Koordinasiharus menggunakan pendekatan multi instansional, dengan wujud saling memberikan informasi yan relevan untuk menghindarkan saling tumpang tindih tugas yang satu dengan tugas yang lain. Kalau perencanaan sasaran sudah ada maka perlu di ingat adalah harus memegang etika dan mengenali lingkungan sosial budaya, latar belakang, adatThis study explains the position of Pancasila Education and Islamic Religious Education in the context of religious life. There are several forms of the dynamics of religious life such as conflicts that usually occur in students, especially in various Indonesian educational institutions. Conflicts that often occur in schools are disputes between students, power struggles, small problems that are often brought up and teenage love problems. This phase students have begun to recognize feelings of love between the opposite sex. The results show that the position of Pancasila education and Islamic Religious Education is very strategic and occupies. The forefront because they are the mainstream in counteracting negative things for religious life. So, they play an active role in overcoming various violence and conflicts that occur in educational institutions. Thus, Pancasila education and Islamic Education make efforts to guide future generations of future candidates so that they can have a good personality and are certainly. In accordance with the norms of set by Islam itself through a strong religious understanding so that there are no conflicts between them. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jayapangus Press ISSN 2615-0913 E Vol. 4 No. 3 2021 Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam Dalam Konteks Kehidupan Beragama Firman Mansir1, Lia Kian2 1Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2Perbanas Institute Jakarta 1firmanmansir Islamic Education, Pancasila, Religious Life This study explains the position of Pancasila Education and Islamic Religious Education in the context of religious life. There are several forms of the dynamics of religious life such as conflicts that usually occur in students, especially in various Indonesian educational institutions. Conflicts that often occur in schools are disputes between students, power struggles, small problems that are often brought up and teenage love problems. This phase students have begun to recognize feelings of love between the opposite sex. The results show that the position of Pancasila education and Islamic Religious Education is very strategic and occupies. The forefront because they are the mainstream in counteracting negative things for religious life. So, they play an active role in overcoming various violence and conflicts that occur in educational institutions. Thus, Pancasila education and Islamic Education make efforts to guide future generations of future candidates so that they can have a good personality and are certainly. In accordance with the norms of set by Islam itself through a strong religious understanding so that there are no conflicts between them. Pendidikan Agama Islam, Pancasila, Kehidupan Beragama Penelitian ini menjelaskan mengenai posisi Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam dalam konteks kehidupan beragama. Terdapat beberapa bentuk dari dinamika kehidupan beragama seperti konflik yang biasa terjadi pada siswa terutama terjadi diberbagai lembaga pendidikan Indonesia. Konflik yang sering terjadi di sekolah yaitu perselisihan antar siswa, pertentangan adu kekuatan, masalah kecil yang sering kali dibesarkan dan masalah percintaan remaja yang dimana pada fase ini para siswa sudah mulai mengenal perasaan suka antar lawan jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam sangat strategis dan menempati garda terdepan karena keduanya sebagai arus utama dalam menangkal hal-hal negatif bagi kehidupan beragama, sehingga ia berperan aktif untuk menanggulangi berbagai kekerasan dan konflik yang terjadi di lembaga pendidikan. Dengan demikian, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam melalukan upaya untuk membimbing calon generasi penerus di masa depan agar dapat memiliki kepribadian baik dan pastinya sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan oleh agama Islam itu sendiri melalui pemahaman agama yang kuat agar tidak terjadi berbagai konflik diantara mereka. Pendahuluan Pendidikan berasal dari kata didik yang berarti memelihara atau juga melatih, Abuddin Nata, 2010. Diartikan dari melatih dan memilihara berarti memerlukan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai perantara dalam melakukan kegiatan ini, Mansir, 2020. Seperti misalnya dalam ruang lingkup lembaga pendidikan, dalam mendidik seseorang siswa diharuskan memiliki tujuan yang pasti dan terarah dalam upaya pencapaiannya. Dalam pendidikan tentu saja dibutuhkan seseorang guru yang dapat mengarahkan siswa untuk menjadi lebih baik dari pada sebelumnya, Walidaik, 2017. Hal ini dikarenakan ada beberapa guru yang dalam memberikan pendidikan kepada siswa kurang baik, sehingga menyebabkan siswa kurang mendapatkan pendidikan yang cukup. Sebagai bentuk upaya, diharapkan untuk guru di masa ini bisa memberikan pendidikan yang berkualitas kepada para siswa, Mansir, 2019. Selain untuk melahirkan generasi yang lebih baik, dari adanya pendidikan seeorang akan lebih banyak memahami bagaimana ilmu itu akan diimplementasikan pada kehidupan luar ataupun kehidupan bermasyarakat. Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam Fathani & Purnomo, 2020 memiliki arti upaya dalam mencapai tujuan keberhasilan siswa yang dimana dalam upaya tersebut seorang guru mempunyai keharusan untuk mempersiapkan para siswa untuk mengenal, memahami, mendalami hingga mengimani ajaran Islam serta menjalankan kewajiban yang memang sudah seharusnya dilakukan dalam ajaran Islam itu sendiri. Namun pengertian tersebut hanya sebatas pengertian singkat dari Pendidikan Agama Islam Mansir, 2021. Kehadiran Pendidikan Agama Islam sebenarnya untuk menuntun dan membimbing para siswa supaya tetap berada pada jalan atau jalur yang benar, Sanusi, 2013. Hal ini dikarenakan semakin lama zaman akan semakin berubah, semakin banyak pula tingkah laku atau perilaku yang kurang sesuai dengan aturan yang ada pada Pendidikan Agama Islam itu sendiri. Khususnya untuk kondisi sekarang ini, dunia sudah semakin tua dan teknologi yang berkembang sudah semakin pesat. Tentu saja ini menjadi 252 kekhawatiran para sarjana muslim dan semua sebagai calon penerus generasi muslim yang tentunya akan menjadi tanggungjawab bersama ke depannya. Dalam ajaran agama Islam, terdapat hukum tersendiri untuk menjalankan kegiatan atau mengatur norma-norma kehidupan yang sudah berlaku, Mansir, 2020. Hukum Islam yang dapat dipahami dan dipelajari yaitu berasal dari al-Qur’an dan al-Hadis. Di dalam al-Qur’an telah tertulis lengkap mengenai cerita terdahulu, perintah dan larangan, bagaimana kebiasaan orang-orang terdahulu, atau juga kebiasaan nabi dan rasul yang sudah seharusnya dijadikan sebagai contoh suri tauladan dalam menjalankan kehidupan. Terdapat banyak pesan dan moral yang telah terkandung dalam al-Qur’an. Oleh karena itu sudah menjadi hal yang seharusnya kita lakukan untuk mengimani serta melaksanakan sesuai dengan yang telah tercantum pada pedoman umat Islam hingga akhir zaman nanti. Pada dasarnya tidak ada yang sulit dalam melaksanakan berbagai macam perintah dan menjauhi berbagai larangannya, yang membuat kita sebagai umat muslim sering meniggalkan perintah dan melaksanakan larangan yang telah tertulis. Hal ini dikarenakan sebagai umat Islam sering melalaikan pedoman agamanya sendiri. Terutama saat ini kita berada dan berhadapan dengan generasi millenial atau generasi kekinian yang dimana semua informasi bisa didapatkan dengan mudah dari smartphone saja. Dalam mengaksesnya juga sangat mudah, hanya dibekali dengan kuota data ataupun smartphone yang sudah tersambung dengan wi-fi maka smartphone yang digunakan dapat disambungkan dengan akses internet tanpa batas. Berkenaan dengan hal itu, tidak sedikit informasi yang tersaji dalam internet merupakan hal yang layak dikonsumsi. Ada berbagai situs yang memberikan hal kurang senonoh untuk disajikan kepada khalayak umum. Terutama apabila anak dibawah umur juga tidak luput menikmati salura tersebut. Ini yang menjadi kekhawatiran umat Islam saat ini, orang tua memberikan anak fasilitas smartphone untuk dipergunakan dengan baik dan dapat dipergunakaan untuk belajar atau juga mengakses yang sekiranya bisa menambah ilmu pengetahuan si anak akan tetapi justru itu seakan menjadi boomerang orang tua itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan sedikit seorang anak dan masing- masing dari kita menggunakan smartphone dan internet tersebut untuk mengorek sesuatu yang seharusnya perlu dijauhi. Dari banyaknya pedoman Islam yang berlaku, seharusnya ini membuat masyarakat sebagai umat muslim semakin mudah dalam menjalankan kesehariannya. Namun kembali lagi, yang seringkali menjadi penghalang untuk taat dalam beribadah 253 yaitu terdapat pada diri sendiri. Oleh karenanya, fungsi Pendidikan Agama Islam disini untuk membenahi kekeliruan dan melengkapi kekurangan yang masih menjadi persoalan umat Islam dalam menjalankan kehidupannya Mansir, 2020. Ini menjadi kewajiban bagi pendidik saat ini terutama untuk calon pendidik yang di masa depan besok sudah harus siap untuk mendidik dan membimbing para murid atau peserta didik untuk menjadi generasi Islam yang berilmu Mansir, 2019. Tentu dalam upaya tersebut terdapat banyak ujian dan tantangan supaya target yang diinginkan dapat tercapai. Sehingga diperlukan kesiapan ilmu dan juga pendirian agar berhasil mencapai tujuan pendidikan yag maksimal. Seberapakah pentingnya Pendidikan Agama Islam dalam kehidupan? Seperti yang diketahui bahwasanya Pendidikan Agama Islam sangatlah memiliki pengaruh yang besar di dalam kehidupan seorang muslim. Hal ini dikarenakan pada dasarnya setiap manusia memerlukan pedoman untuk melanjutkan kehidupan dan mengarungi luasnya arus perjalanan hidup ini. Maka dari itu, Pendidikan Agama Islam memiliki posisi teratas dalam mengambil peran untuk menyiapkan kehidupan seorang muslim. Akan tetapi permasalahan yang sedang terjadi yakni Pendidikan Agama Islam mengalami “persaingan dengan pendidikan Barat. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi minat dalam mempelajari Pendidikan Agama Islam, bagi umat Islam Indonesia. Faktor ini beberapa diantaranya berasal dari dalam sekolah namun juga dari luar sekolah. Salah satu faktor yang berasal dari dalam sekolah yaitu dimana ketika pada sekolah negeri jam pembelajaran pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam tidak memiliki porsi yang banyak. Sehingga hal ini membuat minat peserta didik dalam mempelajari pendidikan agama Islam tidak terlalu mendalam. Apalagi asupan yang diberikan sekolah negeri yakni ilmu-ilmu umum yang menyebabkan ilmu agama Islam pada sekolah negeri tidak lagi dibutuhkan banyak. Dalam pendidikan agama Islam terdapat banyak petunjuk guna menangani setiap permasalahan yang ada. Seperti yang diketahui, terdapat berbagai macam konflik yang sudah pasti kita mengenalnya dan konflik tersebut sudah biasa terjadi pada bangku sekolah atau di lembaga pendidikan. Apakah konflik tersebut selalu mengenai kekerasan ataukah hanya sebatas konflik salah paham yang terjadi pada masing-masing siswa yang terlibat. 254 Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, Creswell et al., 2007. Karena itu kemudian, penelitian ini fokus dengan melihat berbagai konflik yang terjadi di lembaga pendidikan. Adapun data yang digunakan ada dua. Yaitu dara primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh dari jurnal nasional yang memperbincangkan tentang konflik siswa. Data ini kemudian dikumpulkan dan dianalis dengan metode deskripti-analitik. Selanjutnya data sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku referensi yang berkaitan dengan konflik siswa. Data sekunder ini untuk memperkuat hasil penelitian dan melengkapi data yang masih kurang. Dengan demikian, data-data yang sudah terkumpul kemudian diberikan kode untuk untuk melihat perbedaan dan persamaan dengan apa yang peneliti telusuri, tentu dalam hal ini adalah mengenai konflik siswa di lembaga pendidikan. Hasil dari pengkodean data-data itu selanjutnya dianalisis sesuai dengan metodologi yang kemudian melahirkan data yang akurat. Hasil dan Pembahasan Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu ilmu pendidikan yang terdapat pada setiap sekolah umum di Indonesia, Mansir, Lain halnya yang terdapat pada sekolah Islam swasta Fauziyah, 2021. Pendidikan Agama Islam terbagi secara spesifik dalam mata pelajaran seperti Fiqh, Aqidah Akhlaq, Qur’an Hadis, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Ilmu-ilmu yang diberikan tetaplah sama yang membedakan yaitu jika pada sekolah negeri hanya diberikan nama PAI dengan penjelasan secara umum, Mansir, 2021. Pada pembelajaran PAI di sekolah Islam maka PAI akan terpecah dengan penjelasan secara detail. Terutama pembelajaran PAI pada sekolah negeri hanya diberikan waktu singkat yang dimana rata-rata waktu yang diberikan hanyalah 2 jam per satu jam pelajarannya selama seminggu. Sehingga dari alokasi waktu yang tersedia tersebut tidak memungkinan jika siswa akan mendapatkan banyaknya pengetahuan agama Islam yang memadai dan mendalam. Mungkin ini adalah salah satu faktor penyebab munculnya konflik-konflik antara siswa dengan siswa lainnya dikarenakan masing-masing dari mereka kurang memahami arti pentingnya Pendidikan Agama Islam. Karena jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, semua yang ada pada dunia ini akan saling berkesinambungan satu sama lain. Kemudian pelaksanaan dari mata pelajaran Pendidikan Agama Islam ini sendiri merupakan program dalam mengimplementasikan pendidikan mental-spiritual dan juga 255 moral kepada para peserta didik, Sanusi, 2013. Bagaimanapun juga peran pendidik atau guru mata pelajaran Agama Islam ini juga harus tetap memantau dan juga mengupayakan untuk melakukan perbaikan konsep materi pelajarannya, Mumtahanah, 2018. Akan lebih baik lagi jika dalam menyajikan materi agama Islam ini diberikan konsep. pembelajaran yang menyenangkan supaya peserta didik tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai Pendidikan Agama Islam. Hal ini juga yang dapat peserta didik menyerap lebih mudah mengenai materi tersebut. Tujuannya adalah supaya peserta didik memahami dan mengenal lebih jauh tentang ilmu-ilmu agama Islam. Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan untuk mengenal, mengetahui, memahami dan mengikuti aturan dan ruang lingkup agama Islam, Mansir, 2020. Pendidikan berasal dari kata “didik” yang berarti memelihara atau pun melatih. Bila diartikan dari segi etimologi atau bahasa, Pendidikan Agama Islam yaitu proses dalam memberikan pengajaran atau bentuk kontribusi seorang pedidik baik dalam akhlak maupun kecerdasan berpikir. Kemudian jika diambil dari segi terminologi atau istilah, Pendidikan Agama Islam merupakan upaya sadar guna mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran supaya siswa dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya untuk lebih memperdalam spiritual keagamaan, self esteem, kepribadian yang baik, kecerdasan dalam akhlak, dan juga keterampilan yang nantinya akan ia implementasikan padaa lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara. Pendidikan Islam Tarbiyah diartikan dari melatih dan memilihara berarti memerlukan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai perantara dalam melakukan kegiatan ini Mansir, 2017. Seperti halnya dalam ruang lingkup sekolah, dalam mendidik seseorang peserta didik diharuskan memiliki tujuan yang pasti dan terarah dalam upaya pencapaiannya. Dalam proses pengenalan ini terdapat banyak faktor-faktor yang masih menjadi kendala dalam melakukan proses belajar mengajar Pendidikan Agama Islam. Entah dari dalam faktor eksternal guru maupun dari media ajar yang berguna untuk membantu guru dalam memperlancar kegiatan belajar mengajar ini. Sudah bukan rahasia lagi jika minat dalam belajar Pendidikan Agama Islam di sekolah Indonesia tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan jam belajar yang diberikan juga hanya terbatas, yaitu hanya sekitar dua jam setiap mata pelajaran. Sedangkan banyaknya materi yang seharusnya diberikan tidak cukup jika hanya diberikan melalui waktu dua jam tersebut. Terutama kendala pada siswa juga seharusnya menjadi pertimbangan pendidik itu sendiri 256 dikarenakan tidak semua siswa yang ada dapat langsung memahami isi dari materi ajar itu sendiri. Belum lagi jika terdapat beberapa anak yang tidak dapat menangkap materi pembelajaran tersebut, ini menyebabkan pendidik atau guru agama Islam tersebut mengalami kebingungan sendiri. Selain tujuan tercapainya materi ajar tidak tersampaikan secara maksimal kepada siswa, ia juga menjadikan hal ini sebagai evaluasi agar kedepannya mengenai materi atau pun segala bahan ajar yang telah ia berikan kepada peserta didik dapat diterima dengan baik. Pendidikan Agama Islami memiliki istilah atau makna tersendiri dari beberapa pengertian diantaranya 1. Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan yang dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam sumber dasar ajaran Islam. 2. Pendidikan Agama Islam merupakan upaya untuk mengajarkan kepada kaum muslimin untuk menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman hidup seseorang. 3. Pendidikan agama Islam merupakan ajaran yang sudah ada sejak zaman Rasulullah hingga saat ini masih berkembang berkaitan dengan agama Islam dan sejarah umat Islam. Dari beberapa istilah yang telah disebutkan di atas tersebut dapat ditarik benang merahnya jika Pendidikan Agama Islam merupakan upaya untuk membimbing calon generasi penerus di masa depan nanti agar dapat memiliki kepribadian baik dan pastinya sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan oleh agama Islam itu sendiri Sinaga, 2017. Dari sinilah nantinya akan lahir generasi penerus yang berkepribadian baik. Jika seseorang telah memiliki kepribadian muslim pastinya nanti ia menjadikan ajaran Islam sebagai pandangan atau pedoman hidupnya Mansir, 2020. Tentunya juga dari cara berpikir dan menyikapi suatu tindakan sesuai dengan ajaran dan pandangan Islam. Dengan begitu tujuan dari Pendidikan Agama Islam merupakan sebuah upaya yang berupa bimbingan baik secara jasmani atau rohani kepada peserta didik secara Islami. Semua ini dilakukan untuk mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Seperti yang telah disebutkan dalam penjelasan sebelumnya, posisi Pendidikan Pancasila, Dewantara, 2015 dan Pendidikan Agama Islam sangatlah penting Kuswanto, 2014, yakni berkaitan dengan ilmu-ilmu Islam yang menjadi fondasi dalam kehidupan perlu dikenal dan difahami betul. Hal ini juga dikarenakan Pendidikan Agama Islam bersifat urgent penting untuk dipelajari dari mulai zaman lahirnya Islam hingga akhir zaman nanti. Di dalam Al-Qur’an sudah diperjelas pada QS. Al–Baqarah ayat 159 257 Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab Al-Qur’an 1. Ruang Lingkup Pendidikan Pancasila dan PAI di Indonesia Pada kajian Pendidikan Pancasila Nurgiansah, 2021, sejatinya lingkup dan fungsi pancasila secara spesifik yaitu yang pertama, pancasila sebagai pedoman hidup bangsa Rindjin, 2013. Indonesia bisa menjadikan pancasila sebagai pedoman dalam menyatukan hubungan dengan bangsa lain. Nilai-nilai pendidikan pancasila tidak boleh keluar atau melepaskan dari berbagai bentuk hubungan diplomatik yang terkoneksi dengan negara Indonesia terhadap negara lainnya Suharyanto, 2013. Segala sesuatu yang terkait dengan hasil dalam konteks hubungan diplomatik perlu dipertimbangkan dengan menggunakan nilai pendidikan pancasila beserta makna yang terkandung dalamnya. Kedua, yaitu pancasila sebagai jiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Seluruh lembaga pendidikan maupun lembaga sosial di Indonesia baik yang besar maupun yang paling kecil seharusnya menjadikan pancasila sebagai nafas dan pedoman ideologinya. Ketiga, yaitu pancasila sebagaai kepribadian bangsa. Pancasila merupakan profile dan wajah bangsa. Sebagai profile, pancasila merupakan jawaban dari pertanyaan mengenai berbagai kepribadian Indonesia yang nyata. Dengan demikian, pendidikan pancasila selanjutnya merupakan pancasila sebagai pedoman hukum Fauzi et al., 2013. Maknanya adalah ia berfungsi sebagai sumber hukum dalam berbagai kasus di Indonesia. Hukum yang dibentuk, dimodel dan dibuat oleh seluruh pihak tidak seharusnya melupakan nilai-nilai pendidikan pancasila. Fungsi pendidikan pancasila juga sebagai cita-cita negara ini. Dasar negara Indonesia yang sudah dirancang sejak dulu oleh para pendiri bangsa memiliki pernyataan menarik yang menjadi harapan bangsa untuk diwujudkan oleh seluruh masyarakat bangsa Indonesia. Selanjutnya pendidikan pancasila berfungsi sebagai cita-cita bangsa maksudnya pancasila menjadi deskripsi serta penjelasan peta akan kemana bangsa Indonesia akan berjalan ke depannya. Dari berbagai fungsi pancasila diatas, dan tafsiran mengenai nilai pada pendidikan pancasila serta yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara hendaknya tidak melenceng dari nilai-nilai pancasila itu sendiri Amir, 2013. Sebab hal ini searah dengan nilai-nilai Pendidikan Agama Islam. Bisa dilihat secara gamblang tentang nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menurut Widjajda 2004 yaitu 258 a. Nilai Ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan. b. Nilai ideal, nilau material, nilai spiritual, nilai pragmatis, dan nilai positif. c. Nilai etis, nilai estetis, nilai logis, nilai sosisal dan nilai religius. Melihat dan mengamati penjelasan di atas, sepertinya nilai-nilai itu sudah terpancar dan terkandung dalam Pendidikan Agama Islam. Pancasila yang tidak luput dari nilai ketuhanan, spiritual, maupun religius dapat menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia untuk tidak melupakan segi spiritual, hal tersebut juga tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Hal tersebut dengan tegas menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menggunakan landasan kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa. Hal serupa juga sesuai dengan perinsip yang terkandung dalam pedoman nilai-nilai karakter. Sementara itu, ruang lingkup pendidikan Agama Islam mencakup keharmonisan, Tolchah, 2020 keselarasan dan kesepadan antara hubungan manusia dengan Rabb-nya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan kemudian hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Tak luput juga hubungan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Aspek-aspek yang terkandung pada Pendidikan Agama Islam juga menjadi penting. Ini akan menjadi perpaduan yang sama-sama saling melengkapi satu sama lain. Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam yang biasanya dilaksanakan di sekolah umum maupun sekolah swasta Islam yakni ada Aqidah Ilmu tentang keimanan, Ilmu Fiqh Ilmu yang berkaitan dengan ibadah, Al Qur’an dan Hadits, Akidah Akhlak, dan juga Tarikh Islam, Fauziyah, 2021. Dari semua cabang ilmu pendidikan, baik itu Pendidikan Pancasila Nishimura, 1995, dan khususnya Pendidikan Agama Islam yang ada di atas dapat ditarik benang merahnya bahwa secara mandiri atau tanpa harus mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah. Ini dikarenakan cabang-cabang ilmu Islam tersebut merupakan ilmu umum yang artinya semua orang dapat mempelajarinya tanpa harus memiliki syarat tertentu untuk belajar ilmu tersebut. Terutama Islam mengharuskan umatnya untuk menuntut ilmu setinggi mungkin, terlebih untuk mempelajari agama hal ini memiliki poin lebih dan memang diwajibkan. Berbeda halnya dengan mempelajari ilmu-ilmu umum yang sifatnya tidak wajib meskipun ketika kita memasuki dunia sekolah pasti kita juga diwajibkan untuk mengikuti pelajaran tersebut. Akan tetapi, dilain waktu jika memiliki waktu lebih luang alangkah baiknya jika dimanfaatkan untuk menimba ilmu agama. 259 2. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pendidikan Agama Islam Seperti yang telah diketahui bahwasanya tujuan dari pendidikan yakni sebagai proses atau upaya untuk menyiapkan masa depan anak didik untuk mencapai tujuan hidup yang tepat, Walidaik, 2017. Berbagai upaya telah dilaksanakan hanya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Terutama saat ini sudah memasuki zaman dimana semuanya hanya mengandalkan internet sebagai rutinitas kesehariannya. Sehingga ini membuat seseorang untuk lebih mawas diri dalam menggunakan dan memanfaatkan internet agar tidak tersesat dalam menggunakannya. Maka peranan pendidikan agama Islam disini supaya anak didik mampu mengendalikan perilakunya agar tidak seenaknya dalam mengambil sikap. Ini dikarenakan anak dan juga remaja rentan mengikuti atau meniru bagaimana orang sekitar dalam berperilaku. Oleh karenanya dalam Islam diberikanlah pedoman untuk hidup lebih baik supaya dapat memanfaatkan hidup yang singat in dengan sebaik-baiknya. Berkaitan dengan nilai yang dapat diimplementasikan oleh siswa, maka pembelajaran yang dapat diterima oleh siswa seperti akhlak yang baik, yang dapat diimplementasikan dengan bagaimana cara bersikap yang baik atau menanggapi perilaku seseorang dengan baik juga tanpa harus berlaku kasar atau menyakiti, Mumtahanah, 2018. Ini merupakan salah satu bentuk mengimplementasikan materi pembelajaran pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam. Kemudian untuk bentuk implementasi materi pembelajaran al-Qur’an dan hadist dapat dilakukan dengan mengamalkan perilaku yang baik sesuai dengan yang telah diperintahkan dalam firman Allah SWT yang telah tertuliskan dalam al-Qur’an, dan kemudian bentuk pengamalan dari hadis sendiri dapat dilakukan dengan melakukan perilaku-perilaku terpuji dan menjalankan sunnah nabi seperti yang telah tercantum dalam hadis-hadis nabi yang hingga saat ini masih dipakai sebagai bentuk petunjuk selain al-Qur’an. Dalam menyampaikan kebenaran juga menggunakan adab dan tutur kata yang baik, ini untuk menghindari diri sendiri dari menyakiti orang lain. Pendidikan Pancasila sangat konsen pada persoalan ini, sebab hal ini dapat mencerminkan sikap dan kepribadian seseorang sebagai anak bangsa. Dalam konteks Pendidikan Agama Islam Hidayat, 2015, apabila orang lain merasa sakit hati karena perkataan yang keluar dari lisan seseorang, maka itu akan membuat individu mendapatkan dosa karena telah membuat orang lain terluka. Maka dari itu, di dalam Pendidikan Agama Islam, adab merupakan sesuatu hal yang penting. Selain ini merupakan bentuk impelementasi dari 260 pembelajaran Akhlak juga bagian dari nilai-nilai Pendidikan Pancasila. Sebuah pepatah yang mengatakan bahwa percuma jika berilmu namun tidak memiliki adab yang baik. Maka dari itu adab sangat penting untuk diajarkan sejak dini. Hal ini selaras dengan semangat yang dimiliki Pendidikan Pancasila dalam mengajarkan kepada siswa tentang sikap hidup toleransi bermasyarakat. Selanjutnya cara mengimplementasikan nilai Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dilakukan dengan cara mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah kehidupan beragama dan berbangsa. Melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan syari’atnya masing-masing. Dalam ilmu fiqh umat muslim diharuskan benar-benar sejalur dengan apa yang sudah diperintahkan. Karena jika keluar dari jalur dan tidak sesuai tuntunan maka itu sama saja menentang ajaran Islam yang sudah ada sejak Islam lahir. Ini juga merupakan antisipasi untuk tidak melakukan hal yang terlarang dalam melaksanakan ibadah. Pendidikan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa way of life memiliki makna Pancasila bagian pedoman dan pegangan dalam kehidupan serta memberikan tuntunan perilaku masyarakat bagsa Indonesia dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Karena itu kemudian, sebagai sumber nilai dan etika, seperti halnya Pendidikan Agama Islam, maka nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila sebaiknya diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan terciptanya kehidupan masyarakat harmonis, dinamis, aman, tertib dan religius. Contoh dalam konteks di sekolah adalah konflik pada siswa sering terjadi mulai pada saat masih berada di Taman Kanak-kanak hingga masa peserta didik sudah memasuki ke jenjang sekolah menengah atas. Tidak hanya sedikit permasalahan, tetapi bisa melahirkan segunung masalah. Mulai dari permasalahan kecil antar sesama teman, kesalah pahaman dengan teman kelas, atau mungkin dengan angkatan yang lebih tua atau muda dari peserta didik tersebut. Bahkan peserta didik juga melakukan kesalahan dengan guru mereka masing-masing yang tidak sengaja atau hanya sebatas salah paham. Tidak dapat dipungkiri jika datangnya permasalahan ini juga awalnya juga sebatas candaan atau masalah kecil, namun akhirnya malah berlanjut hingga memperpanjang masalah. Pada masa sekolah, siswa biasanya mulai usil atau mulai bertingkah yang kurang baik pada saat remaja, Ibda, 2012. Hal ini secara psikologis dikarenakan pada saat remaja hormon seseorang dapat dikatakan sedang tingi-tingginya. Sehingga ketika mereka mengambil keputusan dalam suatu masalah, terkadang belum berpikir secara 261 tepat, atau dalam mengambil keputusan mereka masih belum bisa bertanggungjawab dengan pilihannya. Hal ini yang menjadikan ketika di usia tersebut remaja masihlah dikatakan labil, meskipun terdapat beberapa remaja yang juga sudah bisa menempatkan tanggungjawabnya. Dari uraian di atas, mengungkap bahwa pendidikan pancasila dan pendidikan agama islam pada dasarnya memiliki muara dan misi yang sama, sehingga keduanya diperlukan dalam merespon berbagai persoalan peserta didik di lembaga pendidikan Indonesia, Mansir, 2018. Oleh karena itu, dalam Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam, keduanya menyelesaikan suatu masalah dapat dilakukan dengan cara yang baik, bijaksana, adil, dan tidak saling menyalahkan satu sama lain. Sebagai bangsa Indonesia dan umat Islam harus bisa menerima dan memahami jika terdapat perbedaan yang ada. Karena perbedaan tersebut di dalam Islam lazimnya disebut sebagai rahmat. Maka dengan adanya perbedaan itu, akan menimbulkan adanya sikap saling menghormati, menghargai pendapat atau perbedaan orang lain. Tentu dalam konteks ini yang diharapkan adalah jiwa pancasila dan motivasi keagamaan yang diperlukan. Kesimpulan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan agama islam merupakan salah satu ilmu pendidikan yang terdapat pada setiap sekolah umum di indonesia. Pendidikan Pancasila bagian dari nilai-nilai kebangsaan yang perlu ditularkan kepada peserta didik. Sementara Pendidikan agama Islam bagian dari proses untuk mengenal, mengetahui, memahami dan mengikuti aturan dan ruang lingkup agama Islam. Dari sini titik awal nantinya akan lahir generasi penerus yang berkepribadian baik, berwawasan global, cinta tanah air dan memiliki jiwa pancasila. Jika seseorang telah memiliki kepribadian muslim pastinya nanti ia menjadikan ajaran Islam sebagai pandangan atau pedoman hidupnya. Tidak hanya itu, ia juga menjadikan pancasila sebagai falsafah kehidupan bagsa. Dengan ini akan menjadikan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam juga sebagai pedoman hidup manusia dan warga bangsa Indonesia. Daftar Pustaka Abuddin Nata, A. N. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Kencana Prenada Media Group. Amir, S. 2013. Pancasila as integration philosophy of education and national character. International Journal of Scientific & Technology Research, 21, 54–57. 