plus importantes catégorisations du rapport au savoir Caillot, 2001 ; Charlot et collab., 1992 ; Jellab, 2001, les données sur lesquelles elles s’appuient et celles que nous avons recueillies auprès des futurs enseignants, nous avons distingué quatre types de rapport à la culture scolaire, instrumentaliste, intégratif-évolutif et désimpliqué. Il importe de préciser que les quatre types se sont construits au fil de l’analyse, se cristallisant autour des formes qui apparais-saient les plus dominantes dans les textes des étudiants. Il nous est ainsi apparu nécessaire de créer un ensemble scolaire, puisque cette posture s’est avérée déter-minante dans le rapport à la culture de plusieurs étudiants et dans le rôle qu’ils s’attribuent dans le développement culturel de leurs futurs élèves. Dans la section suivante, nous présenterons chacun des quatre types dans ses trois dimensions – épistémique, subjective et sociale – pour les deux plans dégagés – individuel et pédagogique. Pour ce faire, nous procéderons à l’analyse de cas d’étudiants qui constituent des figures idéaltypiques de rapport à la culture. Le rapport à la culture de type scolaireLorsqu’on demande à des étudiants de définir ce que signifie pour eux la culture, ceux qui ont un rapport scolaire à celle-ci reprennent généralement le sens qu’en donnent les dictionnaires Le Petit Robert, Le Petit Larousse et où dominent net-tement les termes connaissance et savoir. Comme l’écrit É16, [la] culture se définit comme l’ensemble des connaissances acquises chez un individu. Elle se résume à des connaissances juxtaposées, sans que le texte de l’étudiant ne fasse référence à leur intégration dans des pratiques ou des projets culturels. Pour É16, qui représente sur les plans individuel et pédagogique un idéaltype du rapport scolaire à la culture, celle-ci est comprise essentiellement à partir des repères construits au fil de son histoire scolaire, d’où l’omniprésence de l’élève dans ses réflexions L’élève est comme la terre fertile. À son arrivée à l’école, il reçoit toutes sortes d’informations, comme la terre fertile où l’on plante des graines. Il y a donc une rencontre entre la culture première d’un sujet A et des objets culturels B, mais qui repose sur un faible niveau d’activité du sujet C, d’où la rupture entre les phases B et C dans le processus illustré par la Figure 1, et le peu d’appropriation de la culture qui en résulte C→D. On ne peut parler d’expériences culturelles qui transformeraient le rapport à la culture de l’individu, au monde et à lui-même D→A’ – A’ repré-sentant la culture première transformée par la rencontre culturelle. Sur le plan pédagogique, les textes des étudiants où domine un rapport scolaire à la culture s’articulent autour de trois termes clés connaissance, modèle et trans-mission. Ces termes structurent la relation pédagogique et la relation à la culture autour de la fi gure de l’enseignant À l’école, la source majeure des connaissances acquises par l’élève provient défi nitivement de l’enseignant. Ce dernier doit lui-même Figure 1En amont d’une approche culturelle de l’enseignement le rapport à la culture 293Légende pour les quatre figures A = Précompréhension du sujetB = Rencontre avec des objets, des savoirs et des acteurs culturelsC = Activité d’apprentissage du sujetD = Appropriation et intégration à la culture du sujet 294 Revue des sciences de l’éducationêtre cultivé afi n de transmettre de l’information à ses élèves et ainsi, les cultiver àleur tour É16. Comme le montre cette citation, l’enseignant est dépositairede la connaissance, il est celui qui répond aux questions et pas celui qui les pose, il se donne en modèle et transmet ses connaissances pour que les élèves deviennent à leur tour connaissants. Le sens de la pratique pédagogique consiste surtoutdans cet effort pour conduire l’élève vers un idéal de culture, incarné par la connais-sance. Celle-ci représente alors essentiellement le pôle normatif vers lequel cha-cun doit tendre. Dans la classe, la culture est un donné qui n’est pas reconstruit collectivement, un objet à apprendre, à réciter, à reproduire, dont on ne remet enquestion ni l’histoire ni la pertinence sociale et qui n’est pas transposé dansdes pratiques culturelles signifi antes L’enseignant est un modèle pour les élèves,plus son savoir est large, plus il assume le rôle de médiateur de culture É16. En référence à la Figure 1, on ne peut parler d’un apprentissage conscient et volontaire C. Le rapport à la culture de type instrumentalisteLes discours rattachés au type instrumentaliste, comme celui de É28, mettent clairement en scène un sujet A et des savoirs culturels B. Seulement, celui-là utilise plutôt ces savoirs comme des instruments faits sur mesure pour des pro-jets impliquant un investissement fermé sur la tâche à accomplir, sur l’étape à savoirs culturels sont considérés d’abord en vertu de leur rentabilité prag-matique ou symbolique, dans la mesure où ils permettent l’action effi cace, l’ob-tention d’un poste, d’un diplôme, l’ascension sociale En effet, les gens qui n’ont pas une grande culture générale ne peuvent entretenir des conver-sations intéressantes avec certaines personnes, selon ces dernières. Nous sommes tous amenés, un jour ou l’autre, à discuter avec une personne qui en sait tellement plus que nous sur certains sujets qu’elle nous rend mal à l’aise. Toutefois, nous admirons cette personne et voudrions lui ressembler. […] les hommes, depuis toujours, accordent plus de valeur aux gens qui sont savants qu’à ceux qui n’ont pas beaucoup d’éducation É28. L’individu vit des rencontres culturelles, apprend volontiers des savoirs cultu-rels, mais le discours de É28 montre que l’objectif poursuivi ne réside pas dansle développement réfl exif du sujet D, dans sa compréhension des choses etdu monde, même si l’apprentissage C fait partie intégrante de ses préoccupa-Figure 2 tions, d’où la rupture entre les phases C et D dans le processus illustré par laFigure 2. Sur le plan pédagogique, l’instrumentaliste accorde une place importante à la culture dans sa classe, mais pas dans l’optique du développement d’un sujet réfl exif. É28 explique à sa manière les raisons pour lesquelles il ne peut se préoccuper ni du développement du sujet ni de la réfl exion sur la culture dans la classe C’est avec l’âge et l’accumulation de connaissances que les élèves vont en voir la valeur. La culture pourra servir si le sujet, éventuellement, en voit l’utilité. Elle devient alors un outil parmi tant d’autres, qui sert à donner du sens à l’école. La dimension subjective du rapport à la culture n’est alors prise en compte que dans la mesure où l’enseignant montre ou explique à l’élève que ce qu’il apprend à l’école peut être utile dans la vie pour régler des problèmes concrets. En d’autres termes, les aspects axiologiques – la valeur et le sens de la culture – sont perçus en fonction de l’utilité de la culture. L’enseignement sert des fi ns pragmatiques, c’est-à-dire que les pratiques et les savoirs culturels ne sont pas considérés pour eux-mêmes, mais pour ce qu’ils permettent de réaliser En effet, pour rendre ses cours intéressants, l’enseignant doit se baser sur des faits actuels et culturels. Un enseignement trop traditionnel, avec des exercices qui n’ont pas de lien avec l’univers des jeunes, risque de ne pas les rejoindre É28. On cherche à toucher les élèves non pas pour les amener à se questionner sur le monde et sur leur culture, mais pour rendre les cours intéressants. Les fi nalités sont essentiellement d’ordre pragmatique la culture permettant l’action effi rapport à la culture de type intégratif-évolutifÀ l’instar de É9, un étudiant représentant l’idéaltype de ce rapport sur les plans individuel et pédagogique, les textes des étudiants qui ont un rapport intégratif-évolutif définissent la culture comme un processus dialogique, ouvert et dyna-mique la culture concerne les créations produites par les humains au cours de l’histoire dans les différents domaines de l’activité humaine. [Elle…] est un ensemble dynamique qui est constamment enrichi par les créations individuelles des humains. Cette facette de ma définition implique davantage l’individu et traduit bien le carac-tère évolutif de la culture É9. Il ne saurait y avoir de culture sans appropriation D, sans un sujet A qui cherche à comprendre C les objets, les pratiques et les savoirs culturels B, qui questionne les autres et qui se questionne pour se redéfinir D→A, comme l’illustre la Figure 3En amont d’une approche culturelle de l’enseignement le rapport à la culture 295 296 Revue des sciences de l’éducationAinsi comprise, la culture est structurante pour le sujet intégratif-évolutif ; elle permet de se construire une représentation du monde É9.En outre, de ce rapport à la culture découlent des pratiques régulières et diver-sifi ées la lecture et l’écriture, la pratique musicale ou la photographie, la visite de musées ou le voyage, le visionnement de fi lms ou le théâtre. Autant de pratiques qui intègrent de nouveaux signes et de nouvelles signifi cations, qui permettent de dépasser ses limites et de s’ouvrir sur le monde. Cette ouverture implique certes la curiosité, mais elle engage aussi et surtout la réfl exivité, qui permet de regarder de façon critique […] les diverses productions et représentations issues des champs d’activités humaines É9. De ce point de vue, la culture est dessinée par une réfl exion qui suppose une posture épistémologique, c’est-à-dire une position de recherche, de questionnement, de critique par rapport à la culture. On peut dire que ce qui caractérise le rapport intégratif-évolutif sur le plan individuel pour É9 se prolonge et se traduit sur le plan pédagogique. Ainsi, plutôt que de viser l’encyclopédisme, l’enseignant, selon cet étudiant, place les élèves dans une position de recherche et de questionnement par rapport à la culture. Il les met non pas en présence de réponses toutes faites, mais en quête de questions, et les encourage à développer une attitude critique non seulement à l’égard des pratiques et des savoirs culturels, mais aussi à l’égard de leurs actions, de leurs opinions et de leurs valeurs É9. Le pédagogue se fait également sensible à la question du sens des pratiques et des savoirs culturels pour l’élève Considérer l’enseignement comme une pratique essentiellement culturelle permet de faire le lien entre ce qui est abordé à l’école par le biais des activités d’apprentissage et ce à quoi les jeunes sont confrontés dans leur milieu ou dans la société É9. Il verra à prendre en compte l’univers culturel des jeunes É9, leurs savoirs et leurs pratiques, leurs intérêts et leurs désirs, pour en faire de véritables sujets de culture qui ne se limitent pas à apprendre les savoirs, mais qui se les approprient, les intègrent de façon critique dans des prati-ques culturelles, des projets personnels Il revient à l’enseignant d’aider les élèves à interpréter ces éléments culturels. C’est important pour que chaque jeune développe la connaissance qu’il a de lui-même et du monde qui l’entoure et que chacun parvienne à prendre position envers les enjeux ou débats qui animent la société É9. À ce titre, la dimension culturelle permet aux jeunes de construire leur identité et leur vision du monde É9. Un tel idéaltype se distingue de l’instrumentaliste parce que, en pui-sant dans la culture de l’élève, il vise le développement d’une attitude réfl exive qui transforme le rapport au monde et à soi. Enfi n, si le futur enseignant se voit comme un acteur essentiel de la construction des savoirs culturels, il n’est pas le canal unique de l’apprentissage. Aussi privilégie-t-il des approches pédagogiques qui placent l’élève dans des situations de co-cons-truction des savoirs, des idées, des représentations, des situations qui favorisent les échanges avec les autres. Le rapport à la culture de type désimpliquéComment comprendre le discours de ces individus qui ne structurent pas de projets culturels, qui ne mettent en jeu aucun sujet et qui peinent, dans leur écri-ture, à construire une réflexion qui traduirait une quelconque appropriation de la culture, comme objet ou comme rapport ? Jellab 2001 recourt à l’adjectif désim-pliqué pour caractériser cette expérience insensée » d’un rapport peu construit au savoir p. 197 ou, dans notre cas, à la culture. É5 représente bien l’idéaltype de ces étudiants qu’on ne peut classer dans l’un des trois types décrits précédemment, parce qu’il entre peu ou pas en dialogue avec des pratiques ou des savoirs culturels. L’analyse de son discours traduit plutôt un monologue confiné aux horizons de la culture première A, comme le représente la double flèche de la Figure recourt à des termes peu précis, qui suggèrent une certaine diffi culté à défi nir la culture celle-ci est un englobement10 de connaissances. Quant à la personne cultivée, elle pose un regard intéressé sur les choses11 qui l’entoure et qui accepte de faire de nouvelles découvertes […]. De façon plus précise, la culture est d’après moi le développement intellectuel qu’une personne acquiert selon les différents comporte-ments qu’elle adopte. Plusieurs combinatoires lexicales et constructions synta-xiques sont erronées acquérir un développement, acquérir selon des comportements ; les oppositions tracées sont ambigües Au contraire, une personne qui n’est pas ouverte sur ce qui se passe dans la vie politique, sociale ou artistique adoptera un comportement en conséquence. É5 ne précise pas la nature de ces comportements ni leur lien avec l’implication du sujet. Il ne fait pas non plus référence à des échanges possibles autour de la culture qui ne s’incarne d’ailleurs, à traversson discours, dans aucune pratique sociale suffi samment élaborée pour être iden-tifi le plan pédagogique, le sujet désimpliqué nomme certes l’élève, mais ce dernier n’est pas mis en jeu de façon active. L’activité inscrite dans le discours ne se rattache pas à des pratiques culturelles sur lesquelles É5 aurait une prise assurée et réfl échie comme enseignant de français la perspective culturelle permettra aux enseignants de faire des discussions avec les élèves et de partager de nombreuses découvertes. Les enseignants ont la possibilité de transmettre des informations concernant une matière spécifi que, mais [ils doivent] également amener les élèves à prendre conscience de la diversité culturelle dans laquelle ils vivent. [Ils doivent] inciter les élèves à se questionner et à découvrir d’autres aspects de la vie que ce qu’ilsFigure 4En amont d’une approche culturelle de l’enseignement le rapport à la culture 297 298 Revue des sciences de l’éducationconnaissent déjà. Comme le montre cette citation, le discours d’É5 est émaillé de quelques références à la culture diversité culturelle, découvrir d’au tres aspects de la vie, mais il emploie des expressions fl oues qui ne se rapportent ni à la classe de français ni à des savoirs ou pratiques identifi ables. L’hésitation dans le propos est d’ailleurs palpable à travers de nombreuses expressions mises en italique dans les dernières citations ou dans l’usage abondant de la modalisation L’enseignant qui a un bagage culturel développé peut faire part de ses voyages ou encore des pièces de théâtre et des expositions auxquelles il a assisté. Lorsque l’enseignant discute de ses propres expériences, les élèves sont souvent plus intéressés. […] Cela leur donnera peut-être le goût de participer, eux aussi, à des activités de la sorte pour enrichir leurs connaissances É5. Le discours employé traduit sinon une certaine indécision, à tout le moins une grande prudence du futur enseignant. Synthèse des résultats observés et pistes d’analyseLes 35 textes analysés sont pour une large majorité en concordance sur le plan individuel et sur le plan pédagogique 29 sujets, soit 83 %. Nous avons néanmoins constaté quelques décalages chez certains sujets pour lesquels le rapport à la culture est de type instrumentaliste sur le plan individuel, mais scolaire sur le plan péda-gogique ; ou encore intégratif-évolutif sur le plan individuel, mais instrumentaliste sur le plan pédagogique. Un cas de décalageÉ30 illustre un tel décalage. Sur le plan individuel, il construit sa définition de la culture autour des notions essentielles de construction et d’évolution. Citant avec à propos un document du ministère français de la Culture, il place au cœur de sa définition le caractère construit et dynamique de la culture La culture ne se décrète pas, elle se construit, se vit et se réinvente dans une pluralité de pratiques sociales É30. La suite de son texte montre qu’il s’est approprié cette citation, notamment lorsqu’il souligne le caractère réflexif de la culture, qui permet au sujet de se remettre en question Une personne cultivée, c’est quelqu’un qui s’intéresse à des domaines différents, qui écoute et porte intérêt à ce que les autres ont à lui apprendre, qui est conscient de son savoir, mais surtout de son manque de savoir et qui souhaite toujours en apprendre plus É30.En revanche, quand É30 explicite sa conception du développement culturel sur le plan pédagogique, son discours traduit un certain glissement entre le portrait qu’il trace de lui-même comme sujet réfl exif et le regard posé sur la culture de l’élève. S’il se voit comme un sujet critique de sa culture sur le plan individuel, cette dimension n’apparaît plus dans sa réfl exion sur le développement de l’élève comme sujet de culture. Dans la classe, celle-ci vise moins à développer des sujets critiques qu’à motiver, divertir, diversifi er les contenus d’apprentissage Le profes-seur doit exploiter diverses stratégies d’approche et traiter de différents sujets culturels pour stimuler l’intérêt des élèves. […] La culture semble être un bon moyen pour augmenter la motivation scolaire des jeunes É30. Ainsi comprise, la culture est un outil pédagogique parmi tant d’autres qui a pour fi nalité de susciter la motivation scolaire. Comme nous l’avons vu avec É28, qui a un rapport à la culture instru-mentaliste concordant sur les plans individuel et pédagogique, l’enseignant intègre des éléments de culture non pas pour amener les élèves à se questionner sur le monde et sur leur culture, mais pour rendre les cours intéressants É28. É30 pré-sente ainsi la culture comme des stratégies qui proposent un enseignement plus dynamique et mieux adapté aux goûts des jeunes […] dans un cadre plus original et stimulant qui suscite l’enthousiasme des comprendre ce décalage ? Pourquoi cet étudiant, intégratif-évolutif sur le plan individuel, ne se représente-t-il pas l’élève comme un sujet de culture ? Les données que nous avons colligées dans cette enquête préliminaire ne nous permettent pas d’apporter de réponses claires à ces questions, mais les cas de décalage observés nous lancent néanmoins sur une piste qui mérite d’être appro-fondie nous n’avons observé dans les textes analysés aucun cas d’étudiant présen-tant un rapport à la culture intégratif-évolutif sur le plan pédagogique qui n’a pas un tel rapport sur le plan individuel. C’est dire que les futurs enseignants soucieux du développement culturel de leurs élèves le sont aussi du leur. Inversement, les individus conscients de leur propre culture et de son caractère évolutif ne se sou-cient pas forcément de la culture de leurs élèves. En conséquence, on ne peut donc tenir pour acquis que les étudiants cultivés feront nécessairement de bons passeurs prédominance du type instrumentalisteNous avons constaté que les concordances les plus marquées se retrouvent chez les étudiants ayant un rapport instrumentaliste à la culture, 14 des répondants manifestant cette concordance. Les chiffres du Tableau 1 nous suggèrent qu’il y a une dominance marquée du type instrumentaliste, surtout sur le plan pédagogique, puisque plus de la moitié Tableau 1Répartition des types n = 35, des concordances et des décalagesTypes Plan individuel Plan pédagogique Concordance DécalageDésimpliqué 4 11 % 3 9 % 3Scolaire 3 9 % 5 14 % 3Instrumentaliste 15 43 % 18 51 % 14Intégratif-évolutif 13 37 % 9 26 % 9Total 35 100 % 35 100 % 29 83 % 6 17 %En amont d’une approche culturelle de l’enseignement le rapport à la culture 299des étudiants interrogés 18 sur 35, soit 51 % conçoivent que le rôle de la culture est d’enrichir les interactions en classe, de motiver les élèves, d’éveiller leur curio-sité, de favoriser la réalisation d’une action effi cace ou d’acquérir un certain capital 300 Revue des sciences de l’éducationsymbolique. Bref, pour une majorité de futurs enseignants, les objets, les pratiques et les savoirs culturels doivent être présentés parce qu’ils sont utiles, non parce qu’ils contribuent à donner sens au monde, à soi-même et à lier cette prédominance du type instrumentaliste au contexte socio-culturel du système d’enseignement québécois, c’est-à-dire aux orientations, aux programmes et aux pratiques d’enseignement qui ont marqué son évolution depuis une trentaine d’années, en particulier l’enseignement du français ? Nos données ne nous permettent évidemment pas de répondre à une question aussi complexe12. Il est néanmoins permis de penser que la dominance instrumentaliste dans notre échantillon est en partie liée au système d’enseignement québécois marqué par une conception instrumentale de l’enseignement du français et de la langue Chartrand, 2005. Former des passeurs culturels impliquerait donc de prendre en compte l’histoire scolaire des étudiants comme sujets de culture et de mettre en place des dispositifs de formation qui les amènent à réfl échir et à travailler explicitement sur les plans individuel et pédagogique du rapport à la culture. ConclusionLes divers types présentés ici, leur dispersion au sein de l’échantillon analysé, le problème des deux plans qui doivent être considérés dans leurs spécificités et dans leur complémentarité montrent que l’approche culturelle en français ne peut être abordée uniquement sous l’angle de l’apprentissage et de l’organisation des savoirs dans la classe. Elle s’ancre avant tout dans ceux que l’on nomme passeurs, média-teurs, guides, interprètes, c’est-à-dire ceux qui ont charge de penser la culture comme le point d’ancrage du développement des jeunes à qui ils enseignent. L’approche culturelle de l’enseignement s’enracine donc en amont de la classe. Avant de prendre forme dans des activités d’enseignement-apprentissage, elle s’incarne dans le rapport de l’individu avec la culture – plan individuel –, mais aussi dans le rapport de l’enseignant avec la culture de l’élève – plan pédago-gique. Dans cette recherche, nous avons été sensibles à la question de la culture des enseignants. Seulement, au lieu de dénoncer leurs lacunes, ce à quoi se livre volon-tiers la parole publique au Québec, dans les médias, les universités, les écoles, nous avons proposé un cadre théorique qui permet d’en étudier les causes et les mani-festations et, surtout, de comprendre les relations de ces dernières avec le dévelop-pement de la culture des élèves. Ce texte ne présente qu’une première esquisse d’une recherche plus vaste qui nous amènera à interroger des enseignants et des étudiants en enseignement du français et à observer les premiers dans leur ensei-gnement, pour étudier ces relations complexes qui infl uencent la mise en œuvre d’une approche culturelle en classe de français. Néanmoins, l’analyse de contenu et de discours que nous avons menée dans cet article à partir de cinq fi gures idéal-typiques du rapport à la culture nous autorise à penser que le cadre théorique présenté ici constitue une avancée théorique et pratique féconde pour penser la formation des enseignants au regard de l’approche culturelle de l’enseignement. Notes1. L’étude comparative de Sharp et Le Métais 2000 a été menée dans dix-neuf systèmes édu-catifs Australie, Canada, Angleterre, France, Allemagne, Hong Kong, Hongrie, Italie, Irlande du Nord, République d’Irlande, Japon, République de Corée, Pays-Bas, Nouvelle-Zélande, Singapour, Espagne, Suède, Suisse, Le genre masculin est utilisé à la seule fin d’alléger le Cette volonté de resserrer les liens entre l’école et la culture n’est pas exclusive au Québec. Comme le souligne Kerlan 2005, un mouvement semblable s’est engagé en France. 4. Cette classification s’inspire d’un texte non publié d’Héloïse Côté, préparé dans le cadre d’un séminaire de doctorat. 5. Il ne s’agit évidemment pas d’une liste exhaustive. Nous nous en sommes tenus à l’espace québécois et aux travaux des douze dernières années qui sont représentatifs de ces efforts de recherche. 6. Comme nous le verrons, si tout rapport à la culture comprend une représentation de celle-ci, il ne s’y réduit pas. 7. Cette recherche est exploratoire au sens où elle nous a permis de développer un programme de recherche subventionné par le Conseil de recherche en sciences humaines du Canada CRSH, 2005-2008 et le Fonds québécois de recherche société et culture FQRSC, 2005-2008. Ce pro-gramme de recherche est mené par le GREC Groupe de Recherche Enseignement et Culture dont les professeurs responsables sont Denis Simard et Érick Falardeau, et les assistantes, Judith Émery-Bruneau et Héloïse Côté. 8. Il s’agit d’une théorie élaborée par le groupe ESCOL, l’équipe de recherche Éducation, socia-lisation, collectivités locales de l’Université Paris 8, fondée par Élisabeth Bautier, Bernard Charlot et Jean-Yves L’étude présentée dans cet article a débouché sur une recherche de plus grande envergure financée par le CRSH et le FQRSC 2005-2008 Le rapport à la culture des enseignants de français dans le développement d’une approche culturelle de l’ Les italiques dans ces citations sont de nous ; ils soulignent l’emploi de termes généraux non Le nom choses revient trois fois en une page pour désigner ce qu’englobe la Les entretiens et les captations vidéo que nous effectuerons en 2006 et 2007 devraient tou-tefois nous permettre de mieux comprendre dans quelle optique les enseignants de français intègrent la culture dans leur amont d’une approche culturelle de l’enseignement le rapport à la culture 301 302 Revue des sciences de l’éducationRéférencesBautier, É. 2002. Du rapport au langage question d’apprentissages différenciés ou de didactique ? Pratiques, 113-114, H. 2001. La portée pédagogique des référents culturels. Vie pédagogique, 118, 44-47. Beillerot, J. 2000. Formes et formations du rapport au savoir. Paris L’ G. 2001. La formation des futurs enseignants contribue-t-elle suffi samment à leur culture ? Dans L. Julien et L. Santerre Dir. L’apport de la culture à l’éducation. Montréal Éditions Nouvelles. Caillot, M. 2001. Y a-t-il des élèves en didactique des sciences ? Ou quelles références pour l’élève ? Dans A. Terrisse Dir. Didactique des disciplines. Les références au savoir. Bruxelles De Boeck B. 1997. Du rapport au savoir. Éléments d’une théorie. Paris B., Bautier, É. et Rochex, 1992. École et savoir dans les banlieues et ailleurs. Paris Armand 2005. Pour une culture de la langue à l’école. Dans D. Simard et M. Mellouki Dir. L’enseignement profession intellectuelle. Québec Presses de l’Uni-versité A. et Saint-Jacques, D. 2005. La culture à l’école et dans la formation des ensei-gnants. Dans D. Simard et M. Mellouki Dir. L’enseignement profession intellectuelle. Québec Presses de l’Université supérieur de l’éducation – CSÉ 1994. Rénover le curriculum du primaire et du secondaire. Québec ministère de l’ H. 2004. En quête d’une approche culturelle appliquée à l’enseignement du français, langue première, au secondaire. Mémoire de maîtrise inédit. Université Laval, Québec. Dumont, F. 1968. Le lieu de l’homme. La culture comme distance et mémoire. Montréal Hurtubise HMH. Falardeau, É. 2005. Intertextualité et didactique le préalable de la compétence culturelle. Dans Pottier Dir. Seules les traces font rêver. Enseignement de la littérature et génétique textuelle. Reims C. 2001. Former des pédagogues cultivés. Vie pédagogique, 118, C. 2002. La polyphonie des registres culturels, une question de rapports à la culture. L’enseignant comme passeur, médiateur, lieur. Revue des sciences de l’éducation, 281, 215-236. Inchauspé, P. 1997. Comment corriger des lacunes des curriculums en matière de culture ? Dans C. Audet et D. Saint-Pierre Dir. École et culture, des liens à tisser. Sainte-Foy IQRC. Julien, L. 2001. La formation des enseignants et l’école culturelle ou aculturelle. Dans L. Julien et L. Santerre Dir. L’apport de la culture à l’éducation. Montréal Éditions A. 2001. Scolarité et rapport aux savoirs en lycée professionnel. Paris Presses univer-sitaires de France. Kerlan, A. 2005. De l’école des savoirs à l’école de la culture vers un modèle esthétique de l’éducation scolaire. Dans D. Simard et M. Mellouki Dir. L’enseignement profession intellectuelle. Québec Presses de l’Université R. 1990. Méthodologie de l’analyse développementale de contenu méthode GPS et concept de soi. Sillery Presses de l’Université du S. 2001. Les programmes d’arts plastiques, la culture et les projets éducatifs québécois. Dans L. Julien et L. Santerre Dir. L’apport de la culture à l’éducation. Montréal Éditions Nouvelles. Matias, V., Lemerise, T. et Lussier-Desrochers, D. 2001. Le partenariat entre les écoles secondaires et les musées points de vue d’enseignants de la région de Montréal. Revue des sciences de l’éducation, 221, 85-104. Mellouki, M. et Gauthier, C. 2005. L’enseignant intellectuel et professionnel. Dans D. Simard et M. Mellouki Dir. L’enseignement profession intellectuelle. Québec Presses de l’Université M. et Gauthier, C. 2003. Éducation et culture. Les enseignants, les jeunes et les musées regards croisés. Québec Presses de l’Université de l’Éducation du Québec – MÉQ 1997. L’école, tout un programme. Québec Gouvernement du Québec. Ministère de l’Éducation du Québec – MÉQ 2001. La formation à l’enseignement. Les orientations. Les compétences professionnelles. Québec Gouvernement du de la Culture et des Communications – MCC et ministère de l’Éducation du Québec – MÉQ 2004. L’intégration de la dimension culturelle à l’école. Document de référence à l’intention du personnel enseignant. Québec Gouvernement du Québec. Quintin, M. 1993. Partenariat arts, école et culture ou comment aller plus loin avec d’autres. Dans IQRC et ministère de la Culture, Recherche arts et culture. Québec IQRC et ministère de la Culture. Saint-Jacques, D. et Chené, A. 2002. La place effective de la culture dans le programme de formation. Dans C. Gauthier et D. Saint-Jacques Dir. La réforme des programmes scolaires au Québec. Québec Presses de l’Université Laval. Saint-Jacques, D., Chené, A., Lessard, C. et Riopel, 2002. Les représentations que se font les enseignants du primaire de la dimension culturelle du curriculum. Revue des sciences de l’éducation, 281, 39-62. Saint-Jacques, D. 2001. Différentes manières d’intégrer la perspective culturelle à l’école. Vie pédagogique, 118, C. et Le Métais, J. 2000. The Arts, Creativity and Cultural Education An International Perspective. London Qualifi cations and Curriculum D. 2002a. Contribution de l’herméneutique à la clarifi cation d’une approche culturelle de l’enseignement. Revue des sciences de l’éducation, 281, 63-82. Simard, D. 2002b. Comment favoriser une approche culturelle de l’enseignement ? Vie pédagogique, 124, D. 2004. Éducation et herméneutique. Contribution à une pédagogie de la culture. Québec Presses de l’Université amont d’une approche culturelle de l’enseignement le rapport à la culture 303 304 Revue des sciences de l’éducationSimard, D. 2005. Comment penser aujourd’hui la nature et le rôle de l’école à l’égard de la formation culturelle des élèves ? Dans D. Simard et M. Mellouki Dir. L’enseignement profession intellectuelle. Québec Presses de l’Université D. et Côté, H. 2005. L’approche culturelle dans l’enseignement du français. Dimensions et pistes pédagogiques. Québec français, 139, D. et Falardeau, É. 2005. D’une approche culturelle de l’enseignement à une pédagogie de la culture. Dans D. Biron, M. Cividini et Desbiens Dir. La profession enseignante au temps des réformes. Sherbrooke Éditions du CRP. Simard, D. et Mellouki, M. 2005. L’enseignement profession intellectuelle. Québec Presses de l’Université 1999. L’enseignant, un passeur culturel. Paris • The importance that those involved in curriculum reform in Quebec place on the cultural approach in teaching has led to several research projects. However, few of these have examined the origins of this notion, that is, the relation to the culture of teachers. This article presents the theoretical frame of a definition of the relation to culture that the authors have cons-tructed. This is based on the works of Charlot 1997 and the results of research involving 35 second-year students in a French didactics course. An analysis of four ideal types of relation to culture led the authors to believe that the theoretical frame presented here is a promising direction both theoretically and practically for developing teacher training in terms of a cultural approach to words relation to culture, teaching, teacher training, French, cultural • En Quebec, la importancia que los reformadores otorgan al enfoque cultural de la enseñanza se encuentra al origen de varias investigaciones. Sin embargo, pocos trabajos intentaron entender lo que se encuentra por encima de este enfoque, es decir la relación a la cultura de los docentes. Este texto presenta el marco teórico de una definición de la relación a la cultura que hemos construido inspirándonos de los trabajos de Charlot 1997 y de los resultados de una investigación que se llevó a cabo con 35 estudiantes de segundo año en enseñanza del francés. El análisis de cuatro tipos ideales de relación