262 Creswell, J. W., Hanson, W. E., Clark Plano, V. L., & Morales, A. 2007. Qualitative research designs Selection and implementation. The Counseling Psychologist, 352, 236–264. Dewantara, A. W. 2015. Pancasila Sebagai Pondasi Pendidikan Agama Di Indonesia. CIVIS, 51. Fathani, A. T., & Purnomo, E. P. 2020. Implementasi Nilai Pancasila dalam Menekan Radikalisme Agama. Mimbar Keadilan, 132, 240–251. Fauzi, F. Y., Arianto, I., & Solihatin, E. 2013. Peran guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam upaya pembentukan karakter peserta didik. Jurnal PPKn UNJ Online, 12, 1–15. Fauziyah, N. 2021. Pengelolaan Kelas Dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak Di Era Pandemi Covid-19 Pada Siswa Kelas V Di MI Darul Ulum Desa Benem Kecamatan Duduksampeyan Kabupaten Gresik. Universitas Muhammadiyah Gresik. Hidayat, N. 2015. Peran dan Tantangan Pendidikan Agama Islam di Era Global. Jurnal Pendidikan Agama Islam, 121, 61–74. Ibda, F. 2012. Pendidikan moral anak melalui pengajaran bidang studi PPKn dan pendidikan agama. JURNAL ILMIAH DIDAKTIKA Media Ilmiah Pendidikan Dan Pengajaran, 122. Kuswanto, E. 2014. Peranan Guru PAI dalam Pendidikan Akhlak di Sekolah. MUDARRISA Jurnal Kajian Pendidikan Islam, 62, 194–220. Mansir, F. The Response Of Islamic Education To The Advancement Of Science In The Covid-19 Pandemic Era In The Islamic Boarding Schools. AULADUNA Jurnal Pendidikan Dasar Islam, 81, 20–27. Mansir, F. 2017. Model Pendidikan Karakter Di Perguruan Tinggi Islam Studi Pada Umi Dan Uin Alauddin Makassar. Mansir, F. 2018. Diskursus Pendidikan Karakter di Peguruan Tinggi Keagamaan Islam pada Era Milenial. Tadrib, 42, 280–300. Mansir, F. 2019. Implications of Teacher Certification on Professionalism and Welfare of 21th Century PAI Teachers. Tadrib, 52, 138–152. Mansir, F. 2020. Diskursus Sains dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah dan Madrasah Era Digital. Kamaya Jurnal Ilmu Agama, 32, 144–157. 263 Mansir, F. 2020. Identitas Guru PAI Abad 21 Yang Ideal pada Pembelajaran Fiqh di Sekolah dan Madrasah. Muslim Heritage, 52, 435. Mansir, F. 2020. The Leadership of Personnel Management in Islamic Education Emerging Insights from an Indonesian University. Edukasia Islamika, 1–16. Mansir, F. 2020. The Urgency of Fiqh Siyasah In Islamic Education Learning At Madrasas And Schools. POTENSIA Jurnal Kependidikan Islam, 62, 142–154. Mansir, F. 2021. Aktualisasi Pendidikan Agama dan Sains dalam Character Building Peserta Didik di Sekolah dan Madrasah. J-PAI Jurnal Pendidikan Agama Islam, 72. Mansir, F. 2021. The Urgency of Fiqh Education and Family Role in The Middle of Covid-19 Pandemic For Students In School and Madrasah. Kamaya Jurnal Ilmu Agama, 41, 1–10. Mumtahanah, M. 2018. Peranan Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Mengatasi Perilaku Menyimpang Siswa. TARBAWI Jurnal Pendidikan Agama Islam, 301, 19–36. Nishimura, S. 1995. The development of Pancasila moral education in Indonesia. Japanese Journal of Southeast Asian Studies, 333, 303–316. Nurgiansah, T. H. 2021. Pendidikan Pancasila sebagai upaya membentuk karakter jujur. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 91, 33–41. Rindjin, K. 2013. Pendidikan pancasila untuk perguruan tinggi. Gramedia Pustaka Utama. Sanusi, H. P. 2013. Peran Guru PAI Dalam pengembangan Nuansa religius di sekolah. Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, 112, 143–153. Sinaga, S. 2017. Problematika pendidikan agama islam di sekolah dan solusinya. WARAQAT Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 21, 14. Suharyanto, A. 2013. Peranan pendidikan kewarganegaraan dalam membina sikap toleransi antar siswa. JPPUMA Jurnal Ilmu Pemerintahan Dan Sosial Politik Universitas Medan Area, 12, 12. Tolchah, M. 2020. Problematika Pendidikan Agama Islam dan solusianya. Kanzun Books. Walidaik, A. 2017. Peran Guru PAI Dalam Mengatasi Masalah Kenakalan Remaja Studi Kasus Pada MA Darussalam Kemiri Kecamatan Subah Kabupaten Batang. IAIN SALATIGA. ... The development of the nations personality is one of the imperatives of a multicultural nation So for the application of the methods above, it is necessary to have professional educators in teaching and guide the community in achieving the creation of a character that suits the personality of the nation. This nation has a strong foundation in terms of life values, not only that, there are still many people who still have life norms that are by the foundation of this nation, namely Pancasila Mansir & Kian, 2021. But it cannot be discarded the fact that the norms that have been maintained have begun to be eroded by the development of the times and the most affected are the next generations of the nation, this fact proves that the lack of maintenance in Indonesia for the culture attached to the community. ...Firman MansirReligious and socio-cultural education is inseparable in peoples lives. Educational cultural proximity to religion and socio-cultural development become two interrelated and mutually needy sides in solving social problems of society. This research shows that there is a relationship between religious and cultural education that is interrelated, giving birth to changes and responding to the rapid development of the times, thus ushering in a reality of religious life that is full of educational values without losing the local culture. The success of a nation can be seen and measured by the younger generation of its nation in the present and the future. Regarding religious education with culture, it is hoped that there will be the best results from a new generation and have potential with good quality, who can develop the knowledge they have and apply it well in the fabric of education, society, and culture. Thus, religious and socio-cultural education provides answers to various problems in the social development of budaya to religion in the context of educational institutions, be it in schools or madrasas. Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya menjadi dua sisi yang saling terkait dan saling membutuhkan dalam memecahkan persoalan sosial masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan Agama Islam dan budaya yang saling berkaitan, dengan melahirkan perubahan serta merespon berkembangnya zaman yang semakin pesat, sehingga mengantarkan pada sebuah kenyataan kehidupan beragama yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan tanpa menghilangkan budaya setempat. Berhasilnya suatu bangsa dapat dilihat serta diukur dari generasi muda bangsanya pada masa kini serta pada masa yang akan datang. Dalam hubungannya Pendidikan Agama Islam dengan budaya, sangat diharapkan adanya hasil terbaik dari generasi yang baru dan memiliki potensi dengan kualitas yang baik, yang mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mengaplikasikannya dengan baik dalam jalinan pendidikan, sosial dan budaya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya memberi jawaban dari berbagai permasalahan dalam perkembangan sosial budaya terhadap agama dalam konteks lembaga pendidikan, baik itu di sekolah maupun MansirThis study discussed that Islamic boarding schools as educational institutions responded to Covid 19 pandemic era through their educational system. This study aimed to examine how Islamic educational institutions responded to the advancement of science in the current Covid-19 era. The method used was the library research method with a qualitative approach by excavating, discovering, reading, explaining, and conveying implicitly or explicitly to literature from the data. The source data came from articles, journals, and books related to Islamic education, Islamic boarding schools, and the response of Islamic education to the Covid-19 pandemic. In analyzing the data, the researcher used data descriptive and content analyses. The findings indicated that Islamic boarding schools applied online learning during the Covid-19 Pandemic era. Therefore, Islamic boarding schools responded by using science technology in the learning process by developing lesson plans based on the current ini membahas pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang merespon pandemi Covid-19 melalui sistem pendidikannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana lembaga pendidikan Islam menyikapi kemajuan ilmu pengetahuan di era Covid-19 saat ini. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif dengan menggali, menemukan, membaca, menjelaskan, dan menyampaikan secara implisit atau eksplisit ke literatur dari data. Sumber data berasal dari artikel, jurnal, dan buku terkait pendidikan Islam, pesantren, dan respon pendidikan Islam terhadap pandemi Covid-19. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan deskriptif data dan analisis isi. Temuan menunjukkan bahwa pesantren menerapkan pembelajaran online selama era Pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pondok pesantren meresponnya dengan menggunakan iptek dalam proses pembelajarannya dengan mengembangkan RPP berdasarkan situasi saat Heru NurgiansahPerubahan jaman semakin mengikis perilaku peserta didik menjadi arogan, amoral, dan intoleran. Perilaku mereka semakin menjauh dari nilai-nilai agama. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, seperti pengaruh lingkungan dan penggunaan teknologi. Tujuan penelitian ini adalah untuk membentuk karakter religius melalui Pendidikan Pancasila di kalangan peserta didik SMA PGRI 1 Kasihan Bantul. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dokumentasi, dan literasi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Pendidikan Pancasila berhasil membentuk karakter religius peserta didik. Pendidikan Pancasila memiliki peranan penting dalam menyelesaikan segala persoalan khususnya dalam pendidikan karakter. Peneliti berharap agar penelitian berikutnya bisa mendeskripsikan karakter religius sebagai formula untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang MansirThis research explains that in 21st century, education is faces by some quite complex challenges. In this 21st century, advances in science and technology in all fields are increasingly narrowing the world. Compared to the previous century, in this century, professional teachers must have a wider range of competences. Teacher in 21st century must be able to improve personal skills, technical skills, social skills and pedagogical skills. Islamic Education teachers in 21st century are also expected to develop positive relationships with students and the school community using technology as a tool to raise teaching standards. Especially in learning Islamic religious education, in fiqh, an ideal or professional teacher is needed to form the skills of a teacher in building the enthusiasm of students in science, religion and technology. The ideal PAI teacher has the ability to develop and combine various learning strategies and methods to spur students' enthusiasm for learning because students nowadays know information very easily. AbstrakPenelitian ini menjelaskan bahwa pada abad 21 ini pendidikan dihadapkan dengan berbagai tantangan yang cukup kompleks. Pada abad 21 ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang semakin mempersempit dunia. Dibandingkan dengan abad yang sebelumnya, pada abad ini guru yang profesional harus mempunyai kompetensi yang lebih luas. Guru abad 21 ini harus mampu meningkatkan keterampilan pribadi, keterampilan teknis, keterampilan sosial dan keterampilan pedagogik. Guru PAI abad 21 juga diharapkan dapat mengembangkan hubungan positif dengan peserta didik dan komunitas sekolah, menggunakan teknologi sebagai alat untuk meningkatkan standar pengajaran. Terutama dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, dalam fiqih guru yang ideal atau profesional sangat dibutuhkan untuk membentuk kecakapan seorang guru dalam membangun semangat peserta didik dalam hal sains, ilmu agama dan teknologi. Guru PAI yang ideal memiliki kemampuan untuk mengembangakan dan memadukan berbagai strategi dan metode belajar untuk memacu semangat belajar peserta didik, karena pada zaman saat ini peserta didik mengetahui infomasi-informasi dengan sangat MansirThis research was conducted to analyse what methods are effective in analysing the Role of Religion and Science Education in Forming Student Character Building. Basically, learning is influenced by the determination of the selection of the method used. Islamic religious education and science are different lessons so that as educators need to channel their creativity in delivering material. In this research, the writer used literature review method. So that the results of the study refer to methods that are effectively used. In the analysis of the role of religion and science education in shaping the character building of students. The result of this research is an effective method that can be used by educators in the role of religious education and science. In the formation of character building is the mix method, namely the problem-solving method, the inquiry method and the Discovery MansirLeadership is one of crucial things in an education management. It also happens in Islamic higher education institutions, especially in the case of its personnel management. This study aims to describe the leadership style in a personnel management of an Islamic higher education institution in Yogyakarta, Indonesia. This study belongs to qualitative research by using interview and observation in collecting the data. The obtained data then validated by triangulation and descriptively analyzed to produce relevant interpretation of the data. This research comes into a conclusion that the education success is not only measured from the class management, curriculum, students and so on, but also its personnel management. This study promotes that leadership in personnel management of Islamic higher Education needs good leadership style which based on the principle of siddiq, amanah, tabligh, and fathonah. It can be applied through recruitment, development, promotion and transfer, dismissal, compensation, as well as evaluation of employee MansirThis research studies about the policy of Islamic teacher education PAI about the extent of teacher certification towards the professional attitude they have towards the development of students, especially in the context of the digital age. Teacher certification especially PAI teacher can give professionalism attitude towards students in various learning activities. Meanwhile, the welfare of PAI teachers in Indonesia has increased with the emergence of the certification policy. Furthermore, it has implications for PAI teachers to be able to improve their professionalism in conducting learning obligations. Thus, the process that occurring in the interaction between educators and students can run well. In the end, the goal of Islamic education is to form a muttaqien person realized to the maximum. This research was a library library research that is research sourced from library materials using a qualitative approach. Therefore, it was an exploration of a number of data both primary and secondary data with concrete steps as follows reading and examining in depth primary data such as books which are the results of research, theses or dissertations related to this topic. Therefore, Teacher education policies in the industrial revolution era related to teacher certification especially PAI teachers need to be adjusted to the current context. Thus, teachers in Indonesia are not trapped between policy and reality on the ground faced by students. Our expectation is that there will be no more teachers in Indonesia complaining about their income, no more teachers being victimized by schools or foundations for those who have already been certified. Therefore, the teacher certification policy can make PAI teachers further increase their professionalism and SinagaPendidikan Agama Islam merupakan upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Adapun yang menjadi dasar dari Pendidikan Agama Islam adalah Al-Qur’an dan Pendidikan Agama Islam yaitu membina manusia beragama yang berarti manusia yang mampu melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dengan baik dan sempurna, sehingga tercermin pada sikap dan tindakan dalam seluruh kehidupannya. Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah, banyak sekali muncul problematika-problematika. Berbagai problematika yang muncul, bisa berkenaan dengan masalah yang bersifat internal, maupun eksternal. Di antara solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problematika pendidikan agama Islam di sekolah adalah melalui pendekatan parsial, mengoptimalkan peranan ranah afektif dan menciptakan iklim religius di lingkungan pendidikanFirman MansirThis study aims to explain some material descriptions of fiqh siyasah covering four things, namely an explanation of the theory of fiqh siyasah in madrasas and schools, factors of fiqh siyasah, the urgency of fiqh siyasah in madrasas and schools and implementation of fiqh siyasah in madras and schools. Therefore, this study explores the theory of fiqh siyasah in madras and schools. The author describes the concept of fiqh siyasah in science, which discusses matters for the affairs of the State. The people of various forms of regulations, laws, and policies. That have been made by leaders who agree with or are in line with the basic teachings of the Sharia in order to realize the benefit of the people. In its implementation, the concept of fiqh can be seen in madrasas so that a comprehensive level of inculcating these fiqh values can be achieved. Therefore, this is very important to be taught to average students. If at the previous school level, students were only required to be able to understand the existing doctrines in fiqh. According to one or more schools, then in this madrasas an understanding of a difference of opinion or view in the prediction of fiqh learning is given. In addition, students must also be able to implement the science of fiqh. In everyday life so that, this becomes a form so that the goals of Islamic education are MansirThe changes in curriculum and everything in between such as development of Islamic education, science, development innovation, change and others are inevitability which generate new challenges in the field. Facing this reality, all element of society expects that the role of Islamic religious education which indeed has taught moral and spiritual value. Therefore the urgency of Islamic religious education in providing teachings or guidelines for social activities becomes a very urgent need. In line with the statement, we need an educators who have creativity and innovation to be able to develop learning well and professionally. No matter how good the curriculum design is, if the delivery is not good, an effective learning will certainly not work. Scientific based learning implementation in Islamic education must be conducted to face dynamic things in educational world including the digital industry development c Landasan Sosial Budaya Pidarta (1997) mengemukakan bahwa sosial budaya merupakan bagian hidup yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari. Setiap kegiatan manusia hampir tidak pernah lepas dari unsur sosial budaya. Sebab sebagian terbesar dari kegiatan manusia dilakukan secara kelompok. Pendidikan dianggap sebagai sistem persekolahan. Sistem ini hanya melihat hubungan struktural antar bagian seperti guru, siswa, kurikulum dan sarana prasarana. Namun ternyata lembaga pendidikan dapat dilihat lebih dari itu yaitu sebagai sebuah tempat dalam melakukan transformasi budaya. Lembaga pendidikan dan transformasi budaya tidak dapat dipisahkan karena keduanya terkait dengan nilai. Lembaga pendidikan dapat disamakan dengan sistem sosial karena didalamnya terjadi proses sosialisasi. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan kontribusi berupa konsep dalam melakukan transfer nilai sehingga membentuk karakter melalui lembaga pendidikan. Penelitian ini menemukan bahwa menurut teori perkembangan budaya Van Peursen maka diharapkan lembaga pendidikan dapat memposisikan diri sebagai tahap fungsional. Pada tahap ini lembaga pendidikan sebagai agen transformasi nilai harus berfungsi dalam memberikan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Dalam melakukan proses pembudayaan nilai agar terbentuk menjadi karakter dapat menggunakan pendapat dari Pierre Bourdieu mengenai Habitus. Lembaga pendidikan dapat melakukan pembiasaan melalui beberapa kegiatan. Pembiasaan dapat dilakukan melalui interaksi sosial antar warga sekolah lembaga pendidikan. Pembiasaan yang telah mengakar menjadi pembudayaan harus dijaga dengan kontrol yang dilakukan oleh lembaga pendidikan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta 105 TRANSFORMASI BUDAYA MELALUI LEMBAGA PENDIDIKAN Pembudayaan Dalam Pembentukan Karakter Ashif Az Zafi Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama STAINU Purworejo Abstrak Pendidikan dianggap sebagai sistem persekolahan. Sistem ini hanya melihat hubungan struktural antar bagian seperti guru, siswa, kurikulum dan sarana prasarana. Namun ternyata lembaga pendidikan dapat dilihat lebih dari itu yaitu sebagai sebuah tempat dalam melakukan transformasi budaya. Lembaga pendidikan dan transformasi budaya tidak dapat dipisahkan karena keduanya terkait dengan nilai. Lembaga pendidikan dapat disamakan dengan sistem sosial karena didalamnya terjadi proses sosialisasi. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan kontribusi berupa konsep dalam melakukan transfer nilai sehingga membentuk karakter melalui lembaga pendidikan. Penelitian ini menemukan bahwa menurut teori perkembangan budaya Van Peursen maka diharapkan lembaga pendidikan dapat memposisikan diri sebagai tahap fungsional. Pada tahap ini lembaga pendidikan sebagai agen transformasi nilai harus berfungsi dalam memberikan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Dalam melakukan proses pembudayaan nilai agar terbentuk menjadi karakter dapat menggunakan pendapat dari Pierre Bourdieu mengenai Habitus. Lembaga pendidikan dapat melakukan pembiasaan melalui beberapa kegiatan. Pembiasaan dapat dilakukan melalui interaksi sosial antar warga sekolah lembaga pendidikan. Pembiasaan yang telah mengakar menjadi pembudayaan harus dijaga dengan kontrol yang dilakukan oleh lembaga pendidikan. Kata Kunci Transformasi budaya, transfer nilai, sekolah, karakter A. PENDAHULUAN Para pakar pendidikan mendefinisikan pendidikan sebagai suatu sistem. Pendidikan sebagai sistem dapat ditinjau dari dua hal yaitu Pendidikan secara mikro lebih menekankan pada unsur pendidik dan peserta didik, sebagai upaya mencerdaskan peserta didik melalui proses interaksi dan komunikasi. Oleh karena itu, fungsi pendidik adalah sebagai pengyampai materi melalui kegiatan pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Sistem pendidikan menyangkut berbagai hal atau komponen yang lebih luas yaitu 1 Input , berupa sistem nilai dan pengetahuan, sumber daya manusia, masukan instrumental berupa kurikulum, silabus. Sedangkan masukan sarana termasuk di dalam fasilitas dan sarana pendidikan yang harus disiapkan. Unsur masukan input, contohnya peserta didik. 2 Proses, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan proses belajar atau proses pembelajaran di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam komponen proses ini termasuk di dalamnya telaah kegiatan belajar dengan segala dinamika dan unsur yang mempengaruhinya, serta telaah kegiatan pembelajaran yang dilakukan pendidik untuk memberi kemudahan kepada peserta didik dalam terjadinya proses pembelajaran. Unsur proses contohnya metode atau cara yang digunakan dalam proses pembelajaran. 3 Output, yaitu hasil yang diperoleh pendidikan bukan hanya terbentuknya pribadi yang memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan sesuai yang diharapkan. Namun juga keluaran pendidikan mencakup segala hal yang dihasilkan berupa kemampuan peserta didik human behavior, produk jasa services dalam pendidikan seperti hasil penelitian, produk barang berupa karya intelektual ataupun karya yang sifatnya fisik Namun banyak pakar juga yang memandang pendidikan sebagai sebuah 1 Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan, Jakarta Rineka Cipta, 1991, 102. 106 SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta transformasi budaya yang dapat menginternalisasikan nilai-nilai luhur. Para pakar tersebut menyatakan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah seperangkat sarana yang diperoleh untuk membudayakan nilai-nilai budaya masyarakat yang dapat mengalami perubahan-perubahan bentuk dan model sesuai dengan tuntutan kebutuhan hidup masyarakat dalam rangka mengejar cita-cita hidup yang sejahtera lahir maupun batin. Berdasarkan pendapat tersebut maka pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan budaya karena antara pendidikan dan budaya terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yaitu Dengan demikian tidak ada suatu proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tidak ada suatu pendidikan tanpa kebudayaan dan masyarakat. Pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan adalah kebudayaan. Pendidikan bertujuan membentuk manusia agar dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahahankan kelangsungan hidup. Pendidikan berbasis budaya menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengatasi segala tantangan kehidupan yang berubah-ubah dan semakin berat. Selain itu pendidikan memberikan jawaban dan solusi atas penciptaan budaya yang didasari oleh kebutuhan masyarakat sesuai dengan tata nilai dan sistem yang berlaku di dalamnya. Pendidikan sebagai transformasi budaya dapat dikatakan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke 2 Ralph Linton yang dikutip Joko Tri Prasetya dalam Ilmu Budaya Dasar, Jakarta Rineka Cipta, 2004, 29. generasi yang lainnya. Seperti bayi lahir sudah berada di dalam suatu lingkungan budaya Di dalam lingkungan masyarakat dimana seorang bayi dilahirkan telah terdapat kebiasaa-kebiasaan tertentu. Larangan-larangan, anjuran dan ajakan tertentu seperti yang dikehendaki oleh masyarakat. Hal-hal tersebut mengenai bnyak hal seperti bahasa, cara menerima tamu, makan, bercocok tanam dan lain-lain. Nilai-nilai kebudayaan mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya, nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab dan lain-lain, nilai yang kurang cocok diperbaiki misalnya, tata cara perkawinan, dan nilai yang tidak cocok diganti misalnya, pendidikan seks yang dulu diasingkan diganti dengan pendidikan seks melalui pendidikan formal. Disini tampak bahwa proses pewarisan budaya tidak semata-semata mengenalkan budaya secara estafet. Pendidikan justru mempunyai tugas menyiapkan peserta didik untuk hari esok. Berdasarkan penjelasakan diatas maka dapat ditelusuri cara mentransformasikan nilai-nilai budaya sehingga dapat membentuk karakter. B. PEMBAHASAN Proses Transformasi Budaya Kebudayaan sebagai nilai-nilai yang dihayati ataupun ide yang di yakini tersebut bukanlah ciptaan sendiri dari setiap individu yang menghayati dan meyakini, semuanya itu di peroleh melalui proses belajar. Proses belajar merupakan cara untuk mewariskan nilai-nilai tersebut dari generasike generasi. Pewarisan tersebut di kenal dengan proses sosialisasi atau enkulturasi proses pembudayaan.4 3 Tilaar, Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Berdasarkan Pancasila, Jakarta LIPI, 1991, 21. 4 Aloliliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2011, 215. SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta 107 Sosialisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses seumur hidup yang berkenaan dengan bagaimana individu mempelajari cara-cara hidup, norma dan nilai sosial yang terdapat dalam kelompoknya agar dapat berkembang menjadi pribadi yang dapat di terima oleh kelompoknya. Sosialisasi berfungsi untuk 1 Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada individu; 2 Menambah kemampuan berkomunikasi, mengembnagkan kemampuan menulis, membaca dan bercerita; 3 Membantu pengendalian fungsi-fungsi organik melalui latihan-latihan mawas diri; 4 Membiasakan individu dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam Agen atau pelaku sosialisasi meliputi keluarga, teman bermain, sekolah, media massa cetak dan elektronik, Lingkungan Proses sosialisasi terjadi melalaui conditioning oleh lingkungan yang menyebabkan individu mempelajari pola kebudayaan yang fundamental seperti berbahasa, cara berjalan, duduk, makan apa yang di makan, berperilaku sopan, mengembangkan sikap yang dianut dalam masyarakat seperti sikap terhadap agama, seks, orang yang lebih tua, pekerjaan, dan segala sesuatu yang perlu bagi warga masyarakat yang baik. Belajar norma-norma kebudayaan pada mulanya banyak terjadi di rumah dan sekitar, kemudian di sekolah, bioskop, televisi dan lingkungan lain. Sosialisasi tercapai melalui komunikasi dengan anggota masyarakat lainnya pola kelakuan yang diharapkan dari anak terus-menerus disampaikan dalam segala sesuatu dimana terlibat. Kelakuan yang tak sesuai dikesampingkan karena menimbulkan konflik dengan lingkungan. Sedangkan kelakuan yang 5 Ibid., 216. 6 M. Idianto, Sosiologi, Jakarta, Erlangga, 20014, 115-122. sesuai dengan norma yang diharapkan Proses enkulturasi berkaitan dengan proses belajar. Proses belajar menyesuaikan alam pikiran serta sikap terhadap adat, sistem norma, serta semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan seseorang. Proses ini telah dimulai sejak awal kehidupan kemudian dalam lingkungan yang makin lama makin meluas. Proses enkulturasi selalu berlangsung secara dinamis. Wahana terbaik dan paling efektif untuk mengembangkan ketiga proses sosial budaya tersebut adalah pendidikan yang terlembaga melalui sistem persekolahan. Sekolah merupakan wahana strategis yang memungkinkan setiap anak didik, dengan latar belakang sosial budaya yang beragam, untuk saling berinteraksi di antara sesama, saling menyerap nilai-nilai budaya yang berlainan, dan beradaptasi sosial. Dapat dikatakan, sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang menjadi tiang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat, untuk mewujudkan cita-cita kolektif. Maka, pendidikan yang diselenggarakan melalui sistem persekolahan semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan. Proses transformasi budaya dapat di lakukan dengan cara mengenalkan budaya, memasukan aspek budaya dalam proses pembelajaran. Kebudayaan merupakan dasar dari praksis pendidikan maka tidak hanya seluruh proses pendidikan berjiwakan kebudayaan nasional saja, tetapi juga seluruh unsur kebudayaan harus di perkenalkan dalam proses pendidikan. Untuk membangun manusia melalui budaya maka nilai-nilai budaya itu harus menjadi satu dengan dirinya, untuk itu di perlukan waktu panjang untuk transformasi budaya. Selanjutnya Van Peursen menjelaskan bahwa perkembangan budaya manusia dibagi menjadi tiga tahap, yaitu 7 Nasution. S, Sosiologi Pendidikan, Jakarta Bumi Aksara, 2011, 126-129. 108 SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta mitis, ontologis, dan fungsionalis. Pertama tahap Mitis. Manusia menganggap bahwa dirinya adalah bagian dari alam. Manusia merasa bahwa dirinya berada di dalam dan dipengaruhi oleh alam. Hal ini dapat dilihat budaya Indian. Mereka sering menganggap bahwa diri mereka adalah penjelmaan dari hewan di sekitarnya. Pada tahap ini, manusia kerap memberikan kurban atau sesaji sebagai bentuk penghormatannya kepada alam. Manusia juga membuat norma-norma perlakuan terhadap alam. Sehingga hidupnya selalu selaras dengan alam dan dilindungi oleh alam itu sendiri. Kedua tahap Ontologis. Manusia mulai mengenal agama. Manusia tidak lagi memberikan kurban dan memandang bahwa alam merupakan sama-sama makhluk Tuhan yang harus dijaga kelestariannya. Meskipun begitu, manusia sudah mulai menjadikan alam sebagai objek yang bisa dipergunakan untuk mempertahankan hidupnya. Ketiga tahap fungsional. Manusia sudah jauh dari alam. Bahkan, alam tidak hanya sekedar dijadikan objek, tetapi telah menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidupnya nyaman. Tahap ini ditandai dengan revolusi industri di dunia dan manusia memperlakukan alam dengan mengeksplorasinya secara Berdasarkan teori perkembangan budaya Van Peursen tersebut sebaiknya Pendidikan Islam dapat menempatkan diri pada tahap yang ketiga yaitu tahap fungsional. Peran Pendidikan Islam seharusnya dapat memberi kontribusi nyata dalam pembentukan karakter atau internalisasi nilai-nilai budaya. Mungkin ini memang bersifat pragmatis namun ini akan menjaga eksistensi Pendidikan Islam. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Sangkot Sirait bahwa Islam inklusif yang bersifat ontologis belum cukup karena harus ada Islam yang 8 van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta Yayasan Kanisius, 1976, 18-19. 9 Sangkot Sirait, Dari Islam Inklusif ke Islam Fungsional Telaah Atas Pemikiran Al-Faruqi, Yogyakarta Datamedia, 2008, 2. Pendidikan Sebagai Transformasi Nilai Hubungan anatar pendidikan dan transformasi budaya dalam pembentukan karakter adalaha adanya proses internalisasi. Internalisasi merupakan suatu proses penenaman nilai tentang budaya. Dalam penanaman dan penumbuhkembangan nilai tersebut dilakukan melalui berbagai didaktik-metodik pendidikan dan pengajaran, seperti pendidikan, pengarahan indoktrinasi, brain-washing, dan lain sebagainya. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat. Misalnya melalui sebuah materi pembentuka karakter sebuah bangsa yang dimana di dalamnya membahas tentang sebuah nilai-nila budaya yang dapat diintegrasikan sebagai pembelajaran. Pendidikan sebagai transformasi budaya di artikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan disini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah keseluruhan dari keadaan diri, totalitas yang dilakukan manusia yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap orang. Menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai mahluk bio-sosial. Oleh karena itu, pendidikan harus hadir dan di maknai sebagai pembentukan karakter character SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta 109 building manusia10, aktualisasi kedirian yang penuh insan dan pengorbanan atas nama kehidupan manusia. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok di teruskan misalnya, nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab dan lain-lain. Yang kurang cocok di perbaiki, dan yang tidak cocok di Contohnya budaya korup dan menyimpang adalah sasaran bidik dari prndidikan transformatif. Pendidikan merupakan proses membudayakan manusia sehingga pendidikan dan budaya tidak bisa dipisahkan. Pendidikan bertujuan membangun totalitas kemampuan manusia baik sebagai individu maupun anggota kelompok masyarakat sebagai unsur vital dalam kehidupan manusia yang beradab, kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentukannya dari segala ilmu pengetahuan yang di anggap vital dan sangat di perlukan dalam menginterprestasi semua yang ada dalam kehidupannya. Peranan Lembaga Pendidikan Dalam Proses Pembudayaan Perananan lembaga pendidikan adalah menjadi salah satu saluran atau media dari proses pembudayaan. Media lainnya adalah keluarga dan institusi lainnya yang ada di dalam masyarakat. Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk “memanusiakan manusiaâ€. Sejalan dengan itu, kalangan antropolog dan ilmu sosial lainnya melihat bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan mensosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal sebagai proses enkulturasi pembudayaan dan sosialisasi proses pembentukan kepribadian dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak tersebut diakui oleh masyarakat yang 10 Muh. Wasith Achadi, “Interaksi Pendidikan dan Kebudayaanâ€, dalam Jurnal Dinamika Vol. 2, Jawa Tengah LP3M STAINU Purworejo, 2016, 2. 11 Ralph Linton, The Culture Background of Personality, New York Appleton-Century Crofts, 1985, 21. bersangkutan. Dalam pengertian ini pendidikan bertujuan membentuk agar manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara pribadi, kelompok maupun masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan adalah upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan peran sosial masing-masing dalam masyarakat. Secara tidak langsung, pola ini menjadi proses melestarikan suatu kebudayaan. Sejalan dengan ini bertrand russel mengatakan pendidikan sebagai tatanan kehidupan bermasyarakat yang berbudaya. Melalui pendidikan kita bisa membentuk suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang maju, modern, tentram dan damai berdasarkan nilai-nilai dan norma Untuk mewujudkan hal tersebut, para penyelenggara pendidikan harus yakin bahwa program dan proses pembelajaran dapat menggiring siswa agar mampu menggunakan segala apa yang telah dimilikinya yang diperoleh selama proses belajar sehingga bermanfaat dalam kehidupan selanjutnya, baik kehidupan secara akademis maupun kehidupan sehari-hari. Jika kita ingin memisahkan pendidikan dari kebudayaan merupakan suatu kebijakan yang merusak kebudayaan sendiri, malahan menghianati keberadaan proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Nilai-nilai pendidikan ditransmisikan dengan proses-proses acquiring melalui inquiring. Jadi proses pendidikan bukan terjadi secara pasif atau untuk determined tetapi melalui proses interaktif antara pendidikan dan peserta didik. Proses tersebut memungkinkan 12 Ace Suryadi dan Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung Rosdakarya, 1994 195. 110 SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta terjadinya perkembangan budaya melalui kemampuan-kemampuan kreatif yang memungkinkan terjadinya inovasi dan penemuan-penemuan budaya lainnya, serta asimilasi, akulturasi dan seterusnya. Ada pakar yang menganggap bahwa antara kebudayaan dan pendidikan saling berpengaruh artinya yaitu bahwa manusia yang berpendidikan adalah sama dengan orang yang berbudaya. Dengan budaya proses pendidikan juga akan lebih mudah karena mempelajari budaya dapat menumbuhkan kesadaran etik, kesusialaan, dan norma hokum. Jadi peserta didik akan lebih mudah menerima karena mereka mempunyai kesadaran untuk mengikuti proses pendidikan dengan tulus tanpa perlu dipaksaan. Contoh konkret yang diambil yaitu transformasi budaya bertanggung jawab. Dalam pendidikan formal , apalagi pendidikan dasar, guru mempunyai wewenang penuh dalam kelas. Guru berperan penting dalam proses transformasi budaya dan dalam penyampaian ilmu yang dapat dilakukan pendidik dalam pendidikan formal adalah memberikan pekerjaan rumah pada siswa. Dengan pemberian tugas atau pekerjaan rumah, siswa mempunyai tanggung jawab dan kewajiban untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Jika siswa tidak menyelesaikan baik sengaja ataupun tidak, guru dapat memberi sanksi yang mendidik bagi mereka. Apabila hal ini dibiasakan, maka akan terbentuk rasa tanggung jawab dalam diri siswa. Dalam contoh ini, telah terjadi proses transformasi kebudayaan bertanggung jawab dalam lingkungan pendidikan formal. Pendidikan merupakan bentuk strategi kebudayaan yang paling efektif untuk membangun suatu budaya dengan mewujudkan masyarakat yang baik, serta membangun peradaban umat manusia yang selaras dengan cita-cita kemanusiaan. Manusia yang tidak mengenal budaya sama saja tidak mengenal bangsanya sendiri. Oleh karena, kita harus melestarikan dan menjaga budaya dengan cara dalam proses pendidikan dimasukkan unsur-unsur budaya agar keluarannya dari pendidikan tidak hanya pengetahuan saja tapi siap untuk hidup dalam masyarakat. Proses Pembudayaan Melalui Lembaga Pendidikan Proses pembudayaan dalam menginternalisasikan nilai agar terbentuk karakter tidak akan lepas dari teori Habituasi yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu. Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang dalam bentuk disposisi abadi, atau kapasitas terlatih dan kecenderungan terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan cara determinan, yang kemudian membimbing mereka. Jadi Habitus tumbuh dalam masyarakat secara alami melalui proses sosial yang sangat panjang, terinternalisasi dan terakulturasi dalam diri masyarakat menjadi kebiasaan yang terstruktur secara sendirinya. Habitus dibuat melalui proses sosial, bukan individu yang mengarah ke pola yang abadi dan ditransfer dari satu konteks ke konteks lainnya, tetapi yang juga bergeser dalam kaitannya dengan konteks tertentu dan dari waktu ke waktu. Habitus tidak tetap atau permanen, dan dapat berubah di bawah situasi yang tak terduga atau selama periode sejarah panjang. Bourdieu dalam bukunya juga mengatakan bahwa Habitus bukanlah hasil dari kehendak bebas, atau ditentukan oleh struktur, tapi diciptakan oleh semacam interaksi antar waktu disposisi yang keduanya dibentuk oleh peristiwa masa lalu dan struktur, dan bentuk praktik dan struktur saat ini dan juga, penting, bahwa kondisi yang sangat persepsi kita ini. Dalam pengertian ini habitus dibuat dan direproduksi secara tidak The habitus is not only a structuring structure, which organizes practices and the perception of practices, but also a structured structure the 13 Pierre, Bourdieu, Distinction a social critique of the judgement of taste, Cetakan ke-8, translated by Richard Nice, Cambridge Harvard University Press, 1996, 170. SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta 111 principle of division into logical classes which organizes the perception of the social world is itself the products of internalization of the division into social Berdasarkan teori Habitus tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa apabila lembaga ingin membentuk karakter maka perlu pembiasaan. Lembaga pendidikan dapat diartikan sebagai masyarakat karena mereka merupakan sekelompok orang yang Habitus dapat diciptakan di lembaga pendidikan dengan by design. Dan apabila habitus ini dilaksanakan akan menjadi proses pembudayaan yang akan menginternalisasikan nilai sehingga terbentuklah karakter. Habitus yang telah terbentuk dan menciptakan karakter baik harus dikontrol dengan baik. Habitus akan menjadi proses pembudayaan dalam upaya membentuk perilaku dan sikap seseorang yang didasari oleh ilmu pengetahuan, keterampilan sehingga setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing. Dengan demikian, ukuran keberhasilan pembelajaran dalam konsep enkulturasi adalah perubahan perilaku siswa. Hal ini sejalan dengan 4 empat pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco yaitu 1 Learning to know adalah upaya memahami instrumen-instrumen pengetahuan baik sebagai alat maupun sebagai tujuan. Sebagai alat pengetahuan tersebut di harapkan akan memberikan kemampuan setiap orang untuk memahami berbagai aspek lingkungan agar mereka dapat hidup dengan harkat dan martabatnya dalam rangka mengembangkan keterampilan kerja dan berkomunikasi dengan berbagai pihak yang di perlukan. Sebagai tujuan, maka pengetahuan tersebut akan bermanfaat dalam rangka peningkatan pemahaman, pengetahuan serta penemuan di dalam kehidupannya. 2 Learning to do lebih di 14 Ibid., 170. tekankan pada bagaimana mengajarkan anak-anak untuk memperaktikan segala sesuatu yang telah di pelajarinya dan dapat mengadaptasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah di perolehnya tersebut dengan pekerjaan-pekerjaan di masa depan. 3 Learning to live together pada dasarnya adalah mengajarkan, melatih dan membimbing peserta didik agar mereka dapat menciptakan hubungan melalui komunikasi yang baik, menjauh perasangka-perasangka buruk terhadap orang lain serta menjauhi dan menghindari terjadinya perselidihan dan konflik. 4 Learning to be sebagaimana di ungkapkan secara tegas oleh komisi pendidikan, bahwa prinsip fundamental pendidikan hendaklah mampu memberikan konstribusi untuk perkembangan seutuhnya setiap orang, jiwa dan raga, intelegensi, kepekaan, rasa etika, tanggung jawab pribadi dan nilai-nilai Dari keempat pilar pendidikan yang direkomendasikan oleh Unesco tersebut, terbentuknya karakter menjadi prioritas utama. Hal ini dapat dilihat dari posisi hierarki learning to be. Pendidikan digunakan sebagai pengkayaan pengalaman berilmu, pengendalian diri dan menjadi diri sendiri. Peserta didik mengembangkan daya kreasi dan kediriannya di masa depan yang berebda dari situasi saat belajar C. SIMPULAN Pendidikan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai komponen pendidikan juga dapat diartikan sebagai sebuah sistem sosial. Sistem sosial ini berarrti lembaga pendidikan merupakan perkumpulan beberapa orang yang saling berinteraksi yang ingin mencapai suatu tujuan bersama. Pemahaman lembaga pendidikan sebagai suatu sistem sosial 15 Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, Bandung Alfabeta, 2011, 6-8. 16 Abdul Munir Mulkhan, “Spiritualisasi IPTEK dalam Perkembangan Pendidikan Islamâ€, dalam Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta IISEP, 2008, 185. 112 SOSIOHUMANIORA - Agustus 2017 - Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta lebih dapat melihat pendidikan sebagai cara untuk menanamkan nilai-nilai luhur yang berada di masyarakat. Dalam menanamkan nilai-nilai ini maka dapat membentuk karakter siswa. Lembaga pendidikan sebagai agen dalam penanaman nilai dapat memberikan nilai berupa pengetahun, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. Selanjutnya jika dilihat dari teori perkembangan budaya Van Peursen maka diharapkan lembaga pendidikan dapat memposisikan diri sebagai tahap fungsional. Pada tahap ini lembaga pendidikan sebagai agen transformasi nilai harus berfungsi dalam memberikan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Dalam melakukan proses pembudayaan nilai agar terbentuk menjadi karakter dapat menggunakan pendapat dari Pierre Bourdieu mengenai Habitus. Lembaga pendidikan dapat melakukan pembiasaan melalui beberapa kegiatan. Pembiasaan dapat dilakukan melalui interaksi sosial antar warga sekolah lembaga pendidikan. Pembiasaan yang telah mengakar menjadi pembudayaan harus dijaga dengan kontrol yang dilakukan oleh lembaga pendidikan. D. DAFTAR PUSTAKA Achadi, Muh. Wasith, “Interaksi Pendidikan dan Kebudayaanâ€, dalam Jurnal Dinamika Vol. 2, Jawa Tengah LP3M STAINU Purworejo, 2016. Ahmadi, Abu, Ilmu Pendidikan, Rineka Cipta Jakarta 1991. Aloliliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2011. Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, Bandung Alfabeta, 2011. Bourdieu, Pierre, Distinction a social critique of the judgement of taste, Cetakan ke-8, translated by Richard Nice, Cambridge Harvard University Press, 1996. Idianto, M, Sosiologi, Jakarta Erlangga, 20014. Linton, Ralph, The Culture Background of Personality, New York Appleton-Century Crofts, 1985. Mulkhan, Abdul Munir, “Spiritualisasi IPTEK dalam Perkembangan Pendidikan Islamâ€, dalam Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta IISEP, 2008. Nasution. S, Sosiologi Pendidikan, Jakarta Bumi Aksara, 2011. Prasetya, Joko Tri, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta Rineka Cipta, 2004. Peursen, van, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta Yayasan Kanisius, 1976. Sirait, Sangkot, Dari Islam Inklusif ke Islam Fungsional Telaah Atas Pemikiran Al-Faruqi, Yogyakarta Datamedia, 2008. Suryadi, Ace dan Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung Rosdakarya, 1994. Tilaar, Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Berdasarkan Pancasila, Jakarta LIPI, 1991. ... In order to improve the quality and potential of education in Indonesia, families, communities, and the government must share responsibility for education, bearing in mind the importance of education Sujana, 2019;Santika, 2021. Through education, a person's attitude and behavior will experience a process of transformation or formation Putra, 2017;Zafi, 2018;Susiana et al., 2019. Students must be able to think critically, systematically, logically, and creatively and be willing to work together effectively Marliani, 2015;Rachmantika & Wardono, 2019. ...Ichdar DomuStudents' information gathering is heavily reliant on their learning styles. Mathematical education calls for a deeper examination of methodological variations. This study examines the correlation between students' learning styles and their ability to solve math word problems involving a system of two-variable linear equations. The method employed is a qualitative, descriptive research method. The instruments utilized are student aptitude and learning style assessments. Data analysis methods include data collection, data reduction, and data interpretation. The findings included that the visual and auditory subjects completed only three of the five questions they deemed simple. Comparatively, kinesthetic subjects were able to answer four questions. When reexamining the visual, auditory, and kinesthetic subjects, the obtained answers are not rechecked. By concluding the solution process, visual and kinesthetic subjects exhibit similarities. In the final phase, the auditory subject neither concludes nor responds to the initial questions.... Sehingga dapat dikatakan bahwa Covid-19 memfungsikan peran yang sebenarnya. Dalam hal ini anak dengan keluarga bersosialisasi bagaimana membangun hubungan sosial keluarga yang harmonis seperti munculnya rasa komitmen bersama dan hubungan timbal balik antar anak dan orang tua, pemberian perhatian, keteladanan, serta membangun suasana belajar yang nyaman dan komunikasi yang baik Zafi, 2018. ...Risdoyok RisdoyokPembelajaran adalah instrumen yang sangat penting dalam mencerdaskan kehidupan Bangsa. Guna untuk mengembangkan potensi kognitif, psikomotor, dan afektif peserta didik. Untuk mengembangkan potensi-potensi ini tentu didukung dengan suasana belajar dengan nyaman dan penuh dengan bimbingan yang maksimal pula. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan data bersumber dari observasi, wawancara dan dokumentasi sedangkan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini penelitain kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran mengalami perubahan, secara tidak langsung menunjukkan dinamika Pendidikan di Indonesia terganggu. Seperti proses pembelajaran dialihkan di rumah masing-masing daring, Kedua; transformasi media pembelajaran berbasis Media Digital, yakni WhatsApp groups, Google class, Googleomes’, Office 365, Ketiga; system, metode, evaluasi pembelajaran yang disesuaikan dan, Keempat; kerjasama guru dan orang tua yang menentukan keberhasilan pendidikan saat ini. Kalau kerjasama antara guru dan orang tua dijalani dengan baik maka keberhasilan dari belajar mereka akan tercapai. Karena melihat dari segi pengaruh mereka belajar saat ini cukup banyak, sehingga tingkat pemfokusan mereka menurut. Untuk itu perlunya peran lebih dari orang tua selama belajar dari rumah. Sedikitnya ini yang perlu diperhatikan oleh semua pihak lembaga Pendidikan untuk menciptakan kecerdasan kehidupan bangsa dalam situasi apapun.... Lahirnya generasi milenial pada era digitalisasi teknologi, harus diimbangi oleh kemajuan dunia pendidikan Siswati, 2019. Transformasi budaya yang semakin cepat juga dapat mengakibatkan perubahan tatanan sosial Zafi, 2018. Meskipun perubahan tersebut pada satu sisi menguntungkan, tetapi di sisi yang lain dapat merugikan. ...Karyanto KaryantoEndang SulistiyoriniWarsiman WarsimanThe research aims to identify the pattern of supervision used by SMAN 1 Sidoarjo in implementing the excellent school program based on soft skills. This study uses a qualitative descriptive approach. Principals, teachers, students, staff and everyone else involved in SMAN 1 Sidoarjo's excellent school program focused on soft skills were the study's subjects. The research's primary data collection methods are interviews, observation, and documentation. The results showed that SMAN 1 Sidoarjo's excellent school supervision program based on soft skills involved internal elements such as the school itself, the administrator as the primary element who manages the academic community, and teachers who supervise students. The purpose of internal supervision is to ensure that the soft skills program is implemented effectively and efficiently. The education department, supervisors, school committees, parents/guardians, and the community all participate in external supervision. External supervision is necessary for the program's development and maintenance. The result shows that supervision in the implementation of a program is essential to do to maintain the sustainability of the program.... Where this has all given an idea that the relationship between man and the world is not always shown with a passive attitude, resigned, also equating to conform to the rules of the surrounding environment. Education is intended as preparing the nations children to face the future and make this nation dignified among the other nations of the world Zafi, 2018. But it must be given a manifestation through a playful attitude, also always using the environment for the benefit of living in that time or even in the future, so that from these active relationships a culture is born. ...Firman MansirReligious and socio-cultural education is inseparable in peoples lives. Educational cultural proximity to religion and socio-cultural development become two interrelated and mutually needy sides in solving social problems of society. This research shows that there is a relationship between religious and cultural education that is interrelated, giving birth to changes and responding to the rapid development of the times, thus ushering in a reality of religious life that is full of educational values without losing the local culture. The success of a nation can be seen and measured by the younger generation of its nation in the present and the future. Regarding religious education with culture, it is hoped that there will be the best results from a new generation and have potential with good quality, who can develop the knowledge they have and apply it well in the fabric of education, society, and culture. Thus, religious and socio-cultural education provides answers to various problems in the social development of budaya to religion in the context of educational institutions, be it in schools or madrasas. Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya menjadi dua sisi yang saling terkait dan saling membutuhkan dalam memecahkan persoalan sosial masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan Agama Islam dan budaya yang saling berkaitan, dengan melahirkan perubahan serta merespon berkembangnya zaman yang semakin pesat, sehingga mengantarkan pada sebuah kenyataan kehidupan beragama yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan tanpa menghilangkan budaya setempat. Berhasilnya suatu bangsa dapat dilihat serta diukur dari generasi muda bangsanya pada masa kini serta pada masa yang akan datang. Dalam hubungannya Pendidikan Agama Islam dengan budaya, sangat diharapkan adanya hasil terbaik dari generasi yang baru dan memiliki potensi dengan kualitas yang baik, yang mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mengaplikasikannya dengan baik dalam jalinan pendidikan, sosial dan budaya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya memberi jawaban dari berbagai permasalahan dalam perkembangan sosial budaya terhadap agama dalam konteks lembaga pendidikan, baik itu di sekolah maupun madrasah.... Education is one of the most important things for human life, education itself has the meaning of knowledge, skills, to a group of people that are passed on from generation to generation through teaching, or research, education is important for generational transfer, because the future is determined by a new generation, current work many are replaced by the new generation [1]. Universities in Indonesia, can take the form of institute, polytechnic, Academy,University and high School. ...Christian Pangestu KuncoroEducation is one of the most important things in human life, and in the world of education. However, there are still many students who graduate not on time. The purpose of this study is to find out an overview of what factors influence, then data analysis, and visualization so that students can graduate on time or not on time for UMN student graduates in 2018-2020. The method or approach used to solve the problem is data collection, independent variable, dependent variable, CRISP-DM, with SQLYog tools, to store data, rapid miner for data cleaning, then calculate prediction accuracy with rapid miner using nave Bayes algorithm, and regression logistics, using the included 10-fold validation method, and visualizing the data with Tableau.... Pendidikan adalah salah satu sarana yang digunakan untuk menerapkan dan membudayakan nilai-nilai budaya. Pendidikan berbasis budaya menjadi sebuah gerakan untuk menyadarkan masyarakat agar terus belajar mengatasi segala tantangan kehidupan yang semakin berat Zafi, 2018. ...Ummi Nur RokhmahMisbahul MunirThe purpose of this study is describe implementation of environmental school culture for shaping character environmental care students at SDN Temas 01 Batu. This study used a qualitative approach with descriptive research. The study is conducted in SDN Temas 01 Batu with the subject of his research is the principal, 3 teachers, 4 students, 1 janitor, 1 cafeteria guard and 2 parents of students. Data is collected through interview, observation, and documentation. Data analysis is carried out through 3 stages, datareduction, data display and verification. The validity of the information is tested by triangulation of techniques and triangulation of sources. The research results show that environmental school culture is implemented through 3 steps, planning, implementation and evaluation. Planning activities are forming school environmental management team, making environmental studies and planning environmental actions. Activities carried out during implementation are make environmental policies, implement environmental based curricula, conduct participatory based environmental activities, and manage environmental supporting facilities. The success of the implementation is evaluated by monitoring the state of biodiversity in schools, electricity bills and spending on purchasing office stationery, weighing the amount of waste and monitoring students' ability to manage the environment in terms of cognitive, affective and psychomotor aspects. The supporting factor that influences the implementation of an environmental school culture is the location of the school which is in a location that is still beautiful and gets a lot of support from outside parties. While the inhibiting factor is limitation of budget, there are still students who lack awareness in sorting waste and there is still a lot of plastic waste in schools.... Abdullah, 2016;Salik, 2020;Zafi, 2017.Peran budaya seseorang hanya dapat diukur dari sejauh mana ia dapat memberikan manfaat bagi kepentingan manusia. Agama tentu tidak bisa diabaikan dalam kaitannya dengan realitas social Hadi & Bayu, 2021. ...Yunus BayuPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai budaya Bugis dalam pendidikan Islam di perguruan tinggi Tana Luwu tepatnya di Kota Palopo yaitu Universitas Andi Djemma, IAIN Palopo. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnopedagogi. Membangun kerukunan umat beragama dalam pendidikan nilai kearifan lokal masih sangat relevan untuk diterapkan oleh seluruh mahasiswa. Hal ini, tercermin dari sikap mahasiswa melalui disiplin dan tanggung jawab. Kedisiplinan dan tanggung jawab mahasiswa untuk menjaga harga diri, martabat. Cerminan dari Pluralitas yang berfungsi sebagai ruh mahasiswa dalam proses pendidikan nilai-nilai. Konsep pembelajaran budaya dalam pendidikan agama Islam memberikan nilai-nilai penghormatan seperti Sipakatau saling memberi informasi, Sipakalebbi Saling Menghormati, Sipakaingge Saling Mengingatkan, Sipakatou Saling Berbagi. Menghargai perdamaian, senang membantu sesama, apalagi jika mereka sesama manusia. Sehingga pendidikan budaya Bugis sejalan dengan nilai-nilai Pluralitas yang tumbuh dan berkembang di IndonesiaTiara NazmillahIstinganatul NgulwiyahZerri Rahman HakimThis study aims to describe the implementation of religious values in character education at SDIT Al-Izzah Kota Serang. This research is qualitative descriptive study. The research subjects are teachers and students of grades III,VI,V at SDIT Kota Serang. This research was conducted in January - February 2022. Data was collected through observation, interviews and documentation techniques. The results of the study show that the implementation of religious values can be carried out through religious habituation activities in students, namely 1 Implementation of religious values through self-development which consists of routine activities in schools, spontaneous activities carried out by teachers to students, the example given by the teacher, and the conditioning of the school which was created in such a way. 2 Implementation of religious values through subjects by inserting them in subject matter or moral messages, 3 Implementation of religious character values through school culture which consists of culture in the classroom, school, outside of school. The teacher's perception of the importance of religious values in character education is one of the sources that underlies character education and is very important to in still in students from an early age because strong religious provision from an early age will strengthen the moral foundations of students in the future. The role of the school in supporting the implementation of religious values in character education is providing the necessary facilities, supporting activities in schools, and setting a good example for HayatiTommy ChristomyBatik has long been well-known in Java. Its reputation increased significantly during President Susilo Bambang Yudhoyono’s SBY administration who declared national batik day. This encouraged provinces with no batik tradition before to create batik with its unique local identity. This article aims to map the roles of different agencies from educational institutions in the emergence of the local identity symbol of Nusa Tenggara Barat NTB province represented by Sasambo batik. This research shows that cultural policies in Indonesia must consider locality. Local cultural expressions in Indonesia, especially in Eastern Indonesia, are often ‘forced’ to follow what is suggested and brought by actor from different traditions. The situation became more complex when the cultural expression introduced was packaged through the ideology of nationalism, Batik, which was originally part of Javanese culture, has been elevated to become a National culture. Adopting batik as part of national identity is an important cultural strategy considering that the use of batik has spread throughout Indonesia whether we like it or not. The problem is, the presence of batik technology has had an effect on local cloth crafts that use a different concept from batik, such as NTB Ikat weaving. Ikat woven crafts are made through a long process and are more expensive than making batik, where the preparation and materials are easier to obtain and cheaper. In this case, the woven craftsmen cannot compete economically with those who make batik. Batik is faster and more can be produced. Batik was introduced systematically through the education system, while woven cloth was left as it was. This research is part of an ethnographic research and the data were collected through observation and in-depth interviews. It was found that teachers play important roles in establishing a good reputation and even competing with the local woven cloth of NTB province. At the same time, there was a struggle over meanings between national and local batik. The ideology of nationalism used by the teachers in the end benefits not only individuals, but also groups, even Pina SufaAmril AmirErizal GaniBuku Pendidikan Budaya Melayu Riau ini memang telah menyertakan karakter yang dikembangkan pada awal bab, yaitu nilai religius, rasa ingin tahu, dan tanggung jawab. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui nilai pendidikan budaya dan karakter yang terdapat dalam buku Budaya Melayu Riau yang ditulis oleh Taufik Ikram Jamil, Derichard H. Putra, dan Syaiful Anuar. Buku tersebut meryupakan buku yang menjadi bahan ajar mata pelajaran Budaya Melayu Riau untuk kelas VII Sekolah Menengah Pertama SMP yang ada di Riau. Mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran muatan lokal. Penelitan ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Metode yang dapat digunakan dalam pengumpulan data menurut Sudaryanto dalam Saleh, 2014 terbagi menjadi 2 dua, yaitu metode simak dan metode cakap. Dalam melakukan penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode simak, karena objek yang diteliti dalam bentuk tulisan, yaitu buku Pendidikan Budaya Melayu Riau. Peneliti mengambil garis besar dari penjelasan tiap bab pada buku pelajaran, kemudian menyertakan nilai karakter yang terdapat dalam buku Culture Background of PersonalityRalph LintonLinton, Ralph, The Culture Background of Personality, New York Appleton-Century Crofts, IPTEK dalam Perkembangan Pendidikan IslamAbdul MulkhanMunirMulkhan, Abdul Munir, "Spiritualisasi IPTEK dalam Perkembangan Pendidikan Islam", dalam Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta IISEP, PrasetyaTriPrasetya, Joko Tri, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta Rineka Cipta, Dan SuryadiH A TilaarSuryadi, Ace dan Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung Rosdakarya, Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Berdasarkan PancasilaH A TilaarTilaar, Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Berdasarkan Pancasila, Jakarta LIPI, Pendidikan dan KebudayaanD Daftar Pustaka AchadiMuh WasithD. DAFTAR PUSTAKA Achadi, Muh. Wasith, "Interaksi Pendidikan dan Kebudayaan", dalam Jurnal Dinamika Vol. 2, Jawa Tengah LP3M STAINU Purworejo, 2016. Setidaknyaada tiga pendekatan filosofis terhadap fikih budaya dan sosial. Pertama, pendekatan historis, yaitu hukum Islam yang sudah dipraktekkan umat Islam dalam sejarah, bukan semata-mata sebagai aturan hukum syariat.
Corps de l’article Si l’école nourrit […] l’élève de culture, c’est pour lui permettre de s’adapter et de s’insérer plus rapidement dans ce monde,monde d’une extrême complexité où il lui faut vivre. Mais c’est aussi pour qu’il assimile cette culture, pour qu’il construise par elle une identité intellectuelle et personnelle afin qu’à partir de cette base il soit à son tour innovateur et même créateur. Rapport Corbo, 1994, p. 15 L’éducation est une voie privilégiée de transmission et d’épanouissement de la culture d’un peuple comme d’un individu, et l’école demeure la première institution sociale dont la mission est l’éducation. L’éducation, en favorisant notamment le dialogue entre quête de sens et construction des savoirs, se doit de procurer à l’élève des outils et des langages pour comprendre le monde et se comprendre dans le monde Simard, 2002a, p. 72. C’est cette perspective culturelle qui anime l’actuelle réforme en éducation au Québec. Réaffirmer l’école dans sa finalité culturelle en plus de ses finalités utilitaire et cognitive, comme l’affirmait le Rapport Inchauspé 1997, à la suite des États généraux sur l’éducation de 1996, est devenu une priorité en cette époque où déferlent sur notre monde la pensée unique et la généralisation de la culture MacDo ou MacWorld à la vitesse de la mondialisation du système de marché Aktouf, 1999. S’appuyant sur ce rapport, le ministère de l’Éducation du Québec, dans son document L’école tout un programme énoncé de politique éducative ministère de l’Éducation du Québec – MÉQ, 1997, statuait sur l’extrême urgence de rehausser la dimension culturelle des programmes de formation, principalement dans les disciplines, et de favoriser une approche culturelle pour enseigner ces disciplines. Les orientations du Programme de formation de l’école québécoise, tant à l’ordre du primaire que du secondaire MÉQ, 2001a et 2003, préconisent l’ancrage culturel dans les apprentissages réalisés par l’élève afin d’élargir sa vision du monde, de structurer son identité et de développer son pouvoir d’action. La volonté ministérielle de renforcer les liens entre éducation et culture, de réhabiliter le rôle des savoirs, voire des diverses disciplines dans une perspective culturelle, est tout à fait pertinente. L’élève, dans son parcours de formation, sera convié aux grands univers de la connaissance et de la culture ; ces savoirs essentiels que sont les langues, le champ de la technologie, de la science et des mathématiques, l’univers social, les arts et le développement personnel, constituent un ensemble de connaissances et de pratiques, formant le noyau de la culture. Rappelons-le, la perspective culturelle conçoit la formation d’abord, comme l’appropriation, par les nouvelles générations, des savoirs de la culture, qui constituent le propre de l’être humain et qui sont l’essence du monde où il faut vivre, monde qui n’est plus naturel mais culturel Rapport Inchauspé, 1997, p. 25. Cela semble primordial dans une société où la jeunesse, privée de son passé et en mal d’avenir a tendance, comme dans la plupart des sociétés occidentales, à vivre au présent. À la lumière de plusieurs auteurs Bruner, 1991, 1996 ; Dumont, 1968 ; Simard, 2002a, avoir une approche culturelle de l’enseignement signifierait se préoccuper d’une appropriation personnelle et significative des savoirs par l’élève, situer les savoirs dans le contexte historique, social et culturel de leur élaboration tout en instaurant des liens avec la culture première de l’élève – avec la diversité, voire la disparité qu’on connaît, tant du point de vue du profil culturel des jeunes que de la profusion des lieux de savoir et de la puissance des technologies de communication –, provoquer chez l’élève une prise de conscience de sa propre culture tout en prenant du recul pour mieux la comprendre et s’ouvrir à soi, aux autres et au monde. Il en résultera une évolution de ses propres représentations et de ses savoirs, ferments d’une culture en devenir. Un des mandats de l’éducation se dessine donc ainsi mettre en oeuvre des conditions qui permettent aux élèves de s’approprier, d’intégrer et d’organiser les connaissances en un tout cohérent, original et personnel, de se situer au sein des problèmes et des réalités complexes de son temps, dans son identité humaine et dans l’histoire Simard, 2002a, p. 77. L’approche culturelle de l’enseignement touche certes les élèves, mais aussi, de manière complexe et profonde, les enseignants, qui doivent s’inscrire dans un rapport vivant à la culture et un réinvestissement historique, social et culturel des savoirs scolaires. Par le fait même, la formation initiale et continue des enseignants s’en trouve influencée dans ses programmes et ses activités Sorin et Lafortune, 2006. C’est pourquoi le Gouvernement du Québec a publié tour à tour son document La formation à l’enseignement. Les orientations. Les compétences professionnelles MÉQ, 2001b, en vigueur depuis dans les universités québécoises, et celui à l’intention du personnel enseignant, signé conjointement avec le ministère de la Culture et des Communications, L’intégration de la dimension culturelle à l’école MÉQ et MCC, 2003. Dans cette perspective, l’enseignante ou l’enseignant devient un passeur culturel, selon l’expression maintenant consacrée de Zakhartchouk 1999, p. 20, passeur dans le sens où il va accompagner l’élève dans ce voyage de sa culture première vers une culture » qui vaut la peine », une culture dans laquelle il se doit d’être plongé, bien que le voyage soit une occasion d’aller plus loin. Passeur cultivé » s’il veut être culturel », et cultivé » en particulier dans son domaine spécifique, celui de la pédagogie, sans laquelle il ne peut y avoir de passage » pour tous. Pour que ce passage culturel à l’école ait véritablement lieu, les conditions à réunir pour une formation adéquate relèveraient de trois grands axes Zakhartchouk, 1999, p. 112 un travail sur le rapport personnel à la culture de chaque enseignant ou futur enseignant, point d’appui et passage obligé pour une formation culturelle des élèves ; une intégration de la réflexion sur la culture dans toute formation, notamment disciplinaire ; la mise en place d’une articulation entre apprentissage de techniques pédagogiques et formation culturelle. Dans ce contexte de réforme et de discours officiel sur l’enrichissement culturel prôné à l’école, cette question de la culture, que ce soit au sujet de sa définition, de son acquisition par les élèves, des approches pédagogiques, de la formation à l’enseignement, etc., alimente la réflexion des chercheurs Simard, 2001, 2002b. On en veut également pour preuve l’ouvrage collectif dirigé par Simard et Mellouki 2005 ou un numéro thématique de la Revue des sciences de l’éducation Enseignement et cultures », dirigé par Tardif et Mujawamariya 2002 où Gohier, notamment, appréhende l’enseignant à la fois comme passeur, médiateur et lieu, et où Saint-Jacques, Chené, Lessard et Riopel ont investigué les représentations qu’ont les enseignants du primaire de la dimension culturelle du curriculum. En 2001, dans le n° 118, la revue Vie pédagogique présentait un dossier sur la question Enseigner et apprendre selon une perspective culturelle » et des chercheurs, tel Simard 2005, se sont penchés sur le rôle de l’école envers la formation culturelle des élèves. Toutefois, si chaque discipline est porteuse de culture autant par son histoire que par les questionnements qu’elle suscite, c’est le français, qui attire notre attention ici, à la fois comme culture de la langue Chartrand, 2005 et comme culture littéraire, sans exclure bien sûr le fait que la classe de français est également un lieu de convergence d’autres disciplines, les arts, l’histoire et la géographie, pour ne nommer que celles-ci. Par ailleurs, depuis quelques années, l’approche culturelle en enseignement du français est devenue elle-même objet d’études Simard, 2004 ; Simard et Côté, 2005 et on commence à publier des ouvrages au service de la pratique enseignante tel ce Guide du passeur culturel dirigé par Boucher et Pilote 2006. Si la dimension culturelle est au coeur de la réforme scolaire actuelle au Québec, avec cette idée porteuse que la culture n’est pas le seul fief de la littérature et des arts, mais qu’elle est aussi scientifique, mathématique, informatique et autres, elle représente également une préoccupation majeure en France, comme le prouve le récent Décret relatif au socle commun de compétences et de connaissances ministère de l’Éducation nationale, de l’Enseignement supérieur et de la Recherche, 2006. Ce décret fixe les repères culturels et civiques qui constituent le contenu de l’enseignement obligatoire, ce socle commun devenant la référence obligée pour la rédaction des programmes d’enseignement de l’école et du collège ordres du primaire et du secondaire. Outre les compétences liées à la culture scientifique et technologique, à la culture numérique, etc., une des sept compétences y cible expressément le développement d’une culture humaniste fondée notamment sur la fréquentation des oeuvres littéraires, les apports de l’éducation artistique et culturelle, et l’acquisition de repères géographiques et historiques communs. Déjà, au plan institutionnel, l’inscription explicite de la littérature au programme dès l’école élémentaire, en 2002, et l’encouragement à la même époque des projets artistiques et culturels sous le ministère de Jack Lang, manifestaient la volonté d’un partage généralisé des biens culturels disponibles et de leurs bénéfices tant individuels que collectifs tout au long du cursus scolaire. Par ailleurs, du point de vue de la recherche, tant au Québec qu’en France et plus largement en Europe francophone, l’évolution des références théoriques dominantes, autrement dit le déplacement de l’attention portée au texte vers le sujet lecteur l’approche formaliste versus l’esthétique de la réception sur les traces d’Iser, Jauss, Eco a ouvert tout un nouvel horizon de recherches en didactique du français qui se focalise principalement sur la lecture littéraire Dufays, Gemenne et Ledur, 2005 ; Falardeau, 2003 ; Lebrun, 2006 ; Poslaniec, 2002 ; Sorin, 2003, 2004 ; Tauveron, 2001, 2004 ; Tauveron et Reuter, 1996. La lecture littéraire désigne aujourd’hui un mode de lecture particulier engendré par un va-et-vient dialectique entre une lecture participative privilégiant la construction référentielle et l’implication psychoaffective et émotionnelle du lecteur, et une posture plus distanciée par rapport au texte, ouvrant au symbolisme, aux liens intertextuels, aux jeux des implicites et favorisant la pluralité des lectures. La transposition de la lecture littéraire dans le cadre de l’enseignement devrait notamment aboutir à la prise en compte de la culture privée de l’élève quand il s’agit de la lecture des textes littéraires proposés par l’école, et plus précisément à la prise en compte des manières individuelles de lire, parfois éloignées de celles visées par l’école. Un ouvrage comme celui qu’ont coordonné Demougin et Massol 1999 fait apparaître à la fois la nécessité et l’application limitée de cette prise en compte dans l’ordinaire des classes. L’ouvrage dirigé par Rouxel et Langlade 2004, axé sur le sujet lecteur, est significatif du désir des chercheurs/formateurs de promouvoir ce basculement de perspective au sein de l’école, pour servir l’intérêt des élèves. Du côté de la sociologie, les travaux de Lahire 2004, qui répondent à ceux de Pierre Bourdieu, et la notion qu’il développe de dissonance, montre la diversité des pratiques culturelles de tout individu tant en ce qui concerne les objets retenus que les usages qu’il en fait et questionnent un clivage parfois convenu et un peu forcé entre les pratiques des nantis, d’un côté, et celles des classes dominées, de l’autre. Cette perspective autorise en tout cas à relativiser l’opposition entre la réception qu’ont les uns et les autres des objets culturels disponibles il n’y a pas, de façon tranchée, les avertis d’un côté et les naïfs de l’autre en matière de consommation/appropriation culturelles, même si la distinction entre production culturelle de masse et production culturelle savante ou légitime perdure. L’école est donc bien le lieu où mettre au jour ces conflits culturels qui se jouent chez tout individu, et auxquels elle contribue largement. Dans le domaine spécifique de la lecture littéraire, elle doit amener les élèves à la conscientisation de la diversité des postures, et expliciter clairement celles qu’elle préconise et valorise, tout en continuant de s’interroger sur le bien fondé de ces attentes institutionnelles. Ce numéro thématique explore diverses perspectives didactiques, tant au Québec qu’en France, prenant en compte une approche culturelle en enseignement du français. On a affaire à une diversité d’approches certaines problématisent clairement la question de l’altérité culturelle à laquelle l’école confronte les élèves ; d’autres s’appuient davantage sur des observations précises qui permettent de soulever divers problèmes liés à la mise en oeuvre d’un véritable dialogue, d’une véritable intercompréhension entre pairs mais aussi entre l’enseignant et les élèves, chacun parlant à partir d’entours qui lui sont propres ; d’autres enfin avancent des propositions concrètes éprouvées dans des classes. Si les programmes scolaires et les orientations didactiques et pédagogiques fixés par les gouvernements diffèrent d’un pays à l’autre, si l’importance accordée à la culture se distingue pour des raisons à la fois historiques, politiques et économiques, on ne peut que tirer profit d’une approche comparée en matière d’enseignement du français, langue nationale, de modèles pédagogiques et de contenus de formation. Ce numéro thématique tente de créer un espace transactionnel entre les diverses problématiques en didactique du français touchant la mise en oeuvre de l’approche culturelle de l’enseignement, dix ans après la tenue des États généraux sur l’éducation de 1996, non pas pour en faire un bilan, mais bien pour en dégager de nouvelles perspectives. Ce numéro explore deux grandes problématiques constituant les deux grandes parties de l’ouvrage. Dans la première partie, ont été regroupées les problématiques liées à l’approche culturelle en formation à l’enseignement signification d’une approche culturelle de l’enseignement ; conscience de l’enseignant et de son rôle dans l’appropriation de la culture par ses élèves ; conceptualisation de la culture ; significations d’une approche culturelle appliquée à la discipline français, etc. Denis Simard, Érick Falardeau, Judith Émery-Bruneau et Héloïse Côté ont tenté de saisir le rapport que les enseignants entretiennent avec le savoir et la culture, rapport qu’ils considèrent préalable à une approche culturelle de l’enseignement. S’inspirant des travaux de Charlot 1997 sur le rapport au savoir et des résultats d’une recherche menée auprès de 35 étudiants de deuxième année en formation à l’enseignement du français, ils ont mis à jour quatre profils de ce rapport à la culture susceptibles d’inspirer de nouvelles avenues en formation des enseignants à l’égard de l’approche culturelle de l’enseignement. Dans le cadre d’un projet d’innovation pédagogique, Sylvain Manseau et Olivier Dezutter justifient l’instauration d’une nouvelle activité, Enseigner dans une perspec-tive culturelle, désormais inscrite au programme de baccalauréat en enseignement au secondaire de l’Université de Sherbrooke. Cette nouvelle activité vise notamment l’intégration des savoirs et la concrétisation de ce que pourrait être une approche culturelle de l’enseignement. Si Saint-Jacques, Chené, Lessard et Riopel 2002 se sont attardés aux représentations que se font les enseignants du primaire de la dimension culturelle du curriculum, Liliane Portelance rend plutôt compte des savoirs partagés par l’enseignante associée