a la cultura nos lleva a pensar que el marco teórico aquí presentado constituye un avance teórico y práctico para pensar la formación docente respecto al enfoque cultural de la enseñanza. palabras-claves relación a la cultura, enseñanza, formación docente, francés, enfoque reçu le 15 mars 2006Version fi nale reçue le 15 novembre 2006Accepté le 1er février 2007 ... D'ailleurs, très peu de recherches québécoises ont porté sur l'approche culturelle de l'enseignement afin de documenter quel serait le rapport à la culture de futures enseignantes et de futurs enseignants. Seule l'équipe de Denis Simard, de l'Université Laval, a étudié le rapport à la culture de futures enseignantes et de futurs enseignants, en particulier du baccalauréat en enseignement du français au secondaire Simard, Falardeau, Émery-Bruneau et Côté, 2007. Le travail d'exploration réalisé par cette équipe a permis d'identifier quatre types de rapport à la culture du futur corps enseignant sur les plans individuel et pédagogique. ...... Le rapport à la culture est [u]n ensemble organisé de relations dynamiques d'un sujet situé avec des acteurs, des savoirs, des pratiques et des objets culturels » Simard et al., 2007, p. 289. Dans leur recherche exploratoire réalisée auprès de futures enseignantes et de futurs enseignants de français du secondaire, l'équipe de Simard 2007 a pu relever quatre types de rapports à la culture, à la fois sur les plans individuel et pédagogique 1 désimpliqué ; 2 scolaire ; 3 instrumentaliste ; 4 intégratif-évolutif. Nous présentons dans le tableau 1 ces quatre types de rapport à la culture à la manière de Simard et ses collègues 2007 ...... Les réponses aux trois questions clés portant sur les conceptions des futures enseignantes et des futurs enseignants ont été traitées par une analyse de contenu Bardin, 1997. Ces trois questions, dont les deux premières sont inspirées du travail de l'équipe de Simard 2007, étaient les suivantes 1 Que signifie, selon vous, le terme culture »?; 2 Quel est, selon vous, le rôle de l'enseignante ou de l'enseignant dans le développement culturel des élèves?; 3 Que signifie, selon vous, être Passeur culturel » ? Notre analyse des réponses à ces questions se divise en deux volets le premier concerne le type de rapport à la culture et le deuxième le développement de ce rapport chez les futures enseignantes et les futurs enseignants. ...Le développement de la compétence culturelle du corps enseignant apparait essentiel, en particulier lorsqu’il est question de la pensée critique, une des compétences du 21e siècle. Cet article présente un portrait du rapport à la culture de futures enseignantes et de futurs enseignants ayant pris part au projet-pilote Passeurs culturels. Les données analysées révèlent que plus de la moitié ont vu ce rapport se développer en quelques mois, contribuant ainsi à les rendre plus ouverts et critiques face au monde qui les entoure et à envisager de façon plus responsable leur rôle de passeurs culturels auprès des élèves.... Recent works in the field of education have targeted answering these questions. They can be grouped into two main categories analyses of the meaning of teaching from a cultural perspective Chené & Saint-Jacques, 2005;Côté & Simard, 2006Gauthier, 2001;Mellouki & Gauthier, 2003;Monférier, 1999;Saint-Jacques, Chené, Lessard, & Riopel, 2002;Simard, 2002;Simard, Falardeau, Emery-Bruneau, & Côté, 2007 and the theoretical works on the relation between culture and education including Bruner, 1996;Gallagher, 1992;Giroux, 2000Giroux, , 2005Kerlan, 2004;Lorvellec, 2002. The first group of studies suggests that introducing students to culture requires not only teachers who are knowledgeable, but who also reflect on their culture and have developed their own sensitivity to their students' culture. ...... Every individual has a relation to culture, which is created by contexts, practices, relationships, knowledge, and values. It is this complex relation that we seek to understand by examining its components, namely, three spheres and two facets Simard et al., 2007. The three spheres are as follows. ...... The subjective sphere. This sphere concerns people as subjects of culture, their more or less reflexive activity, their representations of culture, their cultural practices and projects, the value they give to culture, and the desires and feelings that animate them in their relation to culture Simard et al., 2007. The subjective sphere refers to the motives that bring one to engage in cultural activities and projects and the importance one gives to this involvement. ...Héloïse Côté Denis SimardÉrick FalardeauLouis-Philippe CarrierCarrier, Côté, H., Émery-Bruneau, J., Falardeau, É. & Simard D. 2010 Relation to Culture and Cultural Education on Students in High School French-as-a-First-Language Courses. Alberta Journal of Educational Research. 561 31-43. To enhance the cultural content of the curriculum, several governments are increasing the presence of cultural education in schools. How do high school French-as-a-first-language teachers perceive this education? To answer this question, we relied on the relation to culture theoretical framework and analyzed 32 questionnaires answered by high school French-as-a-first-language teachers. Our results suggest that the teachers' main role is to bring students to appreciate the cultural objects and practices associated with fine arts and literature and to develop their ability to distance themselves from their PouliotDès le XIX e siècle, des maisons d’édition laïques la Librairie Beauchemin et Granger Frères publient des pièces de théâtre à connotation nationaliste à l’intention des collégiens des collèges classiques. Au XX e siècle, ce sont des maisons d’édition religieuses qui contribuent à diffuser des pièces de théâtre écrites intentionnellement pour les jeunes des collèges classiques. Les idéologies qui avaient cours, au début du XIX e siècle jusqu’au milieu du XX e siècle, vont imperceptiblement, au fil des décennies, se transformer pour faire place à de nouvelles conceptions éditoriales du théâtre arrimées aux préoccupations des jeunes adolescents, dans une société en mutation. Gregory . PapanikosThis book is based on papers presented in the 2006 education conference of the Athens Institute for Education and Research. The papers have been grouped into six parts. In this introduction the papers are presented as they fit into these six broad education themes. Family and Education This section consists of 14 papers, which are grouped in two subsections pre-school and adolescence. A main feature of these studies is the interest in the influence of the family, and especially that of parents, on children’s education and development more generally. The first subsection includes a collection of nine studies in the area of psychology of pre-school children, five of which have preschool education as their context. Eight of these studies have been carried out in Turkey. With the exception of one, which is based on mixed methods, the studies apply quantitative methods using questionnaires for data generation, large sample sizes and inferential statistics for the analysis of the data. In the paper of Aral et al. entitled An Investigation of the Social Behaviors of Children who Attend Pre-School Institutions’ the authors aim to identify whether a number of variables, such as age, sex, having a working mother, the total duration of time spent in pre-school, and the education level of parents affect the social behaviors of four and five-year-old children who attend pre-school institutions in Ankara. The second paper by Aral et al. turns the focus to an examination of the anxiety levels of mothers whose children have been diagnosed with mental disabilities between the ages of 4-18 and the factors that may affect them. The study has been carried out in Ankara and the variables tested include the child’s gender, age, the date of first diagnosis, age of starting special education, as well as the mother’s age and educational level. The third paper by Boz and Ustun reports findings from a study that investigates the views of Turkish parents and preschool teachers on school readiness and makes recommendations on how to promote it and facilitate the adjustment of children in school. The fourth paper by Akyol and Vuslat is a research into the impact of variables, such as the child’s gender, the number of siblings, and the birth order, on parents’ choice of preschool institutions in Ankara. Recommendations are made on how parents can make informed choices of preschool institution for their children. The paper by Saule and Bronislava draws on Vygotsky’s work and reports on an experimental study carried out in Lithuania that investigates whether the training in the development of two thought operations in seven-year-olds classificaiton and seriation leads to the same cognitive changes as the training in written language. The sixth paper by Durmusoglu and Erdem explores, among other things, the opinions of pre-school children’s parents in Ankara on why children should read books, the criteria they apply when buying books, the activities they carry out while and after reading books with their children, and their views about the advantages and disadvantages of existing pre-school education books. The seventh paper by Onay and Aktas evaluates Turkish mothers’ knowledge about breast-feeding applications and their ability to put their knowledge into practice. Among the variables examined for their effect on the breast-feeding behaviours of mothers are the mother’s age, educational level, number of children, and sequence of birth. The paper by Unal reports on a study conducted in Antalya to determine the use of computers by children aged 3-6 years and their parents’ perception of their children’s using computers. The relation between the children’s gender and age on the one hand and their computer usage on the other, are also examined. The final paper in this section by Baran et al. presents results from a questionnaire survey, which explored the implementation of maths activities by teachers in preschool education institutions in Ankara. The study investigates, among other things, the teaching methods used inc. individualised instruction techniques, their frequency of application, and the involvement of parents in such activities. The subsection on adolescence includes five papers, four of which are based on quantitative research that makes use of questionnaires for data generation and which is carried out in Turkey. As an exception, the first paper reports on a study conducted by Dipane in South Africa and investigating the effects on adolescent schoolgirls of a progressive pregnancy termination legislation TOP introduced in 1997. This is a qualitative study based on interviews with educators of female adolescents and focusing on effects, such as health risk and psychological/behavioural effects. The second paper by Gursoy and Bicakci explores whether the socio-economic level, the number of siblings, the mother’s education level, and the relationships with family and friends create any differences in the perception of the family environment among adolescents in Ankara. The paper by Akyol and Ayhan entitled The Study on Empathic Skills of Adolescents’ presents results from a study carried out in Ankara to determine the empathic skills of adolescents attending high school and to find out differences on the basis of factors, such as socioeconomic level, gender, and parental education. The paper by Gursoy and Aydogan explores the effects of sex, age, family income, parental education, the type of music listened, and the frequency of listening to music on the assertiveness levels of high school students. The last paper in this section by Gursoy and Bicakci reports on a study that analyses the anxiety levels of using alcohol and non-using alcohol adolescents and examines whether the variables of gender, socioeconomic level, and parental education create any variation. Pedagogy This section consists of 17 papers, which are grouped in three subsections learning, teaching, and assessment. The majority of these papers present studies carried out in Turkey and in Slovenia. A common characteristic of these studies is that they have been conducted in the context of formal education and examine aspects of the learning/instructional process. The first subsection, on learning, includes a collection of papers with a variety of methodologies. The first paper by Pehlivan and Atamturk reports on a quantitative survey carried out in Cyprus that explores the attitudes of Turkish Cypriot student teachers towards learning Greek and the Greek culture. The next paper by Araz and Sungur is based on an experimental study carried out in Turkey and investigating the effects of problem-based learning on elementary pupils’ understanding of genetics. The third paper by Hus presents findings from a study carried out in Slovenia, which examines whether the pupils’ activities that promote learning differ between environmental education on the one hand, and early science and social studies on the other. The study is based on systematic observation in the first grade of four elementary schools. The paper by Justin entitled School Textbook Research A New Method’ discusses the so-called relevance theory’ in textbook research, focusing on the cognitive and epistemic effects that history textbooks in Slovenia can have on students through communicating implicit meanings. The two last papers in this subsection present research carried out in higher education. The paper by Wilkin et al. from Belgium examines the ways information technologies especially the Internet are incorporated into students’ academic day-to-day information-seeking activities. The paper applies mixed methodology and also examines whether students’ information-seeking behaviours are patterned by academic disciplines and year of study. The paper by Pinheiro from Portugal analyses the role played by simulation in the learning processes of vocational higher education. The paper is a case study on the impact of a course that employs this methodology at a University in Portugal, involving the perspectives of employers, academic staff, students and graduates. The second subsection, on teaching, starts with a paper by Cadez from Slovenia that investigates how successful primary school pupils are in interpreting graphical representations of addition/subtraction. The study uses both quantitative data generated with the help of mathematical tests and qualitative data generated through interviews with pupils. The next two papers examine the teaching of geography. The paper by Demiralp entitled Historical Development of Geography Education in Turkey’ discusses modern geography in education in Turkey and in particular, the stages it has been through until today, the position it is in now, the problems it faces, as well as some possible solutions. The paper by Gulec and Metin presents results from a study that recorded the methods of teaching the basic concepts of geography to children between 4 and 6 years with the view to assessing their effectiveness. Two more papers in this section examine the teaching of handcrafts education in Turkey. The paper by Alp and Ozdemir investigates the teaching programmes of handcrafts education taken by young students following four-year diploma courses in Turkish universities. The paper by Soylemezoglu et al. discusses the role of education in transferring the culture of Turkish handicrafts to the next generations and in raising people’s ability of producing high-quality products. The situation of handicrafts education in Turkey and existing teaching systems are explained. The last three papers in this subsection have consumer education in Turkey as their subject. The paper by Ozdemir et al. discusses the increasing consumption of biotechnological foods and proposes a model for sustainable consumption education. The paper by Ozgen et al. entitled Media, Materialism and Socialization of Child Consumers’ reports on a study that examines questions concerning consumer socialisation in relation to materialistic values and mass media especially television commercials and provides detailed knowledge for parents, consumer educators and public policy-makers. The paper by Purutcuoglu and Bayraktar focuses on consumer education in Turkish secondary schools concerned with the skills, attitudes, knowledge and understanding needed by individuals, such that they can make full use of the consumer opportunities present in the marketplace. Opportunities to teach consumer education in other areas of the curriculum, such as home economics, religion, culture, and moral education are also discussed. The third subsection, on assessment, starts with a paper by Alper and Baris from Turkey dealing with the assessment of student performance in Web page design and in particular, exploring the reliability and validity of rubrics, tools used for assessing complex performance in a way that gives input and feedback to improve such performance. The paper by Jereb and Bernik entitled Comparing Students’ Readiness for E-examinations in 2004 and 2005’ is about taking electronic exams and investigates the readiness of students for taking such exams through a questionnaire survey. The paper by Milena and Marija from Slovenia outlines results from an empirical, questionnaire-based, research that examines the degree of democratisation of grading knowledge assessment during Slovene and mathematics lessons and compares the views of teachers and pupils in the primary school. Initial Teacher Training This section consists of seven papers on the initial training of teachers. The first three papers focus on teacher professionalism and self-efficacy/self-esteem. They present findings from quantitative research carried out in Turkey, using questionnaire-generated data that have been analysed with appropriate statistical methods. The paper by Akyol and Aslan reports on a research into the attitudes of inservice and preservice teachers of early childhood education towards their profession and the level of their professional self-esteem. Among other things, the authors examine whether some variables, such as the reasons for choosing the teaching profession, professional seniority, and whether a teacher works full- or part-time, have an influence on his/her attitudes towards the profession and their professional self-esteem. The paper by Ercan and Üstün examines the attitudes of trainee teachers attending an English Certificate Programme towards the profession of teaching. The paper by Topcu and Yilmaz-Tuzun reports results from a study on the effects of self-efficacy beliefs and epistemological worldviews on preservice science teachers’ epistemological beliefs. Turning the focus to Anglo-Saxon research, the paper by Brunkhorst discusses a research agenda for Science Teacher Preparation in the United States. The paper by Hinchion explores the place of narrative in the pre-service training of teachers at the University of Limerick, Ireland. It explores, especially, the area of autobiographical narrative, as a symbolic action for reflective practice with students of teaching. The paper by Emery Bruneau from Canada examines the relation of literature teachers in training to culture and its influence on their relation to literary reading and on the development of the subject-reader. This paper draws on a doctoral dissertation of which parts of theory and methodology are presented. Finally, in the paper by Cremen and Cremen from Ireland entitled Counselling, Energy, Movement’ the authors present findings from a study in which they integrated movement, energy and bodywork with an interpersonal and intrapersonal focus into the learning environment of three university modules on student teachers’ personal development and counselling. A phenomenological approach to research was adopted and findings include a broad spectrum of vignettes from the evaluations, observations and student feedback. InService Education This section includes six papers on inservice education, four of which have teachers as their target group. The first two papers examine the nutrition knowledge of teachers in Ankara, Turkey. The paper by Ozcelik and Ormeci assesses the nutrition knowledge of nursery teachers using questionnaires for data generation. The effects of factors such as age, education status, marital status, duration of teaching, and nutrition classes attended, are explored. The paper by Sabbag et al. investigates the nutrition knowledge of elementary school teachers using both interview techniques and questionnaires for data generation. The third paper by McPherson entitled Web-Based Tools for Teacher Education’ describes the use of web-based tools at the New York Institute of Technology, School of Education which covers a wide geographical area to perform administrative and instructional/assessment tasks and to teach students from various sites in the same section of a course. The fourth paper by Flores and Simão presents findings from a research carried out in Portugal, which investigates the ways in which teachers learn in the workplace and how they feel about it and the factors that hinder or facilitate their professional growth. Data are generated through questionnaires and semi-structured interviews. The paper by Nikolou-Walker reviews, as a case study, the introduction of a work-based and experiential learning paradigm within the police service. As opposed to the traditional organisational training processes, this paradigm aims to create an open environment that promotes informal learning. The last paper in this section by Whitmarsh discusses ethical principles and codes of practice in cross-disciplinary research with children and young people in the UK. The paper relates to the need for educational researchers to create cross-disciplinary ethical spaces that will enhance future studies. Management This section includes 12 papers grouped in two subsections educational management and business management. The first subsection, on educational management, starts with two American studies. The first study by Marcos entitled Affective Leadership in a Data Driven World The case for Strengths-Based Training for Educational Leaders’ examines the perceptions of public and private school leaders on the effects their top five identified strengths have on their leadership skills, using questionnaire-generated, quantitative, data. The second study by Clark and Bordinaro from California State University is a mixed-methods study of the challenges faced by first year high school principals in urban areas. The next two papers report on studies carried out in Sub-Saharan Africa. The paper by Neema-Abooki focuses on total quality management and the governance structures of universities in Uganda. The study is a cross-sectional survey based on a large sample of respondents, which concludes that the governance of universities in the region, though basically bureaucratic, incorporates elements of subsidiarity and that the institutions are disposed to a total quality, people-based, management culture. The next paper by Milonzo looks critically into the principal’s role in the development of programmes for the teaching staff in the far north of the Limpopo province, South Africa. The study analyses responses from a number of questionnaires given to school principals and teachers. The paper by Silman and Celikten examines what difficulties women principals at the state schools in Kayseri, Turkey, experience throughout their administrative careers in terms of their family life, responsibilities, personal qualities and what role gender plays in their experiences. A qualitative research method is used based on data generated through an interview schedule. The paper by Bjarnason reports on a mixed-methods research carried out at the Iceland University of Education in cooperation with parent and professional associations of all Icelandic students labelled with intellectual disabilities. The findings demonstrate both strengths and weaknesses in inclusive schooling practice with regard to the structural organisation of schools, pedagogical practices, and the social relationships between disabled and non-disabled learners. The paper by Nordin et al. examines the effects of an internally-initiated assessment policy in a Malasian university on the faculty’s acceptance, expectation, as well as curriculum and assessment planning. The effects of the intervention are being assessed on the basis of workshops conducted for the faculty to self-evaluate the new practice and through individual interviews and presentations of group work, among other things. The paper by Dhillon outlines findings from a study into partnership working in the field of post-compulsory education in England. Drawing on a qualitative case study of a sub-regional partnership of providers of education and training, the discussion focuses on the role of trust and shared norms and values in sustaining a partnership. The study tracked the lifecourse of the partnership over five years and used multiple methods for data generation, such as observation, analysis of documents, and semi-structured interviews. The paper by Gotsis describes how information technology policies and infrastructure affect curriculum and pedagogy in new media arts programmes at five types of American educational institutions. The essay examines problematic policies and infrastructure as they apply to each new media arts programme in each type of school, and discusses how they affect the effectiveness of curriculum and teaching from different points of view student, faculty and staff. The last paper in this subsection by Stivachtis from Virginia Polytechnic Institute & State University entitled Globalization and the Responsibility of the International’ University’ discusses the effects of globalisation on universities and how the latter can deal effectively with the pressures of internationalisation. The second subsection, on business management, consists of two papers from East Europe. The first paper by Andrzejczak entitled Managerial Education in Poland after 1990’ presents the main direction of quantitative and qualitative changes that took place in managerial education in the 1990s in Poland and determines the extent to which they satisfy the requirements of managers’ labour market. The second paper by Mithans from Slovenia discusses critiques from the business world and the academia that management studies lack scientific rigour and that are not of much use to practitioners. The paper shows that although business schools have reacted to these critiques by amending their curricula and adding subjects that would make business studies more relevant, the core curriculum and ideology have stayed unchanged. Consequently, the critiques have remained the same. Initiatives and Futures This section includes 16 papers that elaborate on new policy initiatives implemented within the educational systems of various countries. The papers are grouped in three subsections early years; lifelong learning; and training and education. The first subsection, on early years, starts with two papers from the UK. The first one by Nasou explores how the Green Paper Every Child Matters’ is implemented in her school and its implications on Curriculum, Pedagogy and Assessment. Starting from the specific, in this case her school, and moving to the more general elements of curriculum, pedagogy and assessment the author attempts to find out influences, positive or negative, outcomes and ways of the Green Paper’s application. The next paper by Ross-Watt entitled Inclusion in the Early Years Policy into Practice in Primary 3’ recounts the third stage of an on-going case study into the experiences of Heather, a girl with Spina Bifida, who requires assistance to meet her additional support needs. The setting is a mainstream Scottish primary school, identified as embodying good inclusive practice. The paper seeks to provide a better understanding of the complex relationship which exists between policy determined nationally, practice implemented at classroom level and the experience of the child herself. The third paper by Devjak and Vogrinec from Slovenia shows different points-of-view of experts about the importance of graduate pre-school teachers’ competencies. The authors' argument is that the competencies acquired at university are both insufficient and unsatisfying for pre-school teachers, as well as their employers, who participated in an empirical research with the intention to establish what kind of competencies determine the university qualification and what is the relation between the actual and the desired qualifications of pre-school teachers. The research was based on questionnaire-generated, quantitative, data. The last three papers in this subsection present studies from Turkey. The paper by Babadogan discusses the primary school catch-up curriculum’, a transition programme provided to children aged between 10-14 who either quit elementary school or never enrolled before, in order to catch-up with their peers through an intensive, individualised curriculum and to come back to formal education. The paper evaluates the most basic outcomes during its implementation period. The paper by Aktas et al. examines the permanence of the effect of applied nutrition education on pupils’ nutritional knowledge and behavior 10 months after a programme. The permanence of pupils’ nutritional knowledge is determined via a standardised test, while their nutritional habits are determined through a questionnaire. Pupils’ anthropometric measurements are also taken. The last paper in this subsection by Akyol et al. studies preschool teachers’ inclusion practices of science and nature activities in their daily educational programmes in Turkey, using a large sample of female preschool teachers. The data are generated through a questionnaire. The second subsection, on lifelong learning, starts with two papers from Slovenia. The first paper by Cepar and Trunk entitled Population Ageing, Education and Mortality The Case of Slovenia’ analyses the implications of an ageing society for the education demand and supply side and the consequences for the educational labour market in the country. The authors use statistical data from official national databases, as well as data from surveys conducted particularly for the purposes of this research. The potential benefits and other consequences of Europass are also examined. The second paper by Gomezelj Omerzel et al. discusses the system of validation of non-formal and informal learning NIL. It presents the results of empirical research, aimed at investigating 1 the existing practice of NIL applied by five Slovenian employers and their motivation to co-operate in the system for validation of NIL, and 2 the number of competencies that employees from five Slovenian employers developed through NIL. The third paper in this subsection by Gaynard presents the methodological issues surrounding a research project concerned with mature graduate women’s perceptions of their lives and educational experiences. The research uses a combination of quantitative questionnaire and qualitative lifelines and interviews methods, and is carried out in the UK. The fourth paper by Misut from Slovak Republic focuses on an educational reform that transformed the administration and financing of regional schools in the country. The reform forms part of the overall decentralisation of public administration and focuses on the redistribution of powers between the State and the local government. The paper makes recommendations about how the Faculty of Education of Trnava University FoE, as an institution preparing future teachers for pre-primary, primary and secondary schools, should reflect the changes connected to the reform at all education levels. The third subsection, on training and education, starts with a paper by Du Toit et al. entitled Education, Jobs and Skills’, which discusses the existence of a gap between the labour market’s changing requirements in South Africa and the education system’s way of preparing the country’s youth for a career. The next paper by Cech is based on some pedagogical work carried out in Social Care together with persons with learning difficulties. The aim is, together with the person with learning difficulties, to view their knowledge, and based on their own life experiences, to work for their empowerment. During a period of ten years, four to six persons with learning difficulties have, together with the researcher, and through interactive talks with each other, reflected over the knowledge they have gained from their own life experiences. The third paper by Birnbaum and Papoutsis Kritikos presents a partnership between Northeastern Illinois University and the Chicago Public Schools CPS that addresses the shortage of special education teachers in CPS and in the city of Chicago, through an innovative field-based programme. In this project, individuals with degrees outside of education work as full-time interns in CPS, serving students with disabilities, as they complete Illinois teacher certification requirements and degrees in special education. The next paper by Silitsky presents a case study that illustrates how service learning was successfully incorporated into a graduate counseling course Group Therapies. Excerpts reflecting student perceptions of the projects, client evaluations, agency/community feedback, and descriptions of course assignments