et la stagiaire au sujet de la culture et de l’approche culturelle. Si les significations diffèrent, il y a toutefois consensus sur l’évidence de la dimension culturelle de l’école et sur l’importance de privilégier une approche culturelle dans les apprentissages comme soutien essentiel à la construction des savoirs et au développement des compétences, notamment disciplinaires. Sans être située en formation à l’enseignement, la recherche de R’Kia Laroui sur les représentations que se font les enseignants de l’approche culturelle ainsi que sur l’impact de ces représentations sur leurs pratiques conduit à des constats riches d’enseignements qui pourraient alimenter la réflexion sur la formation tant initiale que continue des enseignants afin qu’ils deviennent véritablement des passeurs culturels. Partant du principe que les enseignants seront pour les élèves à la fois des modèles linguistiques et des médiateurs culturels, Martine Mottet et Flore Gervais interrogent les représentations et les réactions affectives de futurs enseignants du baccalauréat en éducation préscolaire et enseignement primaire à l’égard du français québécois oral standard, de la culture et de la didactique de l’oral. De la comparaison des résultats avec le profil de l’enseignant cultivé en français oral qu’elles ont tracé, les deux chercheures ont tiré quelques conclusions pertinentes à la formation à l’enseignement, notamment en regard de la langue parlée, ses particularités par rapport à l’écrit, ses registres, son histoire, sa didactique. Elles souscrivent en cela à la culture de la langue. La deuxième partie de ce numéro thématique traite plutôt de la prise en compte de l’approche culturelle en classe de français ou de littérature. Les problématiques abordées sont soit liées à l’élève culture privée, culture scolaire ; culture de la langue ; contexte d’immigration et multiculturalisme ; le lecteur comme être de culture ; soit liées à l’intervention éducative, l’enseignant devant mettre en contexte cette approche culturelle en interpellant son implication comme passeur culturel et en entrevoyant la classe comme une communauté de lecteurs et d’auteurs ou comme communauté interprétative. Danielle Dubois Marcoin se préoccupe de la fonction d’acculturation de l’école et de la nécessaire prise en considération, dans le cadre d’une éducation à la littérature, des habitus et des référents culturels des élèves. C’est par des propositions dialogiques entre la culture privée et la culture scolaire par l’entremise d’activités créatives personnelles et impliquées que les élèves s’approprieront cette culture nouvelle que leur propose l’école. Marlène Lebrun s’intéresse à l’élaboration d’une approche culturelle de la littérature en classe de français au primaire en tablant particulièrement sur le dialogue qui s’installe dans la communauté de lecteurs et d’auteurs que constitue une classe. Elle a notamment investigué les représentations que se font les élèves de l’activité d’écriture, de son apprentissage et des pratiques littéraires qui lui sont associées, telle la lecture littéraire. Dans son contexte de recherche, elle établit que l’évolution d’un rapport positif à l’écriture littéraire d’élèves de 10 ans va de pair avec la construction d’une posture auctoriale et une certaine ouverture à la culture. Patrick Demougin montre comment l’enseignement de la littérature a basculé d’une perspective linguistique centrée sur le texte vers une perspective anthropologique davantage centrée sur le lecteur comme être de culture. Il assimile la rencontre des élèves avec la littérature à la crise fondatrice liée à l’expérience de l’altérité en matière de langue et de culture qu’ont vécue et décrite Derrida et Khatibi Derrida, 1996. À partir de deux expériences, l’auteur fait apparaître deux risques en enseignement de la littérature l’instrumentalisation et le désengagement du lecteur. Amener les élèves à avoir prise sur l’altérité culturelle à laquelle on les confronte, en maintenant la tension entre sensible et conceptuel, exige l’implication individuelle de l’enseignant en matière de choix des textes et engage son inventivité professionnelle. L’analyse du travail d’enseignants en français, langue de scolarisation, auprès d’élèves nouveaux arrivants en France, du CP 1re année du primaire au CM2 fin du primaire, permet à Sylvie Courally de mettre en évidence qu’en l’absence de prescriptions ministérielles, face à l’hétérogénéité de leur public et privés de matériel adapté à ces élèves dans le domaine de l’acquisition de la langue et de la culture de l’écrit, les enseignants trouvent des compromis. Contraints par l’urgence d’amener chacun à une maîtrise première de la langue, ils s’appuient essentiellement sur des textes fonctionnels et communicationnels ou sur la transcription d’un oral surnormé, ce qui les conduit à délaisser largement la dimension culturelle de la langue, voire la littérature. Après avoir rappelé l’évolution historique du concept d’interprétation et faisant appel à la notion d’entour telle que définie par François 1998, Évelyne Bedoin analyse et compare deux situations de débats interprétatifs dans une même classe de CM2 appliquées respectivement à une question relevant à la fois des sciences de la nature et de la littérature. L’hétérogénéité des entours au sein de la communauté interprétative que constitue la classe amène à des quiproquos qui ne sont pas forcément mis au jour par le maître qui, dans sa reformulation, a tendance à imposer un sentiment de consensus alors que l’intercompréhension ne s’est pas vraiment développée du fait que les cadres de références des différents interlocuteurs n’ont pas eu l’occasion d’être explicitement identifiés. Pour conclure, les perspectives didactiques présentées contribuent, à leur façon, à faire avancer la réflexion sur l’enseignement du français dans sa dimension culturelle, ouvrant ainsi de nouveaux chantiers de annexes
DalamPeraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Tentang Bimbingan Dan Konseling Pada Pendidikan Dasar Dan Pendidikan Menengah Nomor 111 tahun 2014 Pasal 1 Butir 1 ”Bimbingan dan Konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkelanjutan serta terprogram yang dilakukan oleh konselor atau guru Bimbingan dan Konseling untuk
Islamic Education and Socio-Cultural Development in Educational Institutions Abstract Religious and socio-cultural education is inseparable in peoples lives. Educational cultural proximity to religion and socio-cultural development become two interrelated and mutually needy sides in solving social problems of society. This research shows that there is a relationship between religious and cultural education that is interrelated, giving birth to changes and responding to the rapid development of the times, thus ushering in a reality of religious life that is full of educational values without losing the local culture. The success of a nation can be seen and measured by the younger generation of its nation in the present and the future. Regarding religious education with culture, it is hoped that there will be the best results from a new generation and have potential with good quality, who can develop the knowledge they have and apply it well in the fabric of education, society, and culture. Thus, religious and socio-cultural education provides answers to various problems in the social development of budaya to religion in the context of educational institutions, be it in schools or madrasas. Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya menjadi dua sisi yang saling terkait dan saling membutuhkan dalam memecahkan persoalan sosial masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan Agama Islam dan budaya yang saling berkaitan, dengan melahirkan perubahan serta merespon berkembangnya zaman yang semakin pesat, sehingga mengantarkan pada sebuah kenyataan kehidupan beragama yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan tanpa menghilangkan budaya setempat. Berhasilnya suatu bangsa dapat dilihat serta diukur dari generasi muda bangsanya pada masa kini serta pada masa yang akan datang. Dalam hubungannya Pendidikan Agama Islam dengan budaya, sangat diharapkan adanya hasil terbaik dari generasi yang baru dan memiliki potensi dengan kualitas yang baik, yang mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mengaplikasikannya dengan baik dalam jalinan pendidikan, sosial dan budaya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya memberi jawaban dari berbagai permasalahan dalam perkembangan sosial budaya terhadap agama dalam konteks lembaga pendidikan, baik itu di sekolah maupun madrasah. Keywords Educational Institutions / perkembangan sosial / terhadap agama / dan sosial / Islam dan / Agama Islam / socio cultural / sosial budaya / Pendidikan Agama Scifeed alert for new publications Never miss any articles matching your research from any publisher Get alerts for new papers matching your research Find out the new papers from selected authors Updated daily for 49'000+ journals and 6000+ publishers Define your Scifeed now Share this article
Abstract Religious and socio-cultural education is inseparable in peoples lives. Educational cultural proximity to religion and socio-cultural development become two interrelated and mutually needy sides in solving social problems of society. This research shows that there is a relationship between religious and cultural education that is interrelated, giving birth to changes and responding to the rapid development of the times, thus ushering in a reality of religious life that is full of educational values without losing the local culture. The success of a nation can be seen and measured by the younger generation of its nation in the present and the future. Regarding religious education with culture, it is hoped that there will be the best results from a new generation and have potential with good quality, who can develop the knowledge they have and apply it well in the fabric of education, society, and culture. Thus, religious and socio-cultural education provides answers to various problems in the social development of budaya to religion in the context of educational institutions, be it in schools or madrasas. Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya menjadi dua sisi yang saling terkait dan saling membutuhkan dalam memecahkan persoalan sosial masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan Agama Islam dan budaya yang saling berkaitan, dengan melahirkan perubahan serta merespon berkembangnya zaman yang semakin pesat, sehingga mengantarkan pada sebuah kenyataan kehidupan beragama yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan tanpa menghilangkan budaya setempat. Berhasilnya suatu bangsa dapat dilihat serta diukur dari generasi muda bangsanya pada masa kini serta pada masa yang akan datang. Dalam hubungannya Pendidikan Agama Islam dengan budaya, sangat diharapkan adanya hasil terbaik dari generasi yang baru dan memiliki potensi dengan kualitas yang baik, yang mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mengaplikasikannya dengan baik dalam jalinan pendidikan, sosial dan budaya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya memberi jawaban dari berbagai permasalahan dalam perkembangan sosial budaya terhadap agama dalam konteks lembaga pendidikan, baik itu di sekolah maupun madrasah. References Afista, Y., Hawari, R., & Sumbulah, U. 2021. Pendidikan multikultural dalam Transformasi Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Evaluasi Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 51, 128–147. Anggadwita, G., Luturlean, B. S., Ramadani, V., & Ratten, V. 2017. Socio-cultural environments and emerging economy entrepreneurship Women entrepreneurs in Indonesia. Journal of Entrepreneurship in Emerging Economies. Arif, M. 2012. Pendidikan Agama Islam Inklusifmultikultural. Jurnal Pendidikan Islam, 11, 1–18. Febrianto, M. V. 2022. Kontestasi Spiritualitas Sebagai Pendekatan Baru Kepemimpinan Pesantren. Ideas Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Budaya, 82, 699–704. Mansir, F. The Response of Islamic Education to the Advancement of Science in The Covid-19 Pandemic Era in The Islamic Boarding Schools. Auladuna Jurnal Pendidikan Dasar Islam, 81, 20–27. Mansir, F. 2021. Aktualisasi Pendidikan Agama dan Sains dalam Character Building Peserta Didik di Sekolah dan Madrasah. J-PAI Jurnal Pendidikan Agama Islam, 72. Mansir, F. 2021. Analisis Model-Model Pembelajaran Fikih yang Aktual dalam Merespons Isu Sosial di Sekolah dan Madrasah. Tadibuna Jurnal Pendidikan Islam, 101, 88–99. Mansir, F. 2021. Interconnection of Religious Education and Modern Science in Islamic Religious Learning. Edukasi Jurnal Pendidikan Islam e-Journal, 92, 229–237. Mansir, F. 2021. The Urgency of Children Education in Preventing Mass Ignorance in Indonesia. Jurnal Kependidikan Jurnal Hasil Penelitian Dan Kajian Kepustakaan Di Bidang Pendidikan, Pengajaran Dan Pembelajaran, 74, 810–821. Mansir, F. 2021. The Urgency of Fiqh Education and Family Role in The Middle of Covid-19 Pandemic For Students In School and Madrasah. Kamaya Jurnal Ilmu Agama, 41, 1–10. Mansir, F. 2021. The Leadership of Parent and Teacher in 21st Century Education. International Conference on Sustainable Innovation Track Humanities Education and Social Sciences ICSIHESS 2021, 110–115. Mansir, F., & Kian, L. 2021. Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam dalam Konteks Kehidupan Beragama. Kamaya Jurnal Ilmu Agama, 43, 250–263. Mansir, F., & Syarnubi, S. 2021. Guidance And Counseling The Integration of Religion And Science In 21st Century For Character Building. At-Tarbiyat Jurnal Pendidikan Islam, 42. Mansir, F., & Wadham, B. 2021. Paradigm of HAR Tilaar Thinking About Multicultural Education in Islamic Pedagogy and Its Implication in the Era Pandemic Covid-19. Cendekia Jurnal Kependidikan Dan Kemasyarakatan, 192. Nur, I. 2018. Eksistensi Lembaga Pendidikan Islam dalam Meretas Potensi Konflik Sosial Budaya. Al-Riwayah Jurnal Kependidikan, 101, 219–242. Nurmiyanti, L. 2018. Pendidikan Agama Islam Sebagai Pondasi Sosial Budaya dalam Kemajemukan. Istighna Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, 12, 62–85. Purwanto, M. R., & Rahmah, P. J. 2021. A Study on Nglanggeran Kampung Pitu Sociologically and Anthropologically Perspectives. Ideas Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Budaya, 74, 45–50. Qolbi, S. K., & Hamami, T. 2021. Impelementasi Asas-asas Pengembangan Kurikulum terhadap Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan, 34, 1120–1132. Suharto, T. 2017. Indonesianisasi Islam Penguatan Islam Moderat dalam Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Al-Tahrir Jurnal Pemikiran Islam, 171, 155–178. Turaev, A. S. 2020. The Ideology of Neo-Conservatism The Role of Socio-Cultural Factors. ПЕДАГОГИКА. ПРОБЛЕМЫ, ПЕРСПЕКТИВЫ, ИННОВАЦИИ, 29–31. Ugwu, N. U., & de Kok, B. 2015. Socio-cultural factors, gender roles and religious ideologies contributing to Caesarian-section refusal in Nigeria. Reproductive Health, 121, 1–13. Yasmin, M., & Sohail, A. 2018. Socio-cultural barriers in promoting learner autonomy in Pakistani universities English teachers beliefs. Cogent Education, 51, 1501888. Yunus, Y. 2020. Sosial-Budaya Harmonisasi Agama dan Budaya dalam Pendidikan Toleransi. Kalam Jurnal Agama dan Sosial Humaniora, 82, 1–26. Zafi, A. A. 2018. Transformasi Budaya Melalui Lembaga Pendidikan Pembudayaan dalam Pembentukan Karakter. Al Ghazali, 11, 1–16. Zamani-Farahani, H., & Musa, G. 2012. The Relationship Between Islamic Religiosity and Residents Perceptions Of Socio-Cultural Impacts of Tourism In Iran Case Studies of Sarein and Masooleh. Tourism Management, 334, 802–814. Zulaikhah, S. 2019. Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam Dsi SMPN 3 Bandar Lampung. Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, 101, 83–93.
PengertianInteraksi Sosial Menurut Para Ahli. Interaksi adalah proses di mana orang-orang berkomunikasi saling memengaruhi dalam pikiran dan tindakan. Seperti kita ketahui, bahwa manusia dalam kehidupan sehari-hari tidaklah lepas dari hubungan satu dengan yang lain. Ada beberapa pengertian interaksi sosial yang ada di lingkungan masyarakat, di