are provided. The paper by Clarke presents a study that evolved from a small-scale piece of research where small groups of five or six students participated in some research involving discussion and close textual analysis of an article that was relevant for a particular assignment. What emerged as a spin-off’ from the intended research was the fact that the students were much more willing to share information and exchange ideas in smaller groups. The concept of competitiveness had disappeared and an ethos of collaboration prevailed. The last paper in this section by Karababa and Celik aims to explore learners’ perceptions opinions towards teacher and learner-centered learning approaches in terms of in-class interaction in a language teaching environment. Including randomly assigned experiment and control groups, the study gathers data from the freshmen students taking a Turkish syntax lecture via a questionnaire and an interview. Both groups involved in the study are asked about their feelings, disappointments, recommendations, and criticisms about the teaching. Treatment is completed in five weeks and the data are analysed by statistical techniques. So far, we presented a general overview of the papers included in this volume. It is particularly encouraging that the 2006 education conference of the Athens Institute for Education and Research brought together presentations of research work from a broad spectrum of countries. The studies reported here have been carried out in East and Western Europe, Asia, Africa, and North America. By reading these papers, one can identify the main issues that preoccupy educationists in the respective countries. Among the fields of study, common across countries, are early years education mainly with regard to the social and cognitive development of the child, adolescence psychology, and inclusive education for people with special educational needs. There is also international interest in the use of e-technology in educational practice. In the context of formal education from primary through to higher education the focus is mainly on learning and teaching methodologies, as well as in assessment techniques. Policy-related research is still in the forefront of the government agenda in many countries of the world and mainly focuses on early years and post-secondary education. A main concern of the researchers is the translation of their findings into policy and practice. There is an issue of the existence of a gap between policy initiatives and the actual experiences of those at the receiving end of education, teachers and pupils. In terms of methodology, there is a predominance of quantitative research that includes large scale questionnaire surveys, experiments, and systematic observations. Such studies are mainly carried out in East Europe Slovenia and Turkey. The factors most frequently examined for their effect on educational outcomes are demographic and socioeconomic variables. Qualitative methods, such as ethnographic research or case studies applying, among others, in-depth interviews have a more limited application. They are preferred by researchers in Western Europe and North America England, Scotland, Ireland and the United States. In most cases, qualitative methods are applied as part of mixed methods designs, in combination with quantitative techniques. We hope that the international conferences on education organised by the Athens Institute for Education and Research will continue to attract researchers from an increasing number of countries and will remain truly international. We also hope that the conferences will offer an attractive environment for sharing and discussing research findings, exchanging thoughts and ideas, identifying issues for further investigation, developing new research questions, and overall, furthering the study in the field of education. At the same time, it is our aspiration to create a multicultural environment of friendship and enjoyable social Saint-Jacques Claude LessardMarie-Claude RiopelRésumé Cet article rend compte des représentations que se font les enseignants du primaire de la dimension culturelle du curriculum, sous l’angle de leur compréhension de la culture et celui des manières de l’intégrer, telles qu’elles se dégagent de données d’une enquête menée au printemps 2000. L’analyse révèle une compréhension diversifiée et bipolarisée de la culture; le rejet d’une conception élitiste, l’importance accordée à la culture immédiate de l’élève et à l’ouverture au monde témoignent d’un souci de rendre la culture accessible à tous. Les manières d’intégrer la dimension culturelle sont également variées, mais relèvent essentiellement de contenus à véhiculer plutôt que de stratégies d’enseignement, et comme soutien aux apprentissages plutôt que comme éléments du GohierRésumé Cet article porte sur les rapports qui différencient enseignement et culture selon la culture de référence. Un premier clivage existe entre les tenants de la transmission du patrimoine culturel et les défenseurs de la pédagogie centrée sur l’enfant ; un second, entre les promoteurs d’une conception éducative axée soit sur les compétences, soit sur la culture. Ces conceptions ne sont pas nécessairement dichotomiques, comme le montre la récente réforme de l’éducation au Québec. Toutefois, les concepteurs des programmes de formation n’ont pas répondu au voeu de rehaussement culturel formulé par le groupe de travail sur la réforme du curriculum. Aussi, la culture doit-elle reprendre la place qui lui était assignée, l’enseignant étant considéré comme un passeur culturel et comme le lieur du sensé au senti dans le cadre d’une éducation à la compréhension et à la relation. Denis SimardCet article tente de contribuer a la clarification d’une approche culturelle de l’enseignement. L’auteur prend pour cadre de reference l’hermeneutique contemporaine, en particulier l’hermeneutique representee par Gadamer et Ricoeur. Il presente six principes hermeneutiques et examine la pertinence de cette approche au regard de la fragmentation et de la dispersion qui caracterisent la culture actuelle et qui affectent en profondeur la culture scolaire et le role de l’enseignant comme mediateur de culture. L’auteur degage enfin les consequences de cette approche sur la mise en place des conditions d’une pedagogie de la BAUTIERL’expression rapport au langage » est aujourd’hui souvent employée en didactique, ou plus largement dès qu’il s’agit de penser les productions et compréhension des élèves autrement qu’en termes de compétence, d’acquisition de formes ou de mise en oeuvre d’opérations cognitives et langagières, mais elle est rarement définie dans ses filiations et ses composantes, ou dans ce qu’elle apporte de spécifique pour comprendre les productions des élèves. Nous tentons ici une telle explicitation en la référant à la problématique qui a conduit à construire cette notion, celle de la différenciation dans les apprentissages scolaires, en montrant les ruptures théoriques et de conceptions que cette notion nous semble impliquer, en la liant à la question des rapports entre développement du sujet et langage. Parce que cette notion convoque différentes dimensions du sujet qui sont à l’oeuvre dans les situations scolaires, elle devrait permettre de tenter de conserver cette complexité lors de l’analyse des situations et des productions de langage. Vitor MatiasTamara LemeriseDany Lussier-DesrochersRésumé Cet article vise à faire le point sur les perceptions et les intérêts des enseignants concernant le partenariat entre les musées et les écoles secondaires. Un questionnaire a été distribué dans 16 écoles francophones de la région de Montréal. Les répondants N = 202 se différencient selon le sexe, l'ancienneté, la matière, l'ordre d'enseignement. La plupart des enseignants reconnaissent le rôle éducatif des musées dans le développement et l'apprentissage des 12-17 ans. Toutefois, le manque d'information sur ce qu'offrent les musées et les difficultés d'organisation des sorties sont les principaux éléments relevés pour expliquer la faible utilisation des musées. Les résultats sont discutés en lien avec les écrits recensés et les initiatives récentes prises au Québec en matière d'éducation et de soient dans une classe devant leurs élèves, dans une équipe de travail ou à une réunion de parents, préparant un cours ou discutant avec un collègue de tel élève, telle approche ou tel support didactique, les enseignants décodent et interprètent, choisissent et rejettent, exposent, transmettent, écoutent, s'interrogent, provoquent, concilient, relancent la discussion ou corrigent le tir, approuvent l'intervention d'un élève, aident un autre à exprimer son point de vue. Si c'est là un travail de professionnels, alors la profession d'enseigner est une profession intellectuelle, à la condition de ne pas prendre ce terme pour synonyme de pure rationalité, d'analyse ou de calcul. Car interpréter, c'est choisir parmi plusieurs possibilités une signification qui, pour un moment précis, semble convenir ; choisir, accepter, rejeter, revenir sur ce qu'on a écarté, abandonner ce qu'on a accepté, conduire les élèves d'un domaine du savoir à l'autre, rendre leurs actes de tous les instants conformes aux conventions sociales sans brimer les libertés individuelles, prononcer des jugements sur la base d'informations partielles, voilà ce que Bourdieu appelle une logique de la pratique. C'est là que les enseignants puisent leurs critères, une partie de leur savoir, les fondements de leur action. Les textes réunis dans ce collectif mettent en relief quelques-unes des facettes du travail des enseignants et le montrent comme une profession essentiellement culturelle et intellectuelle.
kulturaldan sosial, dimana nilai-nilai dari sistem budaya terjalin dalam sistem sosial dan diwariskan serta diinternalisasikan dari generasi dahulu ke generasi selanjutnya dengan kata lain agama juga merupakan sarana internalisasi nilai budaya yang terdapat di masyarakat kepada sistem kepribadian individu.

Abstract Religious and socio-cultural education is inseparable in peoples lives. Educational cultural proximity to religion and socio-cultural development become two interrelated and mutually needy sides in solving social problems of society. This research shows that there is a relationship between religious and cultural education that is interrelated, giving birth to changes and responding to the rapid development of the times, thus ushering in a reality of religious life that is full of educational values without losing the local culture. The success of a nation can be seen and measured by the younger generation of its nation in the present and the future. Regarding religious education with culture, it is hoped that there will be the best results from a new generation and have potential with good quality, who can develop the knowledge they have and apply it well in the fabric of education, society, and culture. Thus, religious and socio-cultural education provides answers to various problems in the social development of budaya to religion in the context of educational institutions, be it in schools or madrasas. Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya menjadi dua sisi yang saling terkait dan saling membutuhkan dalam memecahkan persoalan sosial masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan Agama Islam dan budaya yang saling berkaitan, dengan melahirkan perubahan serta merespon berkembangnya zaman yang semakin pesat, sehingga mengantarkan pada sebuah kenyataan kehidupan beragama yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan tanpa menghilangkan budaya setempat. Berhasilnya suatu bangsa dapat dilihat serta diukur dari generasi muda bangsanya pada masa kini serta pada masa yang akan datang. Dalam hubungannya Pendidikan Agama Islam dengan budaya, sangat diharapkan adanya hasil terbaik dari generasi yang baru dan memiliki potensi dengan kualitas yang baik, yang mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mengaplikasikannya dengan baik dalam jalinan pendidikan, sosial dan budaya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya memberi jawaban dari berbagai permasalahan dalam perkembangan sosial budaya terhadap agama dalam konteks lembaga pendidikan, baik itu di sekolah maupun madrasah. References Afista, Y., Hawari, R., & Sumbulah, U. 2021. Pendidikan multikultural dalam Transformasi Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Evaluasi Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 51, 128–147. Anggadwita, G., Luturlean, B. S., Ramadani, V., & Ratten, V. 2017. Socio-cultural environments and emerging economy entrepreneurship Women entrepreneurs in Indonesia. Journal of Entrepreneurship in Emerging Economies. Arif, M. 2012. Pendidikan Agama Islam Inklusifmultikultural. Jurnal Pendidikan Islam, 11, 1–18. Febrianto, M. V. 2022. Kontestasi Spiritualitas Sebagai Pendekatan Baru Kepemimpinan Pesantren. Ideas Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Budaya, 82, 699–704. Mansir, F. The Response of Islamic Education to the Advancement of Science in The Covid-19 Pandemic Era in The Islamic Boarding Schools. Auladuna Jurnal Pendidikan Dasar Islam, 81, 20–27. Mansir, F. 2021. Aktualisasi Pendidikan Agama dan Sains dalam Character Building Peserta Didik di Sekolah dan Madrasah. J-PAI Jurnal Pendidikan Agama Islam, 72. Mansir, F. 2021. Analisis Model-Model Pembelajaran Fikih yang Aktual dalam Merespons Isu Sosial di Sekolah dan Madrasah. Tadibuna Jurnal Pendidikan Islam, 101, 88–99. Mansir, F. 2021. Interconnection of Religious Education and Modern Science in Islamic Religious Learning. Edukasi Jurnal Pendidikan Islam e-Journal, 92, 229–237. Mansir, F. 2021. The Urgency of Children Education in Preventing Mass Ignorance in Indonesia. Jurnal Kependidikan Jurnal Hasil Penelitian Dan Kajian Kepustakaan Di Bidang Pendidikan, Pengajaran Dan Pembelajaran, 74, 810–821. Mansir, F. 2021. The Urgency of Fiqh Education and Family Role in The Middle of Covid-19 Pandemic For Students In School and Madrasah. Kamaya Jurnal Ilmu Agama, 41, 1–10. Mansir, F. 2021. The Leadership of Parent and Teacher in 21st Century Education. International Conference on Sustainable Innovation Track Humanities Education and Social Sciences ICSIHESS 2021, 110–115. Mansir, F., & Kian, L. 2021. Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam dalam Konteks Kehidupan Beragama. Kamaya Jurnal Ilmu Agama, 43, 250–263. Mansir, F., & Syarnubi, S. 2021. Guidance And Counseling The Integration of Religion And Science In 21st Century For Character Building. At-Tarbiyat Jurnal Pendidikan Islam, 42. Mansir, F., & Wadham, B. 2021. Paradigm of HAR Tilaar Thinking About Multicultural Education in Islamic Pedagogy and Its Implication in the Era Pandemic Covid-19. Cendekia Jurnal Kependidikan Dan Kemasyarakatan, 192. Nur, I. 2018. Eksistensi Lembaga Pendidikan Islam dalam Meretas Potensi Konflik Sosial Budaya. Al-Riwayah Jurnal Kependidikan, 101, 219–242. Nurmiyanti, L. 2018. Pendidikan Agama Islam Sebagai Pondasi Sosial Budaya dalam Kemajemukan. Istighna Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, 12, 62–85. Purwanto, M. R., & Rahmah, P. J. 2021. A Study on Nglanggeran Kampung Pitu Sociologically and Anthropologically Perspectives. Ideas Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Budaya, 74, 45–50. Qolbi, S. K., & Hamami, T. 2021. Impelementasi Asas-asas Pengembangan Kurikulum terhadap Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan, 34, 1120–1132. Suharto, T. 2017. Indonesianisasi Islam Penguatan Islam Moderat dalam Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Al-Tahrir Jurnal Pemikiran Islam, 171, 155–178. Turaev, A. S. 2020. The Ideology of Neo-Conservatism The Role of Socio-Cultural Factors. ПЕДАГОГИКА. ПРОБЛЕМЫ, ПЕРСПЕКТИВЫ, ИННОВАЦИИ, 29–31. Ugwu, N. U., & de Kok, B. 2015. Socio-cultural factors, gender roles and religious ideologies contributing to Caesarian-section refusal in Nigeria. Reproductive Health, 121, 1–13. Yasmin, M., & Sohail, A. 2018. Socio-cultural barriers in promoting learner autonomy in Pakistani universities English teachers beliefs. Cogent Education, 51, 1501888. Yunus, Y. 2020. Sosial-Budaya Harmonisasi Agama dan Budaya dalam Pendidikan Toleransi. Kalam Jurnal Agama dan Sosial Humaniora, 82, 1–26. Zafi, A. A. 2018. Transformasi Budaya Melalui Lembaga Pendidikan Pembudayaan dalam Pembentukan Karakter. Al Ghazali, 11, 1–16. Zamani-Farahani, H., & Musa, G. 2012. The Relationship Between Islamic Religiosity and Residents Perceptions Of Socio-Cultural Impacts of Tourism In Iran Case Studies of Sarein and Masooleh. Tourism Management, 334, 802–814. Zulaikhah, S. 2019. Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam Dsi SMPN 3 Bandar Lampung. Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, 101, 83–93.

PengertianInteraksi Sosial Menurut Para Ahli. Interaksi adalah proses di mana orang-orang berkomunikasi saling memengaruhi dalam pikiran dan tindakan. Seperti kita ketahui, bahwa manusia dalam kehidupan sehari-hari tidaklah lepas dari hubungan satu dengan yang lain. Ada beberapa pengertian interaksi sosial yang ada di lingkungan masyarakat, di
Pendekatan sosial-budaya merupakan salah satu pengembangan dari kurikulum. Pendekatan ini dipengaruhi oleh pemikiran Piaget, Bruner dan Vygotsky. Sosio-budaya sangat terpengaruh oleh pandangan-pandangan dari Vygotsky 1978 . Seiring dengan Piaget penekanan terhadap pemahaman perkembangan ditinjau dari sisi genetik . Pendekatan lainnya mengarah pada perhatian asal muasal “Sosial”, dimana kapasitas intelektual berhubungan erat dengan aktifitas sosial , semakin tinggi intelektual seseorang maka aktivitas sosialnya juga akan semakin banyak, hal ini dikarenakan aktivitas sosial sebagai tuntutan dari intektual sesuai dengan pengamatan dan analisis Vygotsky. Kemampuan dan hubungan antar manusia selalu dikaitkan dengan penggunaan alat alat dan teknologi fisik. Akan tetapi sosial-budaya mengarahkan pemikiran kita bukan kepada fisiknya akan tetapi bagaimana cara-cara dan ketersediaan alat tersebut, dengan kata lain sosial-budaya mengambil pandangan/perspektif dari sudut pemikirannya, sedangkan realitanya diwujudkan dengan bentuk alat-alat tadi. Pendidikan diperoleh dari pemaknaan terhadap tradisi dan budaya, dan pengetahuan dapat diperoleh dari masyarakat. Bruner juga berpendapat bahwa pendidikan harus membantu siswa tumbuh besar dalam suatu budaya, membantu menemukan identitas diri dan membantu menemukan makna hidup dari budaya tersebut. Alat dan tanda serta simbol sesuatu adalah produk dari sejarah sosial-budaya yang diinterpestasikan kedalam pemikiran orang-orang/masyarakat sesuai perkembangan didalam masyarakat. Pada kenyataan terdapat begitu banyak budaya dimuka bumi ini, termasuk pola pengasuhan anak. Di Indonesia pola orang tua untuk mendidik dan mengasuh putra putrinya dikenal dengan istilah asuh, asah dan asih. To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the has not been able to resolve any citations for this has not been able to resolve any references for this publication.
berubahubah sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman, sehingga dapat disamakan dengan peraturan pelaksanaan dari suatu ketentuan adat. Perubahan terjadi karena menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan perkembangan pandangan pihak penguasa, seperti kata pepatah Sekali air bah, sekali tepian beralih. Dalam Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat jenis penguatan karakter seperti apa yang dapat membangun karakter siswa berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif di lapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, diskusi kelompok FGD serta dokumentasi. Selain itu, data disajikan dengan menggunakan pendekatan deskriptif, dalam bentuk kata-kata, tulisan, untuk memperjelas data yang dikumpulkan dan dianalisis. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa penguatan pendidikan karakter melalui pendidikan Agama Islam di SMP N 3 Bandar Lampung dibagi menjadi 3 bidang PPK berbasis kelas, PPK berbasis sekolah, PPK berbasis masyarakat itu bisa dikatakan baik dan tidak. PPK berbasis kelas sudah dilakukan dengan baik di SMP 3 Bandar Lampung karena setiap tahapan-tahapan telah dilakukan dengan baik. Tahapan-tahapan tersebut termasuk mengintegrasikan PPK ke dalam program, PPK melalui manajemen kelas, PPK melalui pilihan dan penggunaan metode pembelajaran tematik, PPK oleh gerakan literatur, PPK melalui bimbingan dan konsling. Dari kelima tahap implementasi ini, dapat dikatakan bahwa itu maksimal dan dilaksanakan dengan baik. Bidang berikutnya adalah budaya sekolah berdasarkan PPK. Dalam budaya sekolah, banyak nilai inti PPK yang diterapkan. PPK berdasarkan budaya sekolah dalam implementasinya berjalan dengan baik. Kondisi sosial-budaya di SMP N 3 Bandar Lampung sangat mudah diterapkan, untuk berbagai jenis nilai-nilai luhur, sehingga contoh-contoh pendidikan dapat dengan mudah diintegrasikan dengan siswa. PPK berbasis masyarakat dalam implementasinya di SMP N 3, Bandar Lampung belum bekerja sesuai dengan konsep PPK itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan ruang lingkup implementasinya. Namun, beberapa hal dapat diimplementasikan, termasuk hubungan sosial antara komite sekolah dan orang tua sebagai aktor kunci dalam pendidikan. Ada Kolaborasi yang masih terbatas, yaitu komunitas ulama dan guru ngaji. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa di antara tiga bidang PPK yang belum diimplementasikan dengan benar, adalah PPK berbasis masyarakat. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 83 PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMPN 3 BANDAR LAMPUNG Siti Zulaikah Sitizulaikah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Indonesia Abstract The purpose of this study is to see what kind of character reinforcement can build student character based on Islamic values. This research uses descriptive qualitative research in the field by using observation, interview, group discussion FGD data collection techniques and documentation. In addition, data is presented using a descriptive approach, in the form of words, writing, to clarify the data collected and analyzed. The results of the study show that strengthening character education through Islamic education in SMP N 3 Bandar Lampung is divided into 3 fields class-based KDP, school-based KDP, community-based KDP can be said to be good and not. Class-based KDP has been done well at SMP 3 Bandar Lampung because each stage has been done well. These stages include integrating KDP into the program, KDP through classroom management, KDP through the choice and use of thematic learning methods, KDP by the literature movement, KDP through guidance and counseling. Of the five stages of implementation, it can be said that it is maximized and implemented well. The next field is school culture based on KDP. In school culture, many core KDP values are applied. KDP based on school culture in its implementation went well. The socio-cultural conditions in SMP N 3 Bandar Lampung are very easy to implement, for various types of noble values, so that examples of education can be easily integrated with students. Community-based KDP in its implementation in SMP N 3, Bandar Lampung has not worked in accordance with the KDP concept itself. This is due to the limited scope of its implementation. However, some things can be implemented, including social relations between school committees and parents as key actors in education. There is still limited collaboration, namely the ulama community and the teacher of the Koran. Therefore it can be concluded that among the three KDP fields that have not been properly implemented, it is community based KDP Key Words Character Education and Islamic Education Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat jenis penguatan karakter seperti apa yang dapat membangun karakter siswa berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif di lapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, diskusi kelompok FGD serta dokumentasi. Selain itu, data disajikan dengan menggunakan pendekatan deskriptif, dalam bentuk kata-kata, tulisan, untuk memperjelas data yang dikumpulkan dan dianalisis. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa penguatan pendidikan karakter melalui pendidikan Agama Islam di SMP N 3 Bandar Lampung dibagi menjadi 3 bidang PPK berbasis kelas, PPK berbasis sekolah, PPK berbasis masyarakat itu bisa dikatakan baik dan tidak. PPK berbasis kelas sudah dilakukan dengan baik di SMP 3 Bandar Lampung karena setiap tahapan-tahapan telah dilakukan dengan baik. Tahapan-tahapan tersebut termasuk mengintegrasikan PPK ke dalam program, PPK melalui manajemen kelas, PPK melalui pilihan dan penggunaan metode pembelajaran tematik, PPK oleh gerakan literatur, PPK melalui bimbingan dan konsling. Dari kelima tahap implementasi ini, dapat dikatakan bahwa itu maksimal dan dilaksanakan dengan baik. Bidang berikutnya adalah budaya sekolah berdasarkan PPK. Dalam budaya sekolah, banyak nilai inti PPK yang diterapkan. PPK berdasarkan budaya sekolah dalam implementasinya berjalan dengan baik. Kondisi sosial-budaya di SMP N 3 Bandar Lampung sangat mudah diterapkan, untuk berbagai jenis nilai-nilai Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 84 luhur, sehingga contoh-contoh pendidikan dapat dengan mudah diintegrasikan dengan siswa. PPK berbasis masyarakat dalam implementasinya di SMP N 3, Bandar Lampung belum bekerja sesuai dengan konsep PPK itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan ruang lingkup implementasinya. Namun, beberapa hal dapat diimplementasikan, termasuk hubungan sosial antara komite sekolah dan orang tua sebagai aktor kunci dalam pendidikan. Ada Kolaborasi yang masih terbatas, yaitu komunitas ulama dan guru ngaji. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa di antara tiga bidang PPK yang belum diimplementasikan dengan benar, adalah PPK berbasis masyarakat. Kata Kunci Penguatan Pendidikan Karakter dan Pendidikan Agama Islam PENDAHULUAN Saat ini Indonesia sedang dihadapkan pada permasalahan melemahnya karakter bangsa.Anwar and Salim 2018 Karakter mulia, kesopanan dan religiusitas yang dipertahankan dan menjadi budaya Indonesia selama ini terasa asing dan jarang ditemukan tengah-tengah masyarakat.Ainiyah 2013 Dalam perkembangannya, pembentukan karakter pada generasi penerus bangsa sudah diupayakan dengan berbagai bentuk dan usaha, namun hingga saat ini belum terlaksana dengan optimal.Anam 2014 Karakter merupakan suatu ciri khas yang membedakan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Karakter adalah hal dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Pada masa sekarang, banyak kasus kemerosotan karakter yang terjadi di Indonesia. Salah saatunya adalah krisis dalam dunia pendidikan. Banyak peserta didik yang sering membolos, menjamurnya budaya menyontek, kasus tawuran antar pelajar, dan sebagainya. Hal tersebut dikarenakan kurangnya penanaman karakter sejak dini yang dapat dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.Wahyu Suryanti and Dwi Widayanti 2018. Dunia pendidikan yang secara filosofis dipandang dan diharapkan sebagai alat atau wadah untuk mencerdaskan dan membentuk watak manusia agar lebih baik humanisasi, sudah mulai bergeser. Hal tersebut terjadi salah satunya disebabkan kurang siapnya dunia pendidikan untuk mengikuti perkembangan zaman yang begitu cepat. Padahal pendidikan seharusnya menjadi alternatif untuk mengatasi dan mencegah krisis karakter bangsa. Oleh sebab itu, diperlukan suatu cara agar pendidikan dapat memperlihatkan tajinya dalam peransertanya membenahi jatidiri bangsa. Saah satu cara yang dilaksanakan dalam beberapa tahun ini yaitu dengan pengembangan pendidikan karakter.Dahliyana 2017. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah memberlakukan pendidikan karakter di semua tingkat dunia pendidikan formal di Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 85 Indonesia. Pendidikan Karakter adalah upaya mendidik anak supaya mereka dapat membuat keputusan dan mempraktikan secara bijaksana dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat berkontribusi secara positif terhadap lingkungan mereka Yetri 2017 yangg mengarah pada pencapaian dalam pembentukan karakterr dan akhlak mulia siswa secara utuh, terintegrasi dan seimbang, sesuai dengan standarr kompetensi. Sekolah adalah salah satu tempat strategis dalam pembentukan karakter, selain keluarga dan masyarakat. Hal itulah yang mendasari perlu adanya program pendidikan karakter di sebuah sekolah, baik dalam kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler sekolah. Karakter bukan merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi nilai nilai karakter tersebut diintegrasikan dalam kurikulum, artinya menjadi penguat kurikulum yang sudah ada, yaitu dengan mengimplementasikan kurikulum yang sudah ada, yaitu dengan mengimplementasikannya dalam mata pelajaran dan dalam kegiatan sehari-hari peserta didik.Taqiudin Zarkasi 2018. Oleh sebab itu, perlu penanaman pendidikan karakter untuk setiap sekolah dengan berbagai kegiatan yang bisa menunjang penanaman karakter yang baik Hamid 2017. Diharapkan melalui pendidikan karakter siswa SMP dapat secara mandiri meningkatkan dan menggunakan ilmu pengetahuan mereka, untuk mempelajari dan menginternalisasi dan mempersonalisasikan nilai-nilaiikarakter dan nilai-nilai moral yang mulia sehingga mereka memanifestasikan dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan Karakter di tingkat institusional bertujuan untuk membentuk budaya sekolah yang dipraktikkan oleh seluruh anggota sekolah. Adapun yang dimkasud dengan Budaya sekolah adalah karakteristik, watak, dan citra sekolah yang dipandang di mata masyarakat luas.Kebudayaan 2010 Pada pendidikan formal di Kota Bandar Lampung, pendidikan karakter yang diterapkan lebih mengarah pada nilai agama, terutama dalam pendidikan dasar sembilan tahun, terutama di tingkat sekolah dasar dan menengah pertama. Ini dapat dilihat di banyak sekolah negeri dan swasta, yang menanamkan nilai-nilai agama di lingkungan sekolah. Seperti kegiatan sholat Sunah Dhuha sebelum belajar, membaca al-Qur'an, peserta didik perempuang diwajibkan menggunakan jilbab serta pengimpelmentasian kegiata-kegiatan agama lainnya di lingkungan sekolah. Demikian pula, Sekolah Menengah Pertama 3 Bandar Lampung, sudah mengimplementasikan penguatan pendidikan karakter berdasarkan nilai-nilai agama. Mayoritas siswa SMP Negeri 3 Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 86 Bandar Lampung adalah Muslim, sehingga kegiatan sekolah harus lebih mengutamakan nilai-nilai agama islam. Mengingat hasil studi di atas, masih dibutuhan untuk berpikir secara mendalam tentang upaya sekolah untuk mencapai penguatan karakter berbasis Pendidikan Islam. Gerakan pendidikan di sekolah untuk memperkuat karakter melalui proses pelatihan, menstransformasikan, menstransmisikan, dan mengembangkan kemampuan siswa dengan cara menerapkan 1 nilai agama; 2 nasionalis; 3 mandiri; 4 gotong royong; dan 5 integritas merupakan suatu cara penguatan pendidikan karakter di sekolah. Program Penguatan Pendidikan Karakter PPK adalah program yang sangat penting untuk dilaksanakan dengan tujuan memperkuat pendidikan karakter yang dilaksanakan. Selain lingkungan keluarga dan sosial, lingkungan sekolah merupakan institusi nomer dua yang berperan penting dalam pembentukan pribadi anak. Penguatan Pendidikan Karakter merupakan kelanjutan dan revitalisasi gerakan nasional pendidikan karakter yang telah dimulai pada 2010. Penguatan pendidikan karakter character education atau pendidikan moral moral education dalam masa ini perlu diimplementasikan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda negeri ini. Krisis tersebut antara lain adalah pergaulan bebas yang semakin meningkat, seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang narkoba dan pornografi. Selain dua kasus tersebut, saat ini juga marak terjadi kekerasan terhadap anak dan remaja, pencurian, kebiasaan menyontek, serta tawuran yang sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.Atik Maisaro, Bambang Budi Wiyono 2018 Hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut di SMP Negeri 3 Bandar Lampung untuk melihat bagaimana pelaksanaa penguatan pendidikan karakter yang dilaksanakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan jenis penguatan karakter apa yang diberikan kepada siswa berdasarkan nilai-nilai agama. Dalam penelitian Peneliti lebih fokus terhadap Pendidikan Agama Islam sebagai sarana pembangunan karakter, sebab dalam pendidikan karakter lebih menekankan niai-nilai agama. Berdasarkan pada studi penelitian terdahulu yang dilakukan oleh EnyWahyu Suryatnti dan Febi Dwi Widayanti dengan judul Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Religius. Pada penelitian terdahulu menyatakan bahwa sudah banyak kasus kemerosotan karakter dalam dunia pendidikan, oleh sebab itu maka dibutuhkan suatu penanaman karakter sejak dini baik dilingkungan keluarga maupun Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 87 dilingkungan sekolah. Penelitian terdauhulu merupakan jenis penelitian kualitatif yang memiliki tujuan untuk mengetahui penerapan pendidikan karakter berbasis religius. Dan hasil temuan dari penelitian terdahulu adalah ada bentuk-bentuk penerapan pendidikan karakter berbasis religius di LPI Kota Malang. Adapun perbedaan pada penelitian penulis dengan penelitian terdahulu adalah penelitian terdahulu fokus pada penguatan pendidikan karakter berbasis religius, sedangkan fokus penelitian penulis adalah lebih fokus terhadap pendidikan islam sebagai upaya pembangunan karakter, sebab dalam pendidikan karakter lebih ditekakan pada nilai-nilai agama. METODE PENELITIAN Penelitian tersebut merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, diskusi kelompok FGD dan dokumentasi. Selain itu, dalam penyajian data menggunakan pendekatan deskriptif, dalam bentuk kata-kata, tulisan, untuk memperjelas data yang dikumpulkan dan dianalisis. Dalam penelitian ini, penulis meneliti dan menganalisia dari penguatan pendidikan karakter melalui pendidikan agama Islam di Sekolah Negeri Bandar Lampung 3. Data primer adalah data yang diperoleh oleh peneliti dan sumber utama Suryabrata, 2003. Diperoleh melalui pengamatan kegaiatan-kegiatan sekolah dan wawancara dengan, kepala sekolah siswa dan pihak lain yang tinggal di sekolah dan orang tua dari siswa. Data sekunder adalah data pendukung yang dapat berupa dokumen atau wawancara. Data sekunder berupa dokumen, profil SMP Negeri 3 Bandar Lampung dan rujukannya, serta hasil narasumber terkait dengan data pendukung lainnya. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara dengan reponden, yaitu, guru Pendidikan Agama Islam, guru Bimbingan dan Konsling, kepala sekolah, waka siswa, waka kurikulum, dan staf perpustakaan. Alat pengumpulan data berikutnya adalah teknik observasi yang melibatkan mengamati kegiatan pembelajaran guru PAI, kegiatan pendidikan dari awal hingga pulang sekolah, dan kegiatan ekstrakurikuler rohis. Alat pengumpulan data berikutnya adalah mendokumentasikan dokumentasi yang digunakan untuk mengumpulkan dokumen profil sekolah, RPP dan Silabus mata pelajaran PAI. Dan yang terakhir, metode yang Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 88 digunakan dalam pengambilan data dengan teknik FGD. FGD digunakan untuk mengambil data. Selanjutnya setelah data terkumpul maka data di analisis. Analisis data adalah upaya secara sistematis mengatur catatan yang diperoleh dan hasil wawancara, pengamatan dan data terkait lainnya untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti, dengan memilih yang penting dan yang akan dipelajari, dan yang bisa dikomunikasikan kepada orang lain. Analisis dimulai dengan memeriksa semua data dan sumber yang tersedia, termasuk wawancara, observasi lapangan atau pengamatan, rekaman dan dokumen lainnya.Moleong 2005 HASIL DAN PEMBAHASANN Dalam Penguatan pendidikan karakter melalui Pendidikan AgamaaIslam terdapat tiga jalur, yang pertama memperkuat pendidikan karakter berbasis kelas. Berdasarkan data yang diperoleh, SMP 3 Bandar Lampung untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam menggunakan program K13 di mana program ini merupakan persyaratan dengan memasukkan nilai-nilai karakter. Demikian juga, guru Pendidikan Agama Islam membuat RPP dengan mengggunakan kurikulum 2013. Penguatan ini terdiri dari mengintegrasikan K 13 ke dalam kegiatan pembelajaran PAI, baik intra-kurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler. Nilai-nilai dan pesan-pesan dalam materi pembelajaran diurutkan dan dipilih dan guru menganalisis keterampilan dasar yang dapat dimasukkan dalam rencana pelajaran. Misalnya, RPP kelas IX disiapkan oleh guru PAI dengan tema toleransi pada mata pelajaran PAI. Bahan belajarnya adalah ayat 13 dari Sura Al-Hujurat tentang Toleransi dan menghormari terhadap Perbedaan. Dalam RPP, ada empat keterampilan utama, yaitu K11, K12, K13 dan K14 Semua kompetensi didasarkan pada nilai-nilai karakter dari materi pembelajaran. Rencana Pembelajaran yang dikembangkan oleh pendidik tentang topik-topik seperti toleransi dan menghormati terhadap keberagaman adalah bentuk integrasi nilai-nilai penguatan pendidikan karakter, yaitu agama dengan nilai turunan meliputi toleransi dan beriman bertaqwa. Ada dua nilai karakter yang ditanamakan oleh guru dalam sikap toleransi beragama, yaitu toleransi terhadap agama yang sama dan terhadap yang berbeda agama. Peserta didik yang berbeda agama diberi pelajaran agar tidak menghina dan menertawakan agama lain. Peserta didik didorong agar saling Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 89 mengasihi sebagai anak-anak bangsa yang setara, sebagai saudara dan saudari di negara yang sama. Sementara sikap toleransi sesama agama, siswa dididik untuk saling mencintai karena setiap Muslim adalah saudara. Seperti hadis Nabi SAW bahwa persaudaraan umat Islam terlihat seperti bangunan ketika seorang anggota sakit, orang Muslim lainnya merasakan perasaan yang sama. Dengan demikian, tergerak hati dan tubuh untuk ikut merasakan dan membantu sehingga tercipta rasa memiliki dan kasih sayang. Selain itu, dalam pengembangan rencana pembelajaran dengan materi toleransi dan menghormati perbedaan, penekanannya adalah pada peningkatan karakter dengan menunjukkan pilihan metode pembelajaran dan sumber pembelajaran. Di sini, guru memilih untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran kelompok dengan jumlah siswa 2-5 orang dengan ide-ide untuk memotivasi diri di antara anggotanya sehingga mereka saling membantu untuk mencapai tujuan belajar yang maksimal. Model ini menekankan sikap kerja sama yang baik antar siswa. Dengan kolaborasi ini, akan memupuk kerja sama dan saling membantu, serta fakta bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri dan pasti membutuhkan orang lain. Untuk mendukung pengimplementasian model ini, guru memilih untuk menggunakan metode tanya jawab, wawancara, diskusi, dan bermaina peran. Model tanya jawab terdiri dari penyampaian pesan pendidikan dengan mengajukan pertanyaan dan siswa memberikan jawaban atau sebaliknya, siswa memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan guru menjawab pertanyaan. Model wawancara adalah model untuk memperoleh informasi dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada siswa. Model diskusi adalah sarana untuk menyajikan materi pelajaran ketika guru memberi siswa kelompok siswa kesempatan untuk mengadakan pembicaraan ilmiah untuk mengumpulkan pendapat, menarik kesimpulan atau mengatur berbagai solusi untuk memecahkan suatu masalah. Metode role play adalah suatu bentuk model pembelajaran dari game edukasi yang digunakan untuk menjelaskan perasaan, sikap, perilaku dan nilai-nilai, dalam rangka menghargai perasaan, pandangan dan cara berpikir orang lain. Kerja sama, solidaritas, gotong royong dan keluargaan adalah nilai-nilai yang memperkuat karakter yang diwujudkan. Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 90 Selain itu, RPP juga menjelaskan kegiatan pembelajaran dasar yang menggabungkan nilai-nilai pembangunan karakter. Misalnya, kegiatan literasi terdiri dari melihat, menonton, membaca, dan bermain dalam RPP untuk menumbuhkan sikap mandiri siswa. Siswa harus menjadi pembelajar dan siswa yang disiplin, yang juga diterapkan oleh guru sehingga mereka dapat berpikir kritis dengan mengajukan pertanyaan dan menjadi kreatif dalam menyimpulkan poin-poin penting yang muncul dalam kegiatan pembelajaran. Berpikir kritis memiliki keuntungan menjadi siswa yang tidak memiliki pikiran ceroboh untuk membuat keputusan dan menemukan solusi untuk masalah. Mereka juga dilatih dengan bekerja sama melalui diskusi. Selama diskusi, siswa juga dilatih dalam kemandirian dan kepercayaan diri untuk meneliti dan mengumpulkan informasi dan kemudian menyajikan kembali materi pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan pengetahuan dan keberanian mereka dengan pertukaran informasi antara masing-masing kelompok. Dalam mengevaluasi, guru melakukan secara otentik berdasarkan kurikulum 2013, yaitu penilaian sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh siswa, sehingga menghasilkan penilaian yang objektif. Penilaian autentik adalah ukuran yang mewakili semua nilai sebenarnya yang melekat pada objek yang dievaluasi dalam kaitannya dengan program 2013, objek evaluasi tidak lain adalah siswa. Penilaian otentik tidak hanya mengukur apa yang diketahui siswa, tetapi lebih berfokus pada apa yang dapat dilakukan oleh siswa. Kurikulum13 lebih berfokus pada penilaian sikap. Penilaian sikap dilakukan karena penilaian sikap adalah kegiatan yang bertujuan untuk memahami perilaku peserta didik selama pembelajaran dan pembelajaran eksternal, yang bertujuan untuk menumbuhkan perilaku yang konsisten dengan karakteristik dalam konteks pelatihan karakter siswa. Upaya untuk meningkatkan dan menumbuhkan sikap yang diharapkan sesuai dengan guru KI-1 dan KI-2 harus memungkinkan untuk pembiasaan dan pengembangan berkelanjutan dalam pembelajaran dan pembelajaran eksternal. Untuk mengetahui kemajuan guru harus melakukan penilaian. Kedua, budaya sekolah. Sekolah telah mengembangkan praktik-praktik baik yang memperkuat nilai religiusitas. Memperkuat nilai pendidikan karakter di sekolah terkait dengan pembiasaan atau budaya di unit pengajaran itu sendiri. Menurut data Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 91 yang diperoleh oleh peneliti, salah satu budaya dari Sekolah Menengah Pertama 3 Bandar lampung adalah budaya berjabat tangan dan menyapa guru, karena budaya 3S dibudidayakan dengan sapa, salam, senyum. Lima belas menit sebelum masuk kelas diperharuskan untuk membaca surat dalam Al-Quran dan terjemahannya. Kemudian menyanyikan lagu-lagu Indonesia dan membaca Pancasila. Saat memasuki jam dhuhur, itu wajib untuk sholat dzuhur berjamaah. Dan ketika mereka hendak kembali ke rumah, mereka harus berdoa dilajutkan menyanyikan lagu-lagu wajib dan lagu-lagu daerah. Kebersihan lingkungan juga berlaku untuk Sekolah Menengah Pertama 3 Bandar Lampung dengan menyelenggarakan hari Jumat yang bersih sehingga siswa dapat belajar untuk bekerja sama. Program sekolah juga diselenggarakan, termasuk PHBI, layanan sosial dan buka bersama. Yang sangat diterapkan sekali di SMP 3 Bandar Lampung adalah kewajiban untuk mengenakan jilbab bagi siswi Muslim. Dan ketiga, memperkuat pendidikan karakter berbasis masyarakat. Dalam hal ini, sekolah tidak banyak berkolaborasi dengan institusi lain. Tetapi dengan budaya nilai-nilai utama religiusitas melalui pendidikan agama Islam, sekolah bekerja sama dengan komunitas ulama. Ini terjadi ketika sekolah mengadakan PHBI, Isro 'dan Mi'roj, Maulid Nabi SAW, Halal-bi Halal, dll. Sekolah mengundang Da'i dari luar untuk mengisi tausiah dalam kegiatan PHBI. Kemudian, dalam kegiatan ekstra kurikuler Rohis, sekolah juga mengundang guru ngaji untuk melatih para siswa agar lancar dalam membaca Al-Quran. Demikian juga, sekolah menggunakan guru yang kompeten untuk melatih siswa untuk membentuk kelompok marhaban. KESIMPULAN DAN SARAN Penguatan pendidikan karakter Di SMP Negeri 3 Bandar dilakukan melalui pendidikan agama Islam. Penguatan pendidikan karakter melalui pendidikan agama Islam ini meliputi tiga jalur dan basis, yaitu berbasis kelas dengan mengintegrasikan K 13 ke dalam kegiatan pembelajaran PAI, baik intra kurikuler, kokurikuler, dan ekstra kurikuler. Kedua, berbasis budaya sekolah dengan cara membudayakan praktik-praktik yang menguatkan nilai religiusitas. Dan ketiga, berbasis masyarakat, dalam hal ini sekolah masih kurang melibatkan lembaga-lembaga keagamaan untuk bekerjasama dalam mendukung pendidikan karakter. Interaksi kepada orang tua siswa juga masih Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 92 kurang. Begitu juga gerakan literasi keagamaan di lingkungan sekolah dan di luar sekolah juga masih kurang. Adapun saran dalam peneliitian ini ialah sebagai berikut pertama, dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam harus terus mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai utama, baik dari sisi religiusitas, kemandirian, nasionalisme, gotong royong dan integritas, agar terjadi suatu penguatan dalam pendidikan karakter. Karena dengan pendidikan karakter ini, siswa tidak hanya dituntut untuk memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam, tetapi diharapkan memiliki karakter yang sesuai dengan nilai-nilaii kehidupan sehari-hari. Terkhusus untuk SMP Negeri 3 Bandar Lampung, untuk lebih fokus pada penguatannpendidikan karakter berbasis masyarakat. Kedua, sekolah harus lebihg menekankan nilai agama untuk lebih memperkaya literatur Islam serta meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan keaagamaan. Dan ketiga, perlu dilaksanakan penelitiann yang lebih mendalam pada manajemenn penguatan pendidikan karakter. DAFTAR PUSTAKA Ainiyah, Nur. 2013. “Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam.” Al-Ulum 13 1 25–38. Anam, Much. Arif Saiful. 2014. “Pendidikan Karakter Upaya Membentuk Generasi Berkesadran Moral” 02 02 390–426. Anwar, Syaiful, and Agus Salim. 2018. “PENDIDIKAN ISLAM DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA DI ERA MILENIAL” 9 2 233–47. Atik Maisaro, Bambang Budi Wiyono, Imron Arifin. 2018. “Manajement Program Penguatan Pendidikan Karakter Di Sekolah Dasar.” Jurnal Adminitrasi Dan Manajemen Pendidikan 1 3 302–12. Dahliyana, Asep. 2017. “Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler Di Sekolah.” Jurnal Sosioreligi 15 1. 54-64 Hamid, A. 2017. “Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren Pelajar Dan Santri Dalam Era IT & Cyber Culture.” In , 28. Surabaya IMTIYAZ. Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan. 2010. “Pembinaan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Pertama.” In , 9. Jakarta Kemendinas. Moleong, Lexy J. 2005. “Metodologi Penelitian Kualitatif.” In , 247. Bandung PT Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 93 Remaja Rosdakarya. Taqiudin Zarkasi, Al Kauseri. 2018. “Penguatan Pendidikan Karakter Di Madrasah Perpres N0 68 Tahun 2017” I 3 1–18. Wahyu Suryanti, Eny, and Febi Dwi Widayanti. 2018. “PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS RELIGIUS,” no. September 254. ... This is so that his attitude and behavior do not go outside the boundaries of Islamic values, all of which will be faced by Muslims, because of the socio-cultural changes that are increasingly developing in peoples lives Yasmin & Sohail, 2018. Therefore, with the existence of an educational cultural approach, it is hoped that there will be an awareness and understanding of how we can consolidate and sort out every positive side contained in a culture that has a strong influence on the religion and socio-culture of each nations children Zulaikhah, 2019. With the existence of Islamic religious education, it is hoped that it will be able to deliver every human being related to God Hablum mina Allah. ...Firman MansirReligious and socio-cultural education is inseparable in peoples lives. Educational cultural proximity to religion and socio-cultural development become two interrelated and mutually needy sides in solving social problems of society. This research shows that there is a relationship between religious and cultural education that is interrelated, giving birth to changes and responding to the rapid development of the times, thus ushering in a reality of religious life that is full of educational values without losing the local culture. The success of a nation can be seen and measured by the younger generation of its nation in the present and the future. Regarding religious education with culture, it is hoped that there will be the best results from a new generation and have potential with good quality, who can develop the knowledge they have and apply it well in the fabric of education, society, and culture. Thus, religious and socio-cultural education provides answers to various problems in the social development of budaya to religion in the context of educational institutions, be it in schools or madrasas. Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya menjadi dua sisi yang saling terkait dan saling membutuhkan dalam memecahkan persoalan sosial masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan Agama Islam dan budaya yang saling berkaitan, dengan melahirkan perubahan serta merespon berkembangnya zaman yang semakin pesat, sehingga mengantarkan pada sebuah kenyataan kehidupan beragama yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan tanpa menghilangkan budaya setempat. Berhasilnya suatu bangsa dapat dilihat serta diukur dari generasi muda bangsanya pada masa kini serta pada masa yang akan datang. Dalam hubungannya Pendidikan Agama Islam dengan budaya, sangat diharapkan adanya hasil terbaik dari generasi yang baru dan memiliki potensi dengan kualitas yang baik, yang mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mengaplikasikannya dengan baik dalam jalinan pendidikan, sosial dan budaya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya memberi jawaban dari berbagai permasalahan dalam perkembangan sosial budaya terhadap agama dalam konteks lembaga pendidikan, baik itu di sekolah maupun ShofwanAchmad MunibThis study explores the values of social character education in Surah Al-Hujurat verses 11-13. This study uses the library research method by utilizing two commentary books classified as works of classical and contemporary interpretation, namely, the interpretation of Ibn Kathir and Al-Azhar. The results of this study found that Al-Hujurat verses 11-13 contain meaning in the form of teachings and social values as the basis for carrying out a humane society. Education and social values are stored in various prohibition states with many positive values. The ban consists of several behaviors not insulting fellow human beings, self-reproach and others, prejudice, spreading false news, looking for other people's faults, and various derived behaviors. Implementing all forms of prohibition has an orientation towards forming individual social character, which is the basis for carrying out social Uswatun HasanahRena SulistyaningrumThis study aims to explore the implementation of character education in building religious moderation in MA El-Bayan Majenang. By conducting this research, it is hoped that it can provide an overview of the character education practices carried out at MA El-Bayan Majenang. The author also hopes that this research can provide useful information about the implementation of character education in building religious moderation in the millennial generation at MA El-Bayan Majenang. The research method used is descriptive method with a qualitative approach. Data were collected through observation, interviews and documentation studies. Research participants included teachers, students, and school staff involved in implementing character education at MA El-Bayan Majenang. The results of the research show that character education is an important effort in educating children to be able to make wise decisions and apply them in everyday life. Implementation of character education at MA El-Bayan Majenang through religious activities has succeeded in growing and increasing students' sense of religiosity. In this context, the millennial generation at MA El-Bayan Majenang shows a positive level of religious moderation. Based on the results of this study, it can be concluded that character education is an important component in building religious moderation in the millennial generation at MA El-Bayan Majenang. The practice of character education through religious activities can make a positive contribution in forming strong and moderate religious attitudes in students. These findings provide a better understanding of the importance of character education in the context of building religious moderation in the millennial religious values as the basis for character education for the younger generation is important to do as an effort to overcome the polemic of moral degradation and identity crisis that overshadows students in the era of technological development. This study aims to describe the strengthening of religious values among the younger generation in Islamic educational institutions so that they are able to become models in other educational institutions, especially in terms of developing students' character. This research is a type of qualitative research with a literature study and uses an anthropological approach to religion that focuses more on human, cultural and religious aspects. The data analysis technique in this study was started by categorizing research articles related to the research topic, then, analyzed using an anthropological approach. The results of this study indicate that efforts to strengthen religious values as the basis for character education can be carried out by revitalizing institutional governance and orienting learning based on local cultural wisdom and contextual learning NurhayaniDeri WantoMoral degradation has occurred and has become a serious threat to world civilization, so it is a challenge that Islamic religious education must be able to solve. One of the efforts being made is strengthening and internalizing character education in the Islamic education curriculum. Character education is an inseparable part of the implementation of Islamic religious education. Thus character education can be internalized in the PAI curriculum and learning. This study aims to determine the efforts made by MIN 1 Lebong to improve the morals of the nation's children by internalizing character education in the PAI curriculum. This study uses a qualitative method with a field research approach. The result of the research is the design of the RPP design that includes the values of the nation's character and in the process always instills character education values such as religious, honest, tolerance, discipline, hard work, creative, independent, democratic, curiosity, enthusiasm. nationality, love for the homeland, appreciate achievements, friendly/communicative, love peace, love to read, care for the environment, care about social and responsibility. Apart from intra-curricular activities, character education is also applied to co-curricular and extra-curricular activities such as tahsin, khatil and muhadharah as well as PHBI, activities tahfizh and is currently faced with the problem of weakening character. Formation of character in the nation's next generation has been pursued with various forms and efforts, but until now it has not been implemented optimally. The purpose of this study is to describe the planning, implementation, and evaluation of the strengthening of character education programs in the millennial era through the learning process of PAI Islamic Religious Education and Civics Education Civics Education. This research uses a qualitative approach with descriptive methods. This research was conducted at the Islamic Middle School Khadijah Bagek Nyake East Lombok. Data collection uses observation, interviews, documentation, and questionnaires. The data analysis technique uses three activities, namely data reduction, data presentation and conclusion drawing. The results were obtained as follows a Learning planning in Khadijah Bagek Nyake Aikmel Islamic Middle School is well implemented, this is evidenced by the actions taken by the teacher in compiling the syllabus, lesson plans, teaching materials and evaluation instruments before learning begins; b The learning process is quite good because the learning material taught is integrated with character values; c Evaluation of learning conducted by the teacher of student learning outcomes is optimal. While the evaluation conducted by the principal of the teacher is not BahriTujuan penelitian. Pertama, untuk mengungkapkan mengapa pendekatan al-Qur’an penting dalam membina akhlak siswa melalui kegiatan keagamaan. Kedua, untuk mengungkapkan bagaimana implementasian pendekatan al-Qur’an dalam membina akhlak siswa di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Wathan Mengkuru. Ketiga, untuk mengungkapkan bagaimana hasil implementasi pendekatan Al-Qur’an dalam membina akhlak siswa di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Wathan Mengkuru. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Lokasi penelitian ini dilakukan di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Wathan Mengkuru. Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini, observasi, wawancara, dokumentasi. Tehnik menganalisis data dalam penelitian ini yakni analisis filosofis deskriptif, yaitu menguraikan serta memaparkan data dari hasil temuan-temuan yang peneliti peroleh memalaui obsevasi, wawancara, dan dokumentasi. Pengecekan keabsahan data dilakukan menggunakan uji kreadibilitas,uji transferability, uji dependability, uji konfirmability. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan al-Qur’an memiliki urgensi yang penting untuk diterapkan di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Wathan Mengkuru. Untuk membina akhlak siswa melalui kegiatan keagamaan yang dilakukan di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Wathan Elfa Nur IzzaM. Fajar Al AziziAbstrak Dewasa ini banyak keluarga yang kembali melirik Pondok Pesantren sebagai sarana pembinaan moral, karena para orang tua menilai bahwa Pondok mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan pendidikan kontemporer dengan proses pendidikan dan pengajarannya yang lebih terpadu sehingga mampu lebih efektif membentuk karakter yang tinggal di pondok pesantren diasumsikan akan mendapat pembinaan yang lebih mendalam dan terstruktur daripada siswa yang tidak tinggal di pondok. Penelitian ini berfungsi untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan karakter antara siswa yang tinggal di pesantren dan tidak di pesantren. Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan analisis komparasional, yaitu dengan cara membandingkan akhlak siswa berdasarkan perbedaan lingkungan tempat tinggal. Hasil penelitian ini yaitu siswa yang tinggal di pondok pesantren memiliki karakter yang lebih baik dalam pada kategori Akhlak kepada Alloh, Akhlak kepada diri sendiri, akhlak kepada sesama dan akhlak kepada lingkungan. Hasil t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan tentang karakter siswa yang tinggal di lingkungan keluarga dengan siswa yang tinggal di lingkungan pesantren. Kata Kunci Karakter, siswa yang tinggal di pesantren, siswa yang tinggal di rumah Abstract Nowadays, many families are turning their attention back to Islamic boarding schools as a means of moral development, because parents consider that Islamic boarding schools are able to answer various challenges and problems of contemporary education with a more integrated education and teaching process so that they can be more effective. It is assumed that students who live in Islamic boarding schools will receive more in-depth and structured guidance than students who do not live in Islamic boarding schools. This study serves to determine whether there are differences in character between students who live in Islamic boarding schools and those who do not. The research method used in this research is descriptive analysis method with a quantitative approach. This study uses comparative analysis, namely by comparing the morals of students based on differences in the environment they live in. The results of this study are students who live in Islamic boarding schools have better character in the categories of morality to Allah, morality to oneself, morality to others and morality to the environment. The results of the t-test showed that there were significant differences in the character of students who lived in a family environment with students who lived in an Islamic boarding school environment. Keywords Character, students who live in boarding schools, students who live at homeMelinda PridayaniAhmad RivauziThis study aims to determine the supporting and inhibiting factors for the implementation of a strengthening program of religious character education for students in SMP Negeri 13 Padang which is accredited A in the city of Padang, West Sumatra. The research uses qualitative methods through a case study approach. Research data sources are taken from fourteen informants consisting of school principals, Islamic Religious Education teachers, and students of class Research data were taken through in-depth interviews with all informants. The results showed that the implementation of the program for strengthening the religious character education of students at SMP Negeri 13 Padang had four supporting factors including the existence of a student character strengthening book, the desire of students, supporting religious activities, and adequate facilities and infrastructure. While the five inhibiting factors include environment, peers, and cellphones. self-awareness of students themselves and lack of teacher FebriyaniFasha Putri AudinaTika Yulia Damayanti Hisny FajrussalamEducational institutions are said to be advanced if they are successful in both academic and non-academic fields. Success in this non-academic field includes the attitudes and behavior of students who are good and have noble character. Awareness of how important character education is for the next generation of this nation is growing and putting hope in its development in the field of education. The purpose of this research is of course to find out and be able to implement more about character education from an Islamic perspective. By using qualitative research methods, the researchers obtained results regarding the Islamic perspective in character education and its implementation at the elementary school level. The researchers obtained the results from the questionnaire and then processed the data through descriptive-qualitative analysis. By understanding the various opinions the researchers succeeded in getting the results of the Implementation of Islam in Character Education in Elementary Schools. Asep DahliyanaStrengthening Character Education through Extra-Curricular Activities in School. This study aims are to explore and assess information about the development of habituation of character education through the extracurricular activities at school which was held in SMA Negeri 3 Bandung. This research approach is qualitative by the case study method, to reveal and understand the realities that occur intensive and deeply, that related with the phenomenon above. Techniques of collection of data and information through interviews, observation of participant and non-participants, study of documentation, and literature studies. The findings of this study are, the relations of extracurricular activities with the character education is as implementation between knowledge gained in class with the attitude and skills that must be developed in order to have the students form the values of noble character who has become a culture within the school social life. Sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengkaji informasi tentang pengembangan habituasi pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang dilaksanakan di SMA Negeri 3 Bandung. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dengan metode studi kasus, untuk mengungkapkan dan memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi secara intensif dan mendalam yang berkenaan dengan fenomena di atas. Teknik pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui wawancara, observasi partisipan dan non-partisipan, studi dokumentasi, dan studi literatur. Temuan penelitian ini adalah, hubungan kegiatan ekstrakurikuler dengan pendidikan karakter yaitu sebagai pengejawantahan antara pengetahuan yang diperoleh di kelas dengan sikap dan keterampilan yang harus dikembangkan agar dapat dimiliki siswa berupa nilai-nilai budi pekerti luhur yang telah menjadi budaya dalam kehidupan sosial sekolah tersebut. Kata kunci Pendidikan Karakter, Ekstrakurikuler, Habituasi, dan Sekolah. Setelah era reformasi datang di bumi pertiwi Indonesia, bangsa ini semakin suka saling membunuh dan semakin bekembangnya kasus school bullying Mu'in, 2011; Khasbullah, 2013. Dunia pendidikan yang secara filosofis dipandang dan diharapkan sebagai alat atau wadah untuk mencerdaskan dan membentuk watak manusia agar lebih baik humanisasi, sudah mulai bergeser. Hal tersebut terjadi salah satunya disebabkan kurang siapnya dunia pendidikan untuk mengikuti perkembangan zaman yang begituMuch. Arif Saiful Anamp> The post-reform moral crisis shows that the achievement of moral competence processed at school has not been able to result the optimal output to the moral awareness generation development of nation. This condition such that begun from verbalistic growth culture from the learning process which inclines to only teach moral education as the textual limitation. That phenomenon and fact cause many sides conclude that the importance of character education implementation intensively as the essence of moral awareness generation development. This perspective places moral as the main environment aspect which decides generation characterization. Therefore, moral awareness should be learned intently and progressed or developed by character education applicatively. When the first time of implementation of character education in the school environment, it needs to do by the moral conditioning then continue to the moral training. The Design Character education like this has a function as systemic moral ideas in progressing the generation moral awareness which is able to supply young generation with moral intelligence competence and character. .
  • 10i1f7p890.pages.dev/193
  • 10i1f7p890.pages.dev/371
  • 10i1f7p890.pages.dev/160
  • 10i1f7p890.pages.dev/636
  • 10i1f7p890.pages.dev/665
  • 10i1f7p890.pages.dev/684
  • 10i1f7p890.pages.dev/618
  • 10i1f7p890.pages.dev/151
  • 10i1f7p890.pages.dev/449
  • 10i1f7p890.pages.dev/967
  • 10i1f7p890.pages.dev/757
  • 10i1f7p890.pages.dev/544
  • 10i1f7p890.pages.dev/187
  • 10i1f7p890.pages.dev/747
  • 10i1f7p890.pages.dev/595
  